Dunia pendidikan sedang menjadi pusat perhatian semua komponen bangsa ini. Berdasarkan keyakinan bangsa yang hebat ini bahwa pendidikan dapat mengubah masa depan bangsa, maka sejak reformasi dilakukan berbagai perubahan mendasar dalam pengelolaan pendidikan. Perubahan mendasar dilakukan dengan mengubah konstitusi, Undang-undang Sistem Pendidikan Nomor 02/1989 menjadi Nomor 20/2003, diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta secara teknis dituangkan ke dalam peraturan menteri pendidikan tentang delapan standar pengelolaan pendidikan.
Dalam UUSPN, diungkapkan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional pada pasal 3 yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3 UUSPN 20/2003). Berdasarkan fungsi ini maka pada tahun 2005 Depdiknas menetapkan Rencana Strategik Depdiknas. Pada Renstra ini diungkapkan bahwa visi depdiknas adalah “Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional tersebut, Depdiknas berhasrat bahwa pada tahun 2025 dapat menghasilkan “Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif”.
Dari Visi Depdiknas di atas dapat kita maknai bahwa Depdiknas lebih menekankan pada pendidikan transformatif, yang menjadikan pendidikan sebagai motor penggerak perubahan dari “masyarakat berkembang” menuju “masyarakat maju”. Pembentukan masyarakat maju selalu diikuti oleh proses transformasi struktural, yang menandai suatu perubahan dari masyarakat yang potensi kemanusiannya kurang berkembang menuju masyarakat maju dan berkembang yang mengaktualisasikan potensi kemanusiannya secara optimal. Bahkan di era global sekarang, transformasi itu berjalan dengan sangat cepat yang kemudian mengantarkan pada masyarakat berbasis pengetahuan.
Perubahan mendasar tersebut berada pada perubahan pengelolaan pendidikan, dari pengelolaan sentralistik menjadi desentralistik. Pengelolaan pendidikan dengan berorientasi pada “kepuasan pelanggan” dengan mengedepankan mutu pendidikan. Namun perubahan pengelolaan tersebut sampai dengan saat ini masih dirasakan kurang holistik, karena pengelolaan yang selama ini dilakukan bertahun-tahun telah menjadi suatu kebiasaan, sehingga ketika diharapkan berubah masih saja yang terjadi perubahan sepenggal-sepenggal. Salah satu alternatif yang harus dilakukan oleh setiap satuan pendidikan adalah mereset pengelolaan pendidikan dengan menerapkan manajemen strategik.
Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru mengarah pada penyeragaman. Tilaar (2002:3) menjelaskan pendidikan di masa ini diarahkan kepada uniformalitas atau penyeragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen. Pada masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru. Pada masa ini pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima dengan tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik serta ketergantungan pada utang luar negeri sehingga melahirkan sistem pendidikan yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak produktif. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemen sekolah. Pendidikan diselenggarakan dengan mengingkari kebhinekaan dan mengurangi toleransi serta semakin dipertajam dengan bentuk primordialisme. Penerapan pendidikan tidak lagi diarahkan pada peningkatan kualitas, melainkan pada target kuantitas. Akuntabilitas pendidikan sangat rendah walaupun telah diterapkan prinsip ‘link and match” karena manajemen hanya dilakukan oleh sekelompok orang.
Pada masa transisi, kebijakan pendidikan merupakan masa refleksi terhadap arah pendidikan nasional. Tilaar (2000:5) menjelaskan bahwa pada masa krisis membawa masyarakat dan bangsa pada keterpurukan dari krisis moneter membuat menjadi krisis ekonomi dan berakhir pada krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa saat itu. Oleh karena pendidikan merupakan proses pembudayaan, maka krisis kebudayaan yang dialami merupakan refleksi dari krisis pendidikan nasional. Pada masa ini direfleksi berbagai pemikiran dalam memajukan sistem pendidikan kita, sehingga berbagai perubahannya dirasakan sangat drastis, dan sebagian pelaku pendidikan “tercengang” dan masih galau dalam menjalankan kebijakan baru.
Desentralisasi pendidikan yang antara lain dimanifestasikan dalam pemberian otonomi pada sekolah, akan meningkatkan kapasitas dan memperbaiki manajemen sekolah. Dengan kewenangan penuh yang dimiliki sekolah, maka sekolah lebih leluasa mengelola dan mendayagunakan potensi sumber daya yang dimiliki, misalnya, keuangan, tenaga pengajar (guru), kurikulum, sarana prasarana, dan lain-lain. Dengan demikian, desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan dan memperbaiki mutu belajar-mengajar, karena proses pengambilan keputusan dapat dilakukan langsung di sekolah oleh guru, kepala sekolah, dan tenaga administratif (staf manajemen). Bahkan yang lebih penting lagi, desentralisasi dapat mendorong dan membangkitkan gairah serta semangat mereka untuk bekerja lebih giat dan lebih baik. Pengalaman di New Zeland, misalnya, desentralisasi berdampak positif terhadap minat belajar siswa. Sementara di Brazil, siswa kelas tiga dapat memperbaiki nilai atau angka hasil ulangan untuk mata pelajaran dasar (bidang studi pokok). Di Amerika Serikat, desentralisasi pendidikan mengharuskan pendapatan pajak di negara bagian (pendapatan asli daerah) sebesar 60%-nya digunakan untuk pendidikan, sedangkan 40%-nya digunakan kegiatan lainnya.
Penerapan desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan diharapkan dapat memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur bertingkat-tingkat. Desentralisasi akan memberdayakan aparat tingkat daerah dan lokal, dan membangkitkan motivasi aparat penyelenggara pendidikan bekerja lebih produktif. Ini berdampak pada efisiensi administrasi. Pengalaman di Cile, misalnya, desentralisasi secara signifikan berhasil menurunkan biaya administrasi, yang ditandai dengan perampingan jumlah pegawai.
Secara teoritis, desentralisasi membuka peluang kepada penyelenggara pendidikan di tingkat daerah dan lokal untuk melakukan ekspansi sehingga akan terjadi proses perluasan dan pemerataan pendidikan. Desentralisasi akan meningkatkan permintaan pelayanan pendidikan yang lebih besar, terutama bagi kelompok masyarakat di suatu daerah yang selama ini belum terlayani. Memang ada kemungkinan munculnya dampak negatif, yaitu, bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan potensi SDM, akan berkembang jauh lebih cepat sehingga meninggalkan daerah lain yang miskin dan kurang potensi SDM-nya. Namun, pemerintah pusat dapat melakukan intervensi dengan memberi dana khusus berupa block-grant kepada daerah-daerah miskin itu, sehingga dapat berkembang secara lebih seimbang.
Kebijakan desentralisasi bidang pendidikan dalam melaksanakan Otonomi Daerah berkonsekuensi pada perlunya kebijakan strategis bidang pendidikan, yaitu: (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasiskan pada partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Based Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat.
Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pendidikan (stakeholders) dalam memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tersebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat, pakar, dan pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.
Tujuan program MBS di antaranya menuntut sekolah agar dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan layanan pendidikan (quality assurance) yang disusun secara bersama-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya membantu pembiayaan operasional pendidikan di sekolah tersebut, melainkan membantu pula mengawasi dan mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu di antaranya, diharapkan dapat menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Realisasi dari ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari orangtua siswa untuk membantu operasional sekolah untuk menggapai kualitas pendidikan.
Sebetulnya, sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-sumber pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sehingga dapat mewadahi kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidiknya masih kurang atau menganggap Komite Sekolah seperti halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Dengan demikian, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap datang sang penyelamat, Bos, funding father yaitu pemerintah.
Dalam menerapkan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sekolah harus menetapkan mutu sebagai tujuan penyelenggaraan pendidikan. Pencapaian mutu tersebut menjadi benchmarking bagi sekolah dalam menjalankan kinerjanya. Oleh karena itu, sejak uji coba pelaksanaan Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM) pada 1000 SLTP/SLTA dilakukan pemerintah maka ditetapkan program Manajemen Peningatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Dalam program MPMBS, pemerintah tidak lagi ikut mengatur masalah kurikulum, karena kurikulum harus dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah dari Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan yang disusun oleh lembaga independen yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Pemerintah dan pemerintah daerah tidak ikut melakukan pengujian atau mengevaluasi hasil pendidikan (ulangan umum), karena kewenangan tersebut berada pada guru, kecuali nilai prasyarat untuk penentuan kelulusan pendidikan dasar dan menengah berdasarkan Ujian Nasional yang soal dan pelaksanaannya dilakukan oleh BSNP. Pemerintah tidak ikut mengatur penggunaan buku teks pelajaran, kecuali menyediakan Buku Sumber Elektronik (BSE) yang kualitasnya telah dinilai oleh BSNP dan dana untuk pembelian buku tersebut. Pemerintah atau pemerintah daerah tidak lagi harus menyediakan buku laporan pendidikan (raport), karena hal tersebut merupakan kewenangan dan tanggungjawab sekolah.
Otonomi yang demikian besar diberikan kepada sekolah ini seharusnya menjadi dasar untuk melakukan manajemen strategik. Kepala Sekolah sebagai leader memiliki kewenangan manajerial untuk memimpin warga sekolah untuk bersama-sama merancang manajemen strategik.
Sebagaimana diketahui bahwa pada awalnya manajemen strategik digunakan dalam manajemen bisnis, yaitu usaha manajerial untuk menumbuhkembangkan kekuatan perusahaan untuk mengeksploitasi peluang bisnis yang muncul guna mencapai tujuan perusahaan yang merupakan pengembangan dari visi dan misi yang telah ditentukan”. Peluang bisnis dalam bidang pendidikan adalah “layanan jasa pendidikan”, sehingga yang menjadi pelanggan pun adalah peserta didik sebagai pelanggan internal dan orangtua siswa sebagai pelanggan eksternal. Manajemen strategik dalam dunia pendidikan merupakan suatu pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan pendekatan terhadap analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan untuk merancang aktivitas dalam rangka mencapai visi, misi, dan tujuan sekolah yang telah ditentukan.
Mutu pendidikan juga dilihat dari peningkatan atas penghayatan dan pengamalan nilai-nilai humanisme yang meliputi keteguhan iman dan taqwa serta berakhlak mulia, beretika, berwawasan kebangsaan, berkepribadian tangguh, dan berekspresi estetis, serta sehat jasmani dan rohani. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan diukur dari pencapaian kecakapan akademik dan nonakademik lebih tinggi yang memungkinkan lulusan dapat proaktif terhadap perubahan masyarakat dalam berbagai bidang baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Berdasarkan kesadaran ini maka orientasi mutu pendidikan sebagai benchmaking menjadi sasaran manajemen strategik di satuan pendidikan.
Dalam menerapkan manajemen strategik, Kepala sekolah memimpin satuan pendidikan untuk melakukan analisis terhadap potensi diri dan lingkungan. Analisis ini merupakan dasar untuk melaksanakan manajemen mutu yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). Standar ini meliputi berbagai komponen yang terkait dengan mutu pendidikan, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Kepala Sekolah menetapkan pencapaian terhadap standar-standar tersebut sebagai dasar untuk mengukur kinerja satuan pendidikan yang dipimpinnya pada standarisasi pendidikan.
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam melaksanakan manajemen strategik adalah menggunakan empat komponen manajemen strategik, yaitu:
(1) Analisis potensi dan profil satuan pendidikan (sekolah/madrasah) untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan;
(2) Analisis lingkungan untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman dalam melaksanakan layanan jasa pendidikan;
(3) Menetapkan visi dan misi berdasarkan analisis potensi dan lingkungan sebagai acuan dalam pengelolaan satuan pendidikan;
(4) Menetapkan strategi yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja sekolah dalam mencapai visi dan misi sekolah;
Berdasarkan pandangan manajemen strategik kontemporer diperlukan keseimbangan antara efisiensi keuangan dengan proses layanan. Peningkatan pembiayaan harus diiringi dengan peningkatan proses layanan, misalnya dengan menggunakan sarana teknologi atau media lain yang menjadikan proses layanan lebih simpel, cepat, dan akurat. Peningkatan pembiayaan harus sejalan dengan kepuasan pelanggan (custommer satisfaction), semakin besar biaya yang dikeluarkan maka semakin meningkat pula jumlah pelanggan karena mereka merasa puas dengan layanan yang diberikan. Peningkatan pembiayaan harus diiringi pula dengan penambahan atau pertumbuhan layanan jasa. Peningkatan pembiayaan yang dapat meningkatkan proses layanan dan kepuasan pelanggan seharusnya menumbuhkan jenis layanan jasa lainnya (difersifikasi) layanan jasa pendukung pendidikan.
Manajemen strategik kontemporer di atas dapat diterapkan pada satuan pendidikan (sekolah/madrasah/pesantren/pusat kegiatan belajar masyarakat). Penerapan manajemen strategik ini dapat mendorong satuan pendidikan dalam menjalankan program peningkatan mutu pendidikan.
Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan satuan pendidikan menjadi tanggung jawab kepala satuan pendidikan.
Standar Pengelolaan terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni standar pengelolaan oleh satuan pendidikan, standar pengelolaan oleh Pemerintah Daerah dan standar pengelolaan oleh Pemerintah. Setiap satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur tentang:
1. Kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus.
2. Kalender pendidikan/akademik, yang menunjukkan seluruh kategori aktivitas satuan pendidikan selama satu tahun dan dirinci secara semesteran, bulanan, dan minggu
3. Struktur organisasi satuan pendidikan
4. Pembagian tugas di antara pendidik
5. Pembagian tugas di antara tenaga kependidikan
6. Peraturan akademik
7. Tata tertib satuan pendidikan, yang minimal meliputi tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik, serta penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana
8. Kode etik hubungan antara sesama warga di dalam lingkungan satuan pendidikan dan hubungan antara warga satuan pendidikan dengan masyarakat
9. Biaya operasional satuan pendidikan.
Setiap satuan pendidikan dikelola atas dasar rencana kerja tahunan yang merupakan penjabaran rinci dari rencana kerja jangka menengah satuan pendidikan yang meliputi masa 4 (empat) tahun yaitu:
1. Kalender pendidikan/akademik yang meliputi jadwal pembelajaran, ulangan, ujian, kegiatan ekstrakurikuler, dan hari libur.
2. Jadwal penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk tahun ajaran berikutnya.
3. Mata pelajaran atau mata kuliah yang ditawarkan pada semester gasal, semester genap, dan semester pendek bila ada.
4. Penugasan pendidik pada mata pelajaran atau mata kuliah dan kegiatan lainnya.
5. Buku teks pelajaran yang dipakai pada masing-masing mata pelajaran.
6. Jadwal penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pembelajaran.
7. Pengadaan, penggunaan, dan persediaan minimal bahan habis pakai.
8. Program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan yang meliputi sekurang-kurangnya jenis, durasi, peserta, dan penyelenggara program.
9. Jadwal rapat Dewan Pendidik, rapat konsultasi satuan pendidikan dengan orang tua/wali peserta didik, dan rapat satuan pendidikan dengan komite sekolah/madrasah, untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah.
10. Jadwal rapat Dewan Dosen dan rapat Senat Akademik untuk jenjang pendidikan tinggi.
11. Rencana anggaran pendapatan dan belanja satuan pendidikan untuk masa kerja satu tahun, jadwal penyusunan laporan akuntabilitas dan kinerja satuan pendidikan untuk satu tahun terakhir.
Secara umum, fungsi manajemen dapat dibagi menjadi 10 bagian, yaitu:
Directing atau commanding merupakan fungsi manajemen yang dapat berfungsi bukan hanya agar pegawai melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu kegiatan, tetapi dapat pula berfungsi mengkoordinasi kegiatan berbagai unsur organisasi agar dapat efektif tertuju kepada realisasi tujuan yang telah ditetapkan.
Sedangkan fungsi pokok manajemen pendidikan dibagi 4 macam:
Henry Fayol mengemukakan prinsip-prinsip pengelolaan yang dibagi menjadi 14 bagian, yaitu :
Dari beberapa prinsip tersebut diatas bukanlah sesuatu yang mutlak untuk dilakukan, bahkan Kast dan Rosenzweigh setuju dengan pendapat Fayol bahwa prinsip-prinsip tersebut adalah fleksibel dan dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan.
Manajemen strategik merupakan pengelolaan pendidikan yang berorientasi pada quality assurance sebagai jaminan kepada pelanggan, baik internal maupun eksternal dalam pengelolaan pendidikan yang berorientasi pada peningkatan mutu. Manajemen strategik direncanakan oleh satuan pendidikan dengan selalu menganalisis pada potensi kekuatan dan kekurangan serta analisis pada lingkungan sebagai peluang dan tantangan.
Ibnu. 2010. Fungsi Dan Prinsip Manajemen Pendidikan. (Online). Tersedia: http://makalah-ibnu.blogspot.com/2010/01/fungsi-dan-prinsip-manajemen-pendidikan.html. (02 Januari 2012)
Manulang, M. 1963. Dasar-Dasar Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia
Sobry Sutikno, M. 2010. Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Prospect
Sukiswa, Iwa. 1986. Dasar-Dasar Umum Manajemen Pendidikan. Bandung: Tarsito.
Dalam UUSPN, diungkapkan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional pada pasal 3 yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3 UUSPN 20/2003). Berdasarkan fungsi ini maka pada tahun 2005 Depdiknas menetapkan Rencana Strategik Depdiknas. Pada Renstra ini diungkapkan bahwa visi depdiknas adalah “Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional tersebut, Depdiknas berhasrat bahwa pada tahun 2025 dapat menghasilkan “Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif”.
https://instanonymous.com/m/BN85lIdDcL2 |
Perubahan mendasar tersebut berada pada perubahan pengelolaan pendidikan, dari pengelolaan sentralistik menjadi desentralistik. Pengelolaan pendidikan dengan berorientasi pada “kepuasan pelanggan” dengan mengedepankan mutu pendidikan. Namun perubahan pengelolaan tersebut sampai dengan saat ini masih dirasakan kurang holistik, karena pengelolaan yang selama ini dilakukan bertahun-tahun telah menjadi suatu kebiasaan, sehingga ketika diharapkan berubah masih saja yang terjadi perubahan sepenggal-sepenggal. Salah satu alternatif yang harus dilakukan oleh setiap satuan pendidikan adalah mereset pengelolaan pendidikan dengan menerapkan manajemen strategik.
Kebijakan Sentralistik
Kebijakan pendidikan yang sentralistik dialami dalam tiga periode, yaitu pada masa Pra-Orde Baru, Masa Orde Baru, dan Masa Transisi. Kebijakan pada masa Pra-Orde Baru masih berorientasi politik. Sebagaimana dijelaskan oleh Tilaar (2000:2) bahwa kebijakan pendidikan di masa itu diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Dengan demikian pendidikan bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar melainkan untuk orientasi politik. Indroktrinasi pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi diarahkan untuk pengembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di suasana perang dingin pada saat itu.Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru mengarah pada penyeragaman. Tilaar (2002:3) menjelaskan pendidikan di masa ini diarahkan kepada uniformalitas atau penyeragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen. Pada masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru. Pada masa ini pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima dengan tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik serta ketergantungan pada utang luar negeri sehingga melahirkan sistem pendidikan yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak produktif. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemen sekolah. Pendidikan diselenggarakan dengan mengingkari kebhinekaan dan mengurangi toleransi serta semakin dipertajam dengan bentuk primordialisme. Penerapan pendidikan tidak lagi diarahkan pada peningkatan kualitas, melainkan pada target kuantitas. Akuntabilitas pendidikan sangat rendah walaupun telah diterapkan prinsip ‘link and match” karena manajemen hanya dilakukan oleh sekelompok orang.
Pada masa transisi, kebijakan pendidikan merupakan masa refleksi terhadap arah pendidikan nasional. Tilaar (2000:5) menjelaskan bahwa pada masa krisis membawa masyarakat dan bangsa pada keterpurukan dari krisis moneter membuat menjadi krisis ekonomi dan berakhir pada krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa saat itu. Oleh karena pendidikan merupakan proses pembudayaan, maka krisis kebudayaan yang dialami merupakan refleksi dari krisis pendidikan nasional. Pada masa ini direfleksi berbagai pemikiran dalam memajukan sistem pendidikan kita, sehingga berbagai perubahannya dirasakan sangat drastis, dan sebagian pelaku pendidikan “tercengang” dan masih galau dalam menjalankan kebijakan baru.
Kebijakan Desentralistik
Berdasarkan beberapa hasil penelitian di beberapa negara maju menunjukkan, bahwa kebijakan desentralisasi berpengaruh cukup signifikan terhadap kemajuan dan pembangunan pendidikan. Setidaknya, terdapat empat karakteristik positif dalam menerapkan kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu: (1) peningkatan mutu, (2) efisien keuangan, (3) efisien administrasi, dan (4) perluasan atau pemerataan.Desentralisasi pendidikan yang antara lain dimanifestasikan dalam pemberian otonomi pada sekolah, akan meningkatkan kapasitas dan memperbaiki manajemen sekolah. Dengan kewenangan penuh yang dimiliki sekolah, maka sekolah lebih leluasa mengelola dan mendayagunakan potensi sumber daya yang dimiliki, misalnya, keuangan, tenaga pengajar (guru), kurikulum, sarana prasarana, dan lain-lain. Dengan demikian, desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan dan memperbaiki mutu belajar-mengajar, karena proses pengambilan keputusan dapat dilakukan langsung di sekolah oleh guru, kepala sekolah, dan tenaga administratif (staf manajemen). Bahkan yang lebih penting lagi, desentralisasi dapat mendorong dan membangkitkan gairah serta semangat mereka untuk bekerja lebih giat dan lebih baik. Pengalaman di New Zeland, misalnya, desentralisasi berdampak positif terhadap minat belajar siswa. Sementara di Brazil, siswa kelas tiga dapat memperbaiki nilai atau angka hasil ulangan untuk mata pelajaran dasar (bidang studi pokok). Di Amerika Serikat, desentralisasi pendidikan mengharuskan pendapatan pajak di negara bagian (pendapatan asli daerah) sebesar 60%-nya digunakan untuk pendidikan, sedangkan 40%-nya digunakan kegiatan lainnya.
Penerapan desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan diharapkan dapat memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur bertingkat-tingkat. Desentralisasi akan memberdayakan aparat tingkat daerah dan lokal, dan membangkitkan motivasi aparat penyelenggara pendidikan bekerja lebih produktif. Ini berdampak pada efisiensi administrasi. Pengalaman di Cile, misalnya, desentralisasi secara signifikan berhasil menurunkan biaya administrasi, yang ditandai dengan perampingan jumlah pegawai.
Secara teoritis, desentralisasi membuka peluang kepada penyelenggara pendidikan di tingkat daerah dan lokal untuk melakukan ekspansi sehingga akan terjadi proses perluasan dan pemerataan pendidikan. Desentralisasi akan meningkatkan permintaan pelayanan pendidikan yang lebih besar, terutama bagi kelompok masyarakat di suatu daerah yang selama ini belum terlayani. Memang ada kemungkinan munculnya dampak negatif, yaitu, bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan potensi SDM, akan berkembang jauh lebih cepat sehingga meninggalkan daerah lain yang miskin dan kurang potensi SDM-nya. Namun, pemerintah pusat dapat melakukan intervensi dengan memberi dana khusus berupa block-grant kepada daerah-daerah miskin itu, sehingga dapat berkembang secara lebih seimbang.
Kebijakan desentralisasi bidang pendidikan dalam melaksanakan Otonomi Daerah berkonsekuensi pada perlunya kebijakan strategis bidang pendidikan, yaitu: (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasiskan pada partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Based Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat.
Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pendidikan (stakeholders) dalam memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tersebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat, pakar, dan pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.
Tujuan program MBS di antaranya menuntut sekolah agar dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan layanan pendidikan (quality assurance) yang disusun secara bersama-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya membantu pembiayaan operasional pendidikan di sekolah tersebut, melainkan membantu pula mengawasi dan mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu di antaranya, diharapkan dapat menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Realisasi dari ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari orangtua siswa untuk membantu operasional sekolah untuk menggapai kualitas pendidikan.
Sebetulnya, sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-sumber pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sehingga dapat mewadahi kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidiknya masih kurang atau menganggap Komite Sekolah seperti halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Dengan demikian, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap datang sang penyelamat, Bos, funding father yaitu pemerintah.
Manajemen Strategik
Sebagaimana diungkapkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan (sekolah/ madrasah/pesantren/pusat kegiatan belajar masyarakat) berbasis pada potensi stakeholder di sekitar sekolah. Pengelolaan ini sejalan dengan prinsip Badan Hukum Pendidikan yang akan diterapkan untuk setiap satuan pendidikan. Pengelolaan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu dilakukan seperti halnya pengelolaan pesantren, diserahkan kepada pemangku kepentingan. Pemerintah tidak ikut campur lagi mengurusi hal teknis, sehingga kebijakan pemerintah dalam peningkatan mutu hanya difasilitasi dengan kebijakan otonomisasi, standarisasi, akreditasi, dan sertifikasi.Dalam menerapkan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sekolah harus menetapkan mutu sebagai tujuan penyelenggaraan pendidikan. Pencapaian mutu tersebut menjadi benchmarking bagi sekolah dalam menjalankan kinerjanya. Oleh karena itu, sejak uji coba pelaksanaan Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM) pada 1000 SLTP/SLTA dilakukan pemerintah maka ditetapkan program Manajemen Peningatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Dalam program MPMBS, pemerintah tidak lagi ikut mengatur masalah kurikulum, karena kurikulum harus dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah dari Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan yang disusun oleh lembaga independen yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Pemerintah dan pemerintah daerah tidak ikut melakukan pengujian atau mengevaluasi hasil pendidikan (ulangan umum), karena kewenangan tersebut berada pada guru, kecuali nilai prasyarat untuk penentuan kelulusan pendidikan dasar dan menengah berdasarkan Ujian Nasional yang soal dan pelaksanaannya dilakukan oleh BSNP. Pemerintah tidak ikut mengatur penggunaan buku teks pelajaran, kecuali menyediakan Buku Sumber Elektronik (BSE) yang kualitasnya telah dinilai oleh BSNP dan dana untuk pembelian buku tersebut. Pemerintah atau pemerintah daerah tidak lagi harus menyediakan buku laporan pendidikan (raport), karena hal tersebut merupakan kewenangan dan tanggungjawab sekolah.
Otonomi yang demikian besar diberikan kepada sekolah ini seharusnya menjadi dasar untuk melakukan manajemen strategik. Kepala Sekolah sebagai leader memiliki kewenangan manajerial untuk memimpin warga sekolah untuk bersama-sama merancang manajemen strategik.
Sebagaimana diketahui bahwa pada awalnya manajemen strategik digunakan dalam manajemen bisnis, yaitu usaha manajerial untuk menumbuhkembangkan kekuatan perusahaan untuk mengeksploitasi peluang bisnis yang muncul guna mencapai tujuan perusahaan yang merupakan pengembangan dari visi dan misi yang telah ditentukan”. Peluang bisnis dalam bidang pendidikan adalah “layanan jasa pendidikan”, sehingga yang menjadi pelanggan pun adalah peserta didik sebagai pelanggan internal dan orangtua siswa sebagai pelanggan eksternal. Manajemen strategik dalam dunia pendidikan merupakan suatu pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan pendekatan terhadap analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan untuk merancang aktivitas dalam rangka mencapai visi, misi, dan tujuan sekolah yang telah ditentukan.
1) Upaya Peningkatan Mutu sebagai Dasar Manajemen Strategik
Program peningkatan mutu pendidikan yang dicanangkan pemerintah sebagai salah satu rencana strategik harus ditindaklanjuti di tingkat satuan pendidikan. Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing dimaksudkan untuk perwujudan eksistensi manusia dan interaksinya sehingga dapat hidup bersama dalam keragaman sosial dan budaya. Selain itu, upaya ini dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat serta daya saing bangsa.Mutu pendidikan juga dilihat dari peningkatan atas penghayatan dan pengamalan nilai-nilai humanisme yang meliputi keteguhan iman dan taqwa serta berakhlak mulia, beretika, berwawasan kebangsaan, berkepribadian tangguh, dan berekspresi estetis, serta sehat jasmani dan rohani. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan diukur dari pencapaian kecakapan akademik dan nonakademik lebih tinggi yang memungkinkan lulusan dapat proaktif terhadap perubahan masyarakat dalam berbagai bidang baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Berdasarkan kesadaran ini maka orientasi mutu pendidikan sebagai benchmaking menjadi sasaran manajemen strategik di satuan pendidikan.
Dalam menerapkan manajemen strategik, Kepala sekolah memimpin satuan pendidikan untuk melakukan analisis terhadap potensi diri dan lingkungan. Analisis ini merupakan dasar untuk melaksanakan manajemen mutu yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). Standar ini meliputi berbagai komponen yang terkait dengan mutu pendidikan, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Kepala Sekolah menetapkan pencapaian terhadap standar-standar tersebut sebagai dasar untuk mengukur kinerja satuan pendidikan yang dipimpinnya pada standarisasi pendidikan.
2) Menerapkan Manajemen Strategik Kontemporer
Dalam melaksanakan manajemen strategik, saat ini telah berkembang dari suatu manajemen strategik yang tradisional ke arah suatu sistem manajemen bersifat kontemporer. Sistem manajemen strategik kontemporer memiliki karakteristik yang berbeda dengan sistem manajemen tradisional. Sistem manajemen tradisional hanya berfokus pada sasaran-sasaran yang bersifat efisiensi keuangan, sedangkan sistem manajemen kontemporer mencakup 4 (empat) perspektif yaitu mencakup perspektif efisiensi keuangan, proses layanan internal, kepuasan pelanggan, dan pertumbuhan layanan jasa.Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam melaksanakan manajemen strategik adalah menggunakan empat komponen manajemen strategik, yaitu:
(1) Analisis potensi dan profil satuan pendidikan (sekolah/madrasah) untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan;
(2) Analisis lingkungan untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman dalam melaksanakan layanan jasa pendidikan;
(3) Menetapkan visi dan misi berdasarkan analisis potensi dan lingkungan sebagai acuan dalam pengelolaan satuan pendidikan;
(4) Menetapkan strategi yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja sekolah dalam mencapai visi dan misi sekolah;
Berdasarkan pandangan manajemen strategik kontemporer diperlukan keseimbangan antara efisiensi keuangan dengan proses layanan. Peningkatan pembiayaan harus diiringi dengan peningkatan proses layanan, misalnya dengan menggunakan sarana teknologi atau media lain yang menjadikan proses layanan lebih simpel, cepat, dan akurat. Peningkatan pembiayaan harus sejalan dengan kepuasan pelanggan (custommer satisfaction), semakin besar biaya yang dikeluarkan maka semakin meningkat pula jumlah pelanggan karena mereka merasa puas dengan layanan yang diberikan. Peningkatan pembiayaan harus diiringi pula dengan penambahan atau pertumbuhan layanan jasa. Peningkatan pembiayaan yang dapat meningkatkan proses layanan dan kepuasan pelanggan seharusnya menumbuhkan jenis layanan jasa lainnya (difersifikasi) layanan jasa pendukung pendidikan.
Manajemen strategik kontemporer di atas dapat diterapkan pada satuan pendidikan (sekolah/madrasah/pesantren/pusat kegiatan belajar masyarakat). Penerapan manajemen strategik ini dapat mendorong satuan pendidikan dalam menjalankan program peningkatan mutu pendidikan.
Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan satuan pendidikan menjadi tanggung jawab kepala satuan pendidikan.
Standar Pengelolaan terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni standar pengelolaan oleh satuan pendidikan, standar pengelolaan oleh Pemerintah Daerah dan standar pengelolaan oleh Pemerintah. Setiap satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur tentang:
1. Kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus.
2. Kalender pendidikan/akademik, yang menunjukkan seluruh kategori aktivitas satuan pendidikan selama satu tahun dan dirinci secara semesteran, bulanan, dan minggu
3. Struktur organisasi satuan pendidikan
4. Pembagian tugas di antara pendidik
5. Pembagian tugas di antara tenaga kependidikan
6. Peraturan akademik
7. Tata tertib satuan pendidikan, yang minimal meliputi tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik, serta penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana
8. Kode etik hubungan antara sesama warga di dalam lingkungan satuan pendidikan dan hubungan antara warga satuan pendidikan dengan masyarakat
9. Biaya operasional satuan pendidikan.
Setiap satuan pendidikan dikelola atas dasar rencana kerja tahunan yang merupakan penjabaran rinci dari rencana kerja jangka menengah satuan pendidikan yang meliputi masa 4 (empat) tahun yaitu:
1. Kalender pendidikan/akademik yang meliputi jadwal pembelajaran, ulangan, ujian, kegiatan ekstrakurikuler, dan hari libur.
2. Jadwal penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk tahun ajaran berikutnya.
3. Mata pelajaran atau mata kuliah yang ditawarkan pada semester gasal, semester genap, dan semester pendek bila ada.
4. Penugasan pendidik pada mata pelajaran atau mata kuliah dan kegiatan lainnya.
5. Buku teks pelajaran yang dipakai pada masing-masing mata pelajaran.
6. Jadwal penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pembelajaran.
7. Pengadaan, penggunaan, dan persediaan minimal bahan habis pakai.
8. Program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan yang meliputi sekurang-kurangnya jenis, durasi, peserta, dan penyelenggara program.
9. Jadwal rapat Dewan Pendidik, rapat konsultasi satuan pendidikan dengan orang tua/wali peserta didik, dan rapat satuan pendidikan dengan komite sekolah/madrasah, untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah.
10. Jadwal rapat Dewan Dosen dan rapat Senat Akademik untuk jenjang pendidikan tinggi.
11. Rencana anggaran pendapatan dan belanja satuan pendidikan untuk masa kerja satu tahun, jadwal penyusunan laporan akuntabilitas dan kinerja satuan pendidikan untuk satu tahun terakhir.
Fungsi – Fungsi Manajemen Satuan Pendidikan
Sampai saat ini, masih belum ada konsensus baik di antara praktisi maupun para teoritisi mengenai apa yang menjadi fungsi-fungsi manajemen. Sering pula disebut unsur-unsur manajemen.Secara umum, fungsi manajemen dapat dibagi menjadi 10 bagian, yaitu:
- Forecasting
- Planning
- Menetapkan tentang apa yang harus dikerjakan, kapan dan bagaimana melakukannya.
- Membatasi sasaran dan menetapkan pelaksanaan-pelaksanaan kerja untuk mencapai efektivitas maksimum melalui proses penentuan target.
- Mengumpulkan dan menganalisa informasi
- Mengembangkan alternatif-alternatif
- Mempersiapkan dan mengkomunikasikan rencana-rencana dan keputusan-keputusan.
- Organizing
- Menyediakan fasilitas-fasilitas perlengkapan, dan tenaga kerja yang diperlukan untuk penyusunan rangka kerja yang efisien.
- Mengelompokkan komponen kerja ke dalam struktur organisasi secara teratur.
- Membentuk struktur wewenang dan mekanisme koordinasi.
- Merumuskan dan menentukan metode serta prosedur.
- Memilih, mengadakan latihan dan pendidikan tenaga kerja dan mencari sumber-sumber lain yang diperlukan.
- Staffing atau Assembling Resources
- Directing atau Commanding
Directing atau commanding merupakan fungsi manajemen yang dapat berfungsi bukan hanya agar pegawai melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu kegiatan, tetapi dapat pula berfungsi mengkoordinasi kegiatan berbagai unsur organisasi agar dapat efektif tertuju kepada realisasi tujuan yang telah ditetapkan.
- Leading
- Mengambil keputusan
- Mengadakan komunikasi agar ada bahasa yang sama antara manajer dan bawahan
- Memberi semangat inspirasi dan dorongan kepada bawahan supaya mereka bertindak
- Memilih orang-orang yang menjadi anggota kelompoknya
- Memperbaiki pengetahuan dan sikap-sikap bawahan agar mereka trampil dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
- Coordinating
- Dengan memberi instruksi
- Dengan memberi perintah
- Mengadakan pertemuan-pertemuan dalam mana diberi penjelasan-penjelasan
- Memberi bimbingan atau nasihat
- Mengadakan coaching
- Bila perlu memberi teguran.
- Motivating
- Controlling
- Reporting
Sedangkan fungsi pokok manajemen pendidikan dibagi 4 macam:
1. Fungsi Perencanaan
Perencanaan merupakan salah satu syarat mutlak bagi setiap kegiatan pengelolaan. Perencanaan merupakan keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang terhadap hal yang akan dikerjakan pada masa yang akan datang dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan. Tanpa perencanaan, pelaksanaan suatu kegiatan akan mengalami kesulitan dan bahakan kegagalan dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Merencanakan suatu kegiatan merupakan tindakan awal sebagai pengakuan bahwa suatu pekerjaan tidak semata-mata ditentukan sendiri keberhasilannya, namun banyak faktor lain yang harus dipersiapkan untuk mendukung keberhasilannya. Jadi, arti penting perencanaan adalah memberikan kejelasan arah bagi setiap kegiatan, sehingga setiap kegiatan dapat diusahakan dan dilaksanakan seefisien dan seefektif mungkin.2. Fungsi Pengorganisasian
Pengorganisasian merupakan aktivitas menyusun dan membentuk hubungan-hubungan kerja antara orang-orang sehingga terwujud suatu kesatuan usaha dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kehidupan organisasi yang di dalamnya berisikan kumpulan sejumlah orang, adanya pembagian bidang pekerjaan, adanya koordinasi dimana kerjasama berlangsung dan usaha mencapai tujuan bersama (organisasi) yang sekaligus menampung tujuan individu. Pembagian pekerjaan menciptakan adanya pemimpin dan anggota dimana dengan otoritas dan keteladanannya mempengaruhi para anggota untuk bekerja secara sukarela dan bersama-sama mencapai tujuan. Ernest Dale seperti dikutip oleh T. Hani Handoko mengemukakan tiga langkah dalam proses pengorganisasian, yaitu: (a) pemerincian seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi; (b) pembagian beban pekerjaan total menjadi kegiatan-kegiatan yang logik dapat dilaksanakan oleh satu orang; dan (c) pengadaan dan pengembangan suatu mekanisme untuk mengkoordinasikan pekerjaan para anggota menjadi kesatuan yang terpadu dan harmonis.3. Fungsi Pemotivasian
Motivasi merupakan suatu kekuatan yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu kegiatan. Motivasi dapat mempengaruhi prestasi seseorang dalam melakukan suatu kegiatan. Motivasi dapat mempengaruhi prestasi sesorang dalam melakukan suatu kegiatan tertentu. Apabila para guru mempunyai motivasi kerja yang tinggi, mereka akan terdorong dan berusaha untuk meningkatkan kemampuannya dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kurikulum yang berlaku di sekolah sehingga diperoleh hasil kerja yang maksimal.4. Fungsi Pengawasan
Pengawasan merupakan fungsi manajemen yang tidak kalah pentingnya dalam suatu organisasi. Dengan melakukan pengawasan, dapat diketahui keefektifan setiap kegiatan organisasi serta dapat diketahui kelemahan dan kelebihan selama berlangsungnya proses pengelolaan, kelemahan yang ada dapat dicarikan jalan keluarnya dan kelebihannya dapat dipertahankan atau mungkin ditingkatkan. Selain itu, dapat diketahui apakah seluruh rangkaian kegiatan dalam organisasi sesuai dengan tujuan yang diharapkan, apakah seluruh proses pengelolaan telah berjalan dengan optimal. Dalam perspektif persekolahan, agar tujuan pendidikan di sekolah dapat tercapai secara efektif dan efisisen, maka proses pengelolaan pendidikan memiliki peranan yang amat vital. Karena bagaimana pun sekolah merupakan suatu sistem yang didalamnya melibatkan berbagai komponen dan sejumlah kegiatan yang perlu dikelola secara baik dan tertib. Sekolah tanpa didukung proses pengelolaan yang baik, boleh jadi hanya akan menghasilkan kesemrawutan lajunya organisasi, yang pada gilirannya tujuan pendidikan pun tidak akan pernah tercapai sesuai dengan harapan.Prinsip-Prinsip Pengelolaan Satuan Pendidikan
Prinsip Adalah suatu pernyataan atau suatu kebenaran pokok yang memberikan petunjuk kepada pemikiran atau tindakan yang akan diambil. Prinsip merupakan dasar atau landasan untuk bertindak, akan tetapi juga bukan sesuatu yang mutlak. Prinsip utama dari pengelolaan ialah efisiensi (daya guna) dan efektifitas (hasil guna) dalam mencapai hasil atau tujuan yang direncanakan. Untuk mencapai hasil yang efektif dan evisien maka dalam prosaes pengelolaan mengenal beberapa prinsip.Henry Fayol mengemukakan prinsip-prinsip pengelolaan yang dibagi menjadi 14 bagian, yaitu :
- Division of work (Pembagian kerja)
- Authority and Responsibility (Tugas dan Wewenang)
- Discipline
- Unity of command (Kesatuan perintah)
- Unity of direction (kesatuan arah/tujuan)
- Subordination of individual interest to general interest
- Remuneration of Personnel
- Centralization
- Scalar chain
- Order
- Equity
- Stability Of Tenure Of Personnel (Stabilitas Jabatan)
- Initiative
- Ecsprit de Corps
Dari beberapa prinsip tersebut diatas bukanlah sesuatu yang mutlak untuk dilakukan, bahkan Kast dan Rosenzweigh setuju dengan pendapat Fayol bahwa prinsip-prinsip tersebut adalah fleksibel dan dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan.
KeSimpulan
Manajemen strategik merupakan salah satu implementasi dari Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Manajemen strategik pada satuan pendidikan merupakan pengelolaan pendidikan yang dipimpin oleh kepala sekolah sebagai manajer dan leader di satuan pendidikan. Manajemen strategik merupakan model pengelolaan pendidikan modern yang harus diterapkan oleh setiap satuan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan;Manajemen strategik merupakan pengelolaan pendidikan yang berorientasi pada quality assurance sebagai jaminan kepada pelanggan, baik internal maupun eksternal dalam pengelolaan pendidikan yang berorientasi pada peningkatan mutu. Manajemen strategik direncanakan oleh satuan pendidikan dengan selalu menganalisis pada potensi kekuatan dan kekurangan serta analisis pada lingkungan sebagai peluang dan tantangan.
DAFTAR PUSTAKA
Asrori Ardiansyah, M. 2011. Prinsip-prinsip Manajemen. (Online). Tersedia: http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/10/prinsip-prinsip-manajemen.html. (02 Januari 2012)Ibnu. 2010. Fungsi Dan Prinsip Manajemen Pendidikan. (Online). Tersedia: http://makalah-ibnu.blogspot.com/2010/01/fungsi-dan-prinsip-manajemen-pendidikan.html. (02 Januari 2012)
Manulang, M. 1963. Dasar-Dasar Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia
Sobry Sutikno, M. 2010. Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Prospect
Sukiswa, Iwa. 1986. Dasar-Dasar Umum Manajemen Pendidikan. Bandung: Tarsito.
Tag: manajemenpendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar