PEMERINTAH dan rakyat Indonesia, dewasa ini sedang gencar-gencarnya mengimplementasikan pendidikan karakter di institusi pendidikan ; mulai dari tingkat dini (PAUD), sekolah dasar (SD/MI), sekolah menengah (SMA/MA), hingga perguruan tinggi. Melalui pendidikan karakter yang diimplementasikan dalam institusi pendidikan, diharapkan krsisis degradasi karakter atau moralitas anak bangsa ini dapat segera teratasi. Lebih dari itu diharapkan di masa yang akan datang terlahir generasi bangsa dengan ketinggian budi pekerti atau karakter. Itulah ancangan mulia pemerintah dan rakyat Indonesia, yang patut didukung oleh segenap elemen.
Munculnya kesadaran mengaplikasikan pendidikan karakter tersebut, karena melihat fenomena degradasi moralitas generasi muda saat ini, yang penulis istilahkan “sudah di ambang sekarat”, carut marut moralitas anak bangsa saat ini dapat kita amati dalam kehidupan sehari-hari. Contoh paling sederhana adalah ketika berlalu-lintas, di mana bukan hanya hilangnya ketaatan pada rambu-rambu atau aturan yang ada, tetapi juga sudah sirnanya toleransi dan sopan-santun antar sesama pengguna jalan. Data teranyar yang lagi hangat-hangatnya, mewartakan terjadinya kembali tawuran antar pelajar dan antar mahasiswa, sungguh sangat memalukan.
Contoh lain yang tarafnya lebih akut, seperti hilangnya penghormatan pada orang yang lebih tua, budaya mencontek/menjiplak ketika ulangan atau ujian, pergaulan bebas tanpa batas, seks bebas, mengkonsumsi bahkan menjadi pecandu narkoba, menjadi kelompok geng motor yang anarkhis, dan masih banyak lagi. Jika banyak generasi muda kita yang keluar dari rambu-rambu susilan, sebagian generasi tua juga tidak mau kalah. Banyak politikus di negeri ini yang tidak menunjukkan ketinggian karakter, tetapi malah sebaliknya. Mereka tanpa berdosa mengkorupsi habis uang rakyatnya. Jika tidak, mereka membuat kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyatnya. Para politikus ini menjelam menjadi manusia “pembohong”.Bangsa kita, sepertinya saat ini
telah kehilangan kearifan lokal yang emnjadi karakter budaya bangsa sejak berabad-abad lalu.
Di sisi lain, ada anggapan bahwa pelaksanaan pendidikan karakter memang belum optimal. Pada kondisi demikian sukar diharapkan perbaikan karakter, bisa jadi disebabkan ketidaksiapan dan kekurangpahaman para guru mengajarkannya. Karena sifatnya yang instan, berbagai training, pelatihan dan workshop pendidikan karakter yang sudah diikuti, belum mampu dilaksanakan oleh para guru.Selain ketidakpahaman bagaimana mengajarkan pendidikan karakter, bisa jadi para gurunya sendiri belum berkarakter. Para guru belum bisa menjadi figur tauladan, yang perilakunya bisa dijadikan model bagi peserta didik. Para guru, alih-alih memberi tauladan bagaimana berperilaku yang santun dan berkarakter, mereka justru sering unjuk kekerasan dan kebringasan. Seperti ketika ada peserta didik datang terlambat atau tidak mampu mengerjakan soal ulangan.
Menangani fenomena tersebut, semestinya menjadi action para guru mengaplikasikan pendidikan karakter; bagaimana anak didik tidak dibentak, tidak dipermalukan di depan teman-temannya, tidak direndahkan harga dirinya, serta bagaimana mestinya guru memberi punishment yang mendidik. Memang, ada sebagaian guru yang dengan tulus dan ikhlas membangun karakter peserta didiknya. Sayangnya jumlah guru sebagaimana disebutkan sedikit sekali. Para guru itu, laksana Ibu Muslimah, Ki Hadjar Dewantara, KH Hasyim As’ary, KH Ahmad Dahlan atau para guru bangsa lainnya, mengajar sembari menginternalisasikan karakter kepada peserta didiknya. Sosok seperti mereka itulah, yang akan membawa keberhasilan implementasi pendidikan karakter.
Di sisi lain, belum ada kerjasama yang sinergis antara sekolah, masyarakat dan keluarga.Misalnya saja, sekolah sudah berupaya menanamkan pendidikan karakter tetapi di masyarakat dan keluarga justru mnegebiri dan mngikis nilai-nilai yang sudah diajarkan itu. Lingkungan keluarga yang mestinya merupakan lahan subur menyemai nilai-nilai karakter, justru menjadi penjara yang penuh kekerasan dan keberingasan. Banyak orang tua yang berdalih mengenai pemenuhan tuntutan ekonomi, justru abai dengan anak-anaknya. Belum lagi yang lingkungan keluarganya tidak harmonis, orang tua seperti lupa, bahwa nak adalah titipan Tuhan yang harus dididik, dirawat dan diiringi tumbuh kembangnya dengan baik.
, baru memebentuk karakter peserta didik. Akan menjadi kerja yang sia-sia, ketika menganjurkan peserta didik untuk berperilaku mulia, sementara gurunya sendiri tidak berkarakter.
Pendek kata, dari sosok guru yang memancarkan karakter luhur itulah besar kemungkinan internalisasi pendidikan karakter efektif.
B. Mengingat (Kembali) Pendidikan Karakter
1. Apa Itu Karakter dan Pendidikan Karakter?
Jika dilihat dari asal-usul kata, banyak sekali pendapat mengenai dari mana kata “karakter” itu berasal. Ada yang berpendapat jika akar kata “karakter” ini, berasal dari kata dalam bahasa Latin, yaitu “kharakter”, “kharassein”, dan “kharax”, yang bermakna “tools for making”, “to engrave”, dan “pointed stake”. Kata ini konon banyak digunakan dalam bahasa Perancis sebagai “caractere” pada abad ke-14. Ketika masuk ke dalam bahasa Inggris, kata “caractere” ini berubah menjadi “character”.
Adapun di dalam bahasa Indonesia kata “character” ini mengalami perubahan menjadi “karakter” ( Dani Setiawan, 2010).
Seperti halnya mengenai asal-usul, definisi para ahli mengenai karakter sendiri bermacam-macam, tergantung dari sisi atau pendekatan apa yang dipakai.
~ Menurut American Dictionary of the English Language (2001:2192), karakter merupak istilah yang menunjuk kepada aplikasi nilai-nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku.
~ Sementara dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan sebagai tabiat , sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak.
~ Menurut (Doni Koesoema, 2007: 80) adapun kepribadian
Adapun kepribadian merupakan ciri, karakteristik, atau sifat khas diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan bawaan sejak lahir.
~ Menurut Thomas Lickona (1991:52), karakter mulia mengenai pengetahuan kebaikan (mpral knowing), lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan (moral feeling), dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (mora behavior). Dengan kata lain, karakter mengacu pada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitudess), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).
~ Menurut Ki Hadjar Dewantara (2011:25), memandang karakter itu sebagai budi pekerti atau watak. Budi pekerti adalah bersatunya antara gerak fikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan, yang kemudian menimbulkan tenaga.
~ Menurut Kemendiknas (2010), karakter adalah watak, tabiat, watak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues), yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.
2. Nilai-nilai Dalam Pendidikan Karakter
Nilai-nilai karakter mulia itu dapat kita temukan dalam adat dan budaya hampir di setiap suku bangsa di negeri ini. Seperti dalam adat dan budaya suku Jawa, Sunda, Sasak, Bugis, Minang, Asmat, Dayak, dan sebagainya. Nilai-nilai luhur ini merupakan aspek utama yang diinternalisaasikan kepada peserta didik melalui pendidikan karakter. Lokalitas menjadi penting dikedepankan dalam pendidikan karakter, sehingga peserta didik tidak tercerabut dari akar dan budayanya.
Hendaknya nilai-nilai luhur yang berasal dari adat dan budaya lokal lebih diutamakan untuk diinternalisasikan kepada peserta didik melalui pendidikan karakter. Sebagai contoh, dalam masyarakat Jawa nilai-nilai “adiluhung” yang terdapat dalam adat dan budaya Jawa seperti tepo seliro, menghormati yang lebih tua, menghormati alam, dan lingkungan hidup, mencium tangan orang tua atau guru, dan sebagainya hendaknya lebih diutamakan untuk diinternalisasikan kepada peserta didik.
3. Implementasi Pendidikan Karakter Di Sekolah
Penulis menguraikan bahwa implementasi pendidikan karakter bisa dilakukan melalui :
a) Terintegrasi dalam pembelajaran;
b) Terintegrasi dalam pengembangan diri melalui kegiatan ekstrakurikuler, dan
c) Terintegrasi dalam manajemen sekolah.
Pendidikan karakter yang terintegrasi dalam kegiatan pengembangan diri, artinya berbagai hal terkait dengan karakter diimplementasikan dalam kegiatan pengembangan diri melalui kegiatan ekstra kurikuler. Beberapa kegiatan ekstra kurikuler yang memuat pembentukan karakter antara lain :
a. Olah raga (sepak bola, bola voli, bulu tangkis, tenis meja, dan lain-lain),
b. Keagamaan (baca tulis Al-Quran, kajian hadis, ibadah, dan lain-lain),
c. Seni Budaya (menari, menyanyi, melukis,teater),
d. KIR,
e. Kepramukaan,
f. Latihan Dasar Kepemimpinan Peserta Didik (LDKS),
g. Palang Merah Remaja (PMR),
h. Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (PASKIBRAKA),
i. Pameran, Lokakarya,
j. Kesehatan, dan lain-lainnya.
Adapun pendidikan karakter yang terintegrasi dalam manajemen sekolah artinya berbagai hal terkait dengan karakter (nilai-nilai, norma, dan ketaqwaan, dan lain-lain), dirancang dan diimplementasikan dalam aktivitas manajemen sekolah, seperti pengelolaan : peserta didik, regulasi/peraturan sekolah, sumber daya mansia, sarana dan prasarana, keuangan, perpustakaan, pembelajaran, penilaian, dan informasi, serta pengelolaan lainnya.
Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam struktur kurikulum di sekolah pada umunya ada dua mata pelajaran yang terkait langsung dengan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia, yaitu pendidikan Agama dan PKn. Kedua mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran yang secara langsung (eksplisit) mengenalkan nilai-nilai, dan sampai taraf tertentu menjadikan peserta didik peduli dan menginternalisasi nilai-nilai. Dengan kata lain, tidak setiap mata pelajaran diberi integrasi semua butir nilai tetapi beberapa nilai utama saja.
Menurut Lickona (2007), pendidikan karakter di sekolah dapat berjalan secara efektif jika para pendidikan prinsip-prinsip berikut :
a. Nilai-nilai etika inti hendaknya dikembangkan, sementara nilai-nilai kinerja pendukungnya dijadikan sebagai dasar atau fondasi;
b.Karakter hendaknya didefinisikan secara komprehensif, disengaja, dan proaktif;
c. Pendekatan yang digunakan hendaknya komprehensif, disengaja, dan proaktif;
d. Ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian;
e. Berikan peserta didik kesempatan untuk melakukan tindakan moral;
f. Buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang, yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu mereka untuk berhasil;
g.Usahakan mendorong motivasi diri peserta didik.
h.Libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajarn dan moral;
i. Tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral;
j. Libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra;
k.Evaluasi karakater sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana peserta didik memanifestasikan karakter yang baik.
- Pengembangan Pendidikan Karakter.
Selanjutnya , pendidikan karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Pendidikan karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Pendidikan karakter hendaknya juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri, Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral acting. Hal ini diperlukan agar peserta didik dan warga sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai kebajikan (moral). Dalam mengimplementasikan pendidikan karakter, komunitas sekolah tidak bekerja dan berjuang sendiri. Akan tetapi, sekolah hendaknya bekerjasama dengan masyarakat di luar lembaga pendidikan; seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara. Dengan desain demikian , diharapkan pendidikan karakter akan senantiasa hidup dan sinergi dalam setiap rongga pendidikan.
Sumber : Agus Wibowo, M.Pd., Manajemen Pendidikan Karakter Di Sekolah , Pustaka Pelajar Yogyakarta, Februari 2013
Tag: pendidikan karakter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar