TANTANGAN HERMENEUTIKA SEBAGAI INSTRUMEN PENELITIAN SOSIAL



Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani; Hermeneutikos yang artinya menjelaskan atau memberikan penjelasan. Selama berabad-abad, Hermeneutika merupakan sub-bagian dari ilmu filologi. Pada awal kemunculan dan perkembangannya, Hermeneutika digunakan untuk menyelesaikan persoalan banyaknya naskah-naskah dan dokumen-dokumen Kristen yang isinya saling bertentangan satu sama lain. Karena itu, Hermeneutika sangat terasa manfaatnya dalam Historiografi.

Pada awal abad keenambelas, Hermeneutika muncul sebagai metode untuk menemukan jawaban atas berbagai kebimbangan dan dengan cepat berubah menjadi sebuah metode ilmiah. Diawali dari perdebatan sengit antara kelompok Protestan vs. Katolik, tentang keaslian Injil dan makna dari beberapa ayat yang saling bertentangan satu sama lain. Kemudian, dalam waktu singkat, ‘kritik filologis’ ini telah menarik perhatian banyak sejarahwan dan filosof. Ketenaran Hermeneutika mulai melesat setelah Lorenzo Valla berhasil membongkar kepalsuan beberapa dokumen gereja yang tidak pernah diragukan keasliannya selama berabad-abad sebelumnya. Setelah itu, Hermeneutika mulai berubah dari posisi awalnya sebagai salah satu cabang dalam filologi. Contohnya, Hermeneutika juga mulai digunakan dalam ilmu hukum untuk membuat interpretasi atas sebuah naskah hukum.

Walau begitu, belum dapat dikatakan bahwa Hermeneutika dapat menjawab semua persoalan dalam seluruh ilmu sosial –khususnya sosiologi. Sejalan dengan tugasnya untuk membuat ‘klarifikasi’, Hermeneutika dipandang sebagai alat yang ampuh dan penting. Dengan sifat dasar kritis yang dimilikinya dan refleksi filosofis atas aktivitas dan hasil yang diperoleh dari beberapa kajian yang menggunakannya, Hermeneutika pun mulai berperan besar dalam menjawab beragam pertanyaan dalam pengetahuan sosial.

Lambat namun pasti, pada awal kehadirannya, Hermeneutika mulai berubah. Hermeneutika mulai merambah beragam jenis naskah lainnya yang tidak anonim. Dalam kajiannya, Hermeneutika juga mulai memperhitungkan berbagai variabel di luar tulisan di dalam naskah –misalnya peri kehidupan penulis naskah. Dalam pengkajian atas otentisitas semacam ini, ilmu semacam filologi tentu lebih sesuai dibanding psikologi. Pada zaman itu, kecenderungan dalam karya tulis tentu tidak sama dengan sekarang, di manapada saat itu, penulis dianggap sebagai ‘pemilik yang sah’ dari sebuah tulisan. Sehingga kritik atas tulisan dapat dipandang sebagai ssuatu yang menyerang pribadi penulisnya.

Pertengahan abad kedelapanbelas merupakan tahapan penting di mana nilai-nilai estetika klasik dicoba untuk dipertahankan. Pada masa itu, seorang Artis masih dipandang sebagai pemandu atas penilaian yang akan diberikan masyarakat pada hasil karyanya. Demikian pula dalam dunia tulis menulis. Seorang penulis akan dipehiungkan intensinya dalam membuat bentuk, struktur, harmoni dan logika inheren dalam tulisannya. Bagi Winckelmann, seorang ahli teoripaling berpengaruhpada masa itu, keindahan –sebagai makna paling dalam dalam suatu karya sastra- merupakan hal yang paling penting dalam sebuah produk artistik. Dan karena itu, estetika tidak memiliki ruang bagi kpribadian seorang penulis. Sontak, opini Winckellmann segera mendapat sambutan sebagaisuatu pencerahan pada masa itu.

Kemudian, Kant menyatakan bahwa seorang artis bertanggung jawb atas segala karya yang dibuatnya –karena ia memikirkan dan merasakan segala kreasinya. Pada 1797, W.H. Wackenroder menulis bahwa untuk menilai suatu karya, seseorang harus berkontemplasi dan memikirkan sang pembuat karya daripada memikirkan hasil karyanya. Tidak lama setelah itu, kaum Novalis menyatakan bahwa ‘jiwa’ dari seorang pembuat karya mewakili karya yang dibuatnya.

Masa Romantisme kemudian mencatat bahwa hasil karya seni –dan bentuk lainnya dari karya-karya manusia- merupakan suatu sistem yang purposif. Naskah, lukisan, pahatan, merupakan perwujudan dari ide, direpresentasikan melalui hasil. Sementara ide itu sendiri tidak dapat dipenuhi oleh suatu karya saja. Ide tersebut hanya dapat dikenali oleh pembuatnya dan hanya pembuatnya pula yang dapat menjelaskan makna dari representasi ide yang mereka buat.

Dalam menilai suatu tulisan, seorang pembaca harus mendalami naskah yag dibacanya. Ini sangat penting dalam menjaga agar makna asli naskah tidak menjauh darinya. Pembaca juga perlu memperkirakan pengalaman spiritual penulis. Dalam melakukan hal-hal semacam ini, seorang pembaca tentu tak mungkin dipandu oleh peraturan-peraturan yang ketat dan rigid. Dalam hal ini, imajinasi pembaca sangat memegang peran penting. Tanpa imajinasi yang dapat merambah rnah pemikiran pembuat karya, pembaca tidak akan pernah menemukan misteri yang berada di balik suatu karya.

Untuk memenuhi hal tersebut, maka Hermeneutika kemudian dikembangkan agar dapat membantu membuat deskripi dan analisis struktural dari suatu naskah. Interpretasi makna juga menjadi fokus utama Hermeneutika. Kemudian, beberapa pertanyaan yang sifatnya metodologis dimunculkan untuk menguji sutu naskah –khususnya naskah ilmu sosial. Dalam hal ini, nampak ketrkaitan Hermeneutika dengan disiplin filologi.

Ilmu sosial berkembang dengan pesatnya sejak abad kedelapan belas hingga awal abad keduapuluh. Pengkajian atas berbagai teori baru yang muncul dalam perkembangan tersebut tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Hermeneutika. Fakta dasar dalam kajian-kajian sosial banyak mengalami perubahan. Untuk menemukan jawaban atas beragam pertanyaan yang berkenaan dengan penilainatas sutu disiplin ilmu sosial, meode-meode baru dalam Hermeneutika perlu dikembangkan agar selaras dengan perkembangan tersebut.

Selaras dengan perkembangan yang terjai sejak masa romantisme, kita dituntut untuk dapat memperkirakan tujuan dari suatu naskah. Kemudian setelah itu, kita tidakakan berhenti untukdapat menemukan ‘rancangan’ dan tujuan sbenarnya dari suatu naskah. Dalam ranah ilmu sosial, ini dilakukan dengan tetap memahamkan bahwa desain dan tujuan akan selalu berkenaan dengan kehidupan manusia. Di sinilh pertanyaa di saputar tujuan dan desain akan terus mengemuka. Untuk memahaminya, beberpa elemen dalam upya menjelaskan suatu fenomena harus digunakan sbgai pegangan, yakni; pemahaman atas tujuan, intensi, configurasi pemikiran, kekurangan dan kelebihan, dan konsekuensi. Memahami perilaku manusia memang memerlukan pemahaman pada intensi manusia itu sendiri, inilahyang membedakan ilmu sosial dari ilmu alam.

Karena itu, pemahaman dan upayauntuk memahami itu sendiri merupakan suatu karya. Berbeda dengan pengamatan di dalam disiplin ilmu alam, pegamatan dalam disiplin ilmu sosial yang memerlukan perhitungan unsur estetik dan artistik terkadang menjadi suatu penghalang dalam menciptakan suatu langkah ilmiah. Seorang praktisi Hermeneutika harus dapat memilah pmahaman inrapersonal dalam melakukan suatu kajian sebagai upaya menyaring beberapa kemungkinan interpretasi yang egosentrik. Maka, validitas memegang peran penting dalam menjaga agar faktor-fakor internal tidak memasuki proses.

Singkatnya, ada dua hal yang menjadi tantangan utama bagi Hermeneutika; konsensus dan kenyataan. Dalam menentukan status ilmiah, ilmu-ilmu sosial harus dapat membuktikan bahwa ada sejumlah aturan yang dapat digunakan untuk dan standar kebenaran dalam melakukan interpretasi atas suatu hal seperti halnya beberapa langkah ilmiah yang lazim ditemui dalam disiplin ilmu alam.

Untuk memastikan tantangan yang dihadapi oleh Hermeneutika, ‘makna subjektif’, intensi, motif, dan ‘pengalaman internal’ tidak dapat dimasukkan dalam pengamatan, karena tidak akan sejalan dengan tuuan untuk menghsilkan studi yang ilmiah. Dalam mengamati suatu objek sosial, pengamatan harus dilakukan tidak di atas asumsi-asumsi subjktif semaam itu, karena pembuktian dari pengamatan yang dilakukan tidak akan bersifat jelas seperti halnya di dalam ilmu pasti.

Kriteria dasar yang saya kemukakan ini dilandasi oleh tradisi intelektual Jerman, yang memiliki akar yang sama dengan Perancis. Para tokoh ilmu sosial Perancis biasanya menempatkan karkter subjektif dalam realitas sosial sebagai suatuporsi kecil di dalam pengamatan. Analisis kejiwaan dalam Hermeneutika pun tidak terlalu dipehitungkan oleh para tokoh tersebut. Pra tokoh semacam comte, hingga Durkheim kurang memperhatikan pengaruh yang disebabkan oleh bberapa macam relativitas di dalam pengkajian ilmu sosial. Mereka memandang, sperti halnya dalam dunia pengobatan, relativitas terkadang membantu menentukan obat yang cocok bagi suatu persoalan atau penyakit. Dengan meyakini bahwa kenyataan sosial merupakan suatu ‘benda’ yang ada sebagai ‘entitas’ di luar pengalaman seseorang, mereka memandang bahwa; pertama, seseorang dapat mempelajari realitas sosial tanpa harus melihat proses produksi dari realitas tersebut, dan kedua, hasil yang sama akan didapat oleh siapapun yang melakukan studi ini dengan metode yang tepat. Tentu saja, ini merupakan car pandang terhadap ilmu alam di abad kesembilan belas. Metode yang tepat untuk suatu studi ilmu sosial tentu akan selalu menjadi pertanyaan.

Bagi tradisi intelektual Jerman, di mana refleksiterhadap aktivitas dan problem Hermeneutika memainkan peran penting, ini tentu meupakan suatu tantangan yang harus dijawab. Maka, interpretasi terhadap realitas sosial menjadi suatu ‘percakapan’ antara suatu masa historis dengan masa sesudahnya. Dalam ‘percakapan’ ini, kedua belah pihak masing-masing disebut sebagai ‘pemahaman’ atau ‘interpretasi’ dan memiliki ikatan tradisi tersendiri yang berbeda. Dalam karakterisasi yang dicetuskan oleh Isaiah Berlin, Jerman pada masa romantisme meyakini bahwa karya-karya manusia ‘dapat dirasakan atau terekam dalam intuisi atau dipahami dalam skala terbatas; dapat diambil secara parsial untuk kembali disusun dalam bentuk seutuhnya. Kemudian pada masa reformasi, para pemikir Jerman di era tersebut mulai memperhatikan perbedaan di antara dunia yang mereka geluti dengan universakisme dan rasionalisme yang berlaku di bagian Eropa lainnya.

Selanjutnya, dapat dilihat bahwa disiplin teknis dari Hermeneutika sangat mempengaruhi dan memberikan kedalaman filosofis yang baru terhadap relevansi teoretis dalam filosofi Hegel. Sebelum filosofi Hegel muncul, belum ada sistem filosofi yang dapat meringkas alasan dan objek, pengetahuan dan sejarah, dalam suatukesatuan monolitik; dan dalam menunjukan pemilahan dengan mendekati sempurna. Dalam filosofi Hegel, proses historis merupakan proses pendewasaaan bagi sejarah manusia.

Realisasi dari filosofi Hegel juga terefleksikan dalam filosofi Hermeneutika dalam ide tentang lingkaran Hermeneutika. Memahami makna dipandang bagaikan sutu lingkaran; bukan suatu kemajuan unilinear di antara ssuatu yang lebih baik atau lebih jelek.

Dalam pemaparan yang dibuat oleh wilhelm Dilthey, pengembangan Hermeneutika mencapai iik kulminasinya pada abad kesembilan belas. Menurutnya, sepanjang seseorang mampu mengusung gagasan historis, dan ikatan pemahaman atas tradisi, maka ekspresi dari suatu karya akan dapat terasa. Maka, Hermeneutika akan menghadapi hal ini sebagai salah satu tantangan untuk menyelamatkan suatu disiplin ilmu sosial dari klaim-klaim yang seolah ilmiah.

Kita akan memulai dengan membahas strategi pengkajian yang dikembangkan oleh Marx, Webber dan Manneheim. Ketiga ilmuwan sosial ini ercaya bahwa sejarahakn selalu dapat memahami benuknya sendiri. Ini sejalan dengan beberapa pinsip yang sebelumnya telah dikemukakan olh Hegel. Maka, ketigannya meyakini bahwa pngetahuan sosial yang sebnarnya akan dapat diakses oleh siapapun dalam bentuk yang telah memiliki wujud tetap atau dengan kata lain merupakan transformasi yang selalu mendekati produk masyarakat. Dengan kata lain, ketiganya memandang paduan antara pemahaman dan pengetahuan merupakan akhir dariupaya untuk mendapatkan keduanya dan objek pun harus digeser untuk memenuhi kebutuhan pemaduan tersebut.

Adalah Weber yang membawa tori sosiologis Marx ke dalam relevansi langsung dengan perdebatan Hermeneutika. Sebelumnya,Marx telah mengubah teori histori dan pengetahuan Hegel dari bahasa filosofis ke dalam bahasa sosiologis. Ini dilakukannya jauh sebelum Dilthey menggambarkan suatu metodologi bagi pemahaman atas filosofi Hegel.

Menurut Husserl, diskursus Hermeneutika berkenaan dengan peninggalan Rasionalisme French-Cartesian. Rasionalisme tersebut lambat laun mencapai beberap konskuensi; harapan bahwa makna dapat dipahami telah ditempatkan dlam kemungkinan melepaskan makna dari konteks ikaan tradisi. Husserl menyatkan ‘subjektivitas transendental sebagai suatu lahan, sebgai suatu kesatuan makna yang ekstra-historis. Yang menopang fenomena dalam satu-satunya mode eksistensi yang relevan. Kemudian, nampak bahwa sosiologi yang dikembangkan oleh Talcott Parson merupakan penerapan dari perspsi husserl untukdapat menggapai pemahaman atas tindakan manusia yang memprluas makna kebebasan makna konteks stuktural-historis.

Walau begitu, beberapa prinip Husserl kemudian direvisi oleh Heidgger. Di atas segalanya, anggapan yang fundamental bahwa makna, pemahaman dan interpretasi dapat ditemukan di alam semesta –bukan di alam maya, dunia-eksstensi. Makna tetap penting, dan pemahaman adalahpemenuhan untuk kebutuhan dalam pencarian makna tersebut. Bayang-bayang relativisme dalam menentukan suatukebenaran tidak mungkin akan dapat dikesampingkan di luar koteks ikatan tradisi. Maka, kegagalan bagi seorang peneliti sosial bukan merupakan sesuatu yang perlu ditakutkan. 


Sumber : http://mahardhikazifana.com

.


Tag:

Bagikan Ini

Baca Juga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar