KONTRIBUSI TEKNOLOGI PENDIDIKAN DALAM PEMBANGUNAN PENDIDIKAN [1]


Oleh
Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, M.Sc.[2]

Pendahuluan

Teknologi merupakan merupakan bagian integral dalam setiap budaya. Makin maju suatu budaya, makin banyak dan makin canggih teknologi yang digunakan. Meskipun demikian masih banyak di antara kita yang tidak menyadari akan hal itu. Sebenarnya 25 tahun yang lalu Menteri Pendidikan Daoed Joesoef telah menyatakan bahwa “Teknologi diterapkan di semua bidang kehidupan, di antaranya bidang pendidikan. Teknologi pendidikan ini karenanya beroperasi dalam seluruh bidang pendidikan secara integratif, yaitu secara rasional berkembang dan terjalin dalam berbagai bidang penididikan”.Pernyataan kebijakan itu merupakan penegasan dari penetapan kebijakan sebelumnya, termasuk yang tertuang dalam PELITA I s/d III.

Apa yang telah merupakan pernyataan kebijakan, masih dipersoalkan sampai saat ini. Mungkin dengan dalih bahwa pernyataan Menteri yang terdahulu, tidak lagi berlaku sekarang. Di kalangan akademik masih ada yang mempertanyakan apa sebenarnya teknologi pendidikan itu, karena di Amerika Serikat saja yang ada adalah istilah Instructional Design, Development and Evaluation (IDDE di Syracuse University, Instructional System Technology (IST di Indiana University), bahkan organisasi profesi yang ada adalah AECT (Association for Educational and Communications and Technology).

Mereka yang tidak tajam kemampuan analisisnya, sifat teknologi pendidikan yang integratif seperti dinyatakan oleh Daoed Joesoef, tidak mengetahui apa dan bagaimana wujut unsur teknologi pendidikan yang telah terintegrasi tersebut. Mereka yang hanya mampu melihat hasil akhir suatu produk atau sistem, misalnya media pembelajaran, tidak akan dapat mengetahui apa saja unsur yang membentuk produk tersebut, dan bagaimana produk itu dihasilkan serta bagaimana produk tersebut  berfungsi dalam sistem.

Menghadapi masih adanya sikap acuh tersebut, para teknolog pendidikan baik praktisi maupun akademisi yang mempunyai komitmen profesi harus berpikir dan bertindak proaktif untuk menanggapi sikap tersebut, dengan membuktikan dan mengembangkan teknologi pendidikan sehingga manfaatnya dapat dirasakan atau setidak-tidaknya diketahui oleh masyarakat luas.

Dalam makalah ini diungkap secara singkat wujud sumbangan Teknologi Pendidikan sebagai disiplin keilmuan, sebagi profesi, dan sebagai bidang garapan, serta kontribusinya dalam pembangunan pendidikan.

Disiplin Keilmuan Teknologi Pendidikan

Terlebih dahulu perlu diberikan batasan umum tentang pengertian teknologi, semua teknologi termasuk teknologi pendidikan, yaitu  :
  1. Proses yang meningkatkan nilai tambah;
  2. Produk yang digunakan dan/atau dihasilkan untuk memudahkan dan mening-katkan kinerja;
  3. Struktur atau sistemdimana proses dan produk itu dikembangkan dan  digunakan.
Teknologi memasak misalnya, adalah proses untuk mengolah bahan mentah (sayuran, tahu, tempe, daging, garam, bumbu dsb.) dengan menggunakan produk berupa pisau, wajan, panci, kompor dsb. untuk menghasilkan produk berupa makanan, dan  makanan itu sendiri merupakan komponen dari sistem kelangsungan hidup berupa gizi atau nutrisi, yang perlu dilengkapi dengan komponen lain seperti minum, olahraga, istirahat dsb.
             
Teknologi pendidikan telah berkembang sebagai suatu disiplin keilmuan yang berdiri sendiri. Perkembangan tersebut dilandasi oleh serangkaian kaidah atau dasar yang dijadikan patokan pembenaran. Secara falsafi, dasar keilmuan  itu meliputi : ontologi atau rumusan tentang obyek formal atau pokok telaah yang merupakan gejala pengamatan yang tidak tergarap oleh bidang telaah lain; epistemologi yaitu usaha atau prinsip intelektual untuk memperoleh kebenaran dalam pokok telaah yang ditentukan; dan aksiologi atau nilai-nilai yang menentukan kegunaan dari pokok telaah yang ditentukan, yang mempersoalkan nilai moral atau etika dan nilai seni dan keindahan atau estetika. (Miarso,2004)
             
Obyek formal teknologi pendidikan adalah belajar pada manusia. Belajar itu sendiri dapat diartikan sebagai perubahan pada diri seseorang atau suatu lembaga yang relatif menetap dan berkembang dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan, yang disebabkan  karena pemikiran dan pengalaman. Belajar itu terjadi dimana saja, kapan saja, apa saja, dari apa atau siapa saja, dan dengan cara bagaimana saja. Gambar berikut menunjukkan obyek formal tersebut.
             
Sedang gejala yang memerlukan penggarapan terhadap obyek formal tersebut adalah :
  1. Adanya sejumlah besar orang yang belum terpenuhi kesempatan belajarnya, baik yang diperoleh melalui suatu lembaga khusus, maupun yang dapat diperoleh secara mandiri
  2. Adanya berbagai sumber belajar baik yang telah tersedia maupun yang dapat direkayasa, tetapi belum dapat dimanfaatkan untuk keperluan belajar.
  3. Diperlukan adanya suatu usaha khusus yang terarah dan terencana untuk menggarap sumber-sumber tersebut agar dapat terpenuhi hasrat belajar setiap orang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lingkungan.
  4. Diperlukan adanya pengelolaan atas kegiatan khusus dalam mengembangkan dan memanfaatkan sumber untuk belajar tersebut secara efektif, efisien dan selaras.
Usaha khusus yang terarah dan terencana bukan sekedar menambah apa yang kurang, menambal apa yang berlubang, dan menjahit apa yang sobek. Menurut Banathy bukan hanya “doing more of the same”, ataupun “doing it better of the same”, melainkan “doing it differently” yaitu merupakan upaya untuk menjamin hasil yang diharapkan (Banathy,1991). Pendekatan yang berbeda itu adalah pendekatan yang memenuhi lima persyaratan, yaitu :
  1. Pendekatan isomeristik, yaitu yang menggabungkan berbagai kajian/bidang keilmuan (psikologi, komunikasi, ekonomi, manajemen, rekayasa teknik dsb.) ke dalam suatu kesatuan tersendiri;
  2. Pendekatan sistematik , yaitu dengan cara yang berurutan dan terarah dalam usaha memecahkan persoalan;
  3. Pendekatan sinergistik, yaitu yang menjamin adanya nilai tambah dari keseluruhan kegiatan dibandingkan dengan bila kegiatan itu dijalankan sendiri-sendiri, dan
  4. Sistemik, yaitu pengkajian secara menyeluruh
  5. Inovatif, yaitu mencari dan mengembangkan solusi yang baru. Usaha khusus dengan pendekatan inilah yang merupakan azas epistemologi teknologi pendidikan.
Azas manfaat atau aksiologi dari teknologi pendidikan dapat dinyatakan dengan kutipan pendapat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef dalam Lokakarya Nasional Teknologi Pendidikan di Yogyakarta pada tahun 1982 sebagai berikut :
 Teknologi pendidikan perlu dipikirkan dan dibahas terus menerus karena adanya kebutuhan real yang mendukung pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu (i) tekad mengadakan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar; (ii) keharusan meningkatkan mutu pendidikan berupa, antara lain, penyempurnaan kurikulum, penyediaan berbagai sarana pendidikan, dan peningkatan kemampuan tenaga pengajar lewat berbagai bentuk pendidikan serta latihan; (iii) penyempurnaan system pendidikan dengan penelitian dan pengembangan sesuai dengan tantangan jaman dan kebutuhan pembangunan; (iv) peningkatan partisipasi masyarakat dengan pengembangan dan pemanfaatan berbagai wadah dan sumber pendidikan; (v) penyempurnaan pelaksanaan interaksi antara pendidikan dan pembangunan di mana manusia dijadikan pusat perhatian pendidikan. 

Pernyataan kebijakan tersebut pada saat ini telah terwujutkan, baik sebagai konsep maupun sebagai bentuk atau pola pelembagaan pendidikan. Konsep tersebut bahkan telah  dikukuhkan dengan ketentuan perundangan dan peraturan. Paling tidak ada lima konsep dalam teknologi pendidikan yang telah terintegrasi dalam sistem pendidikan dan tertuang dalam Undang-undang Sisdiknas dan turunannya. Ke lima konsep itu adalah : 1) pembelajaran yang berfokus pada peserta didik; 2) sumber belajar yang beraneka; 3) pendekatan dari bawah (bottom-up approaches) dalam mengelola kegiatan belajar dan implikasinya dalam satuan pendidikan; 4) sistem pendidikan terbuka dan multi makna; dan 5) pendidikan jarak jauh.

Namun perlu diperhatikan bahwa pembenaran secara falsafi, harus pula dilengkapi dengan pembenaran ilmiah. Pembenaran ilmiah dilakukan dengan melalui tiga kategori pendekatan yang berakar pada filsafat ilmu. Ke tiga pendekatan itu adalah pengembangan, penelitian, dan penilaian yang diperlukan untuk menghasilkan teori, model, sistem, pembuktian, program aksi, dan kebijakan. Kebenaran ilmiah dalam disiplin teknologi pendidikan telah dan sedang dilakukan untuk mengembangkan model, produk dan sistem, pengujian berbagai strategi dan media pembelajaran, serta berbagai penilaian seperti penelusuran kebutuhan, penilaian efektivitas tindakan dsb.
             
Perlu disadari bahwa semua bentuk teknologi, termasuk teknologi pendidikan, adalah sistem yang diciptakan oleh manusia untuk sesuatu tujuan tertentu, yang pada intinya adalah mempermudah manusia dalam memperingan usahanya, meningkatkan hasilnya, dan menghemat tenaga serta sumber daya yang ada. Oleh karena itu teknologi itu pada hakekatnya adalah tidak bebas nilai, karena terkandung adanya aturan etik dan estetika dalam penciptaa dan penggunaannya. Namun ada orang-orang tertentu yang menyalahgunakan makna dan/atau penggunaannya, dengan menganggap teknologi itu value-free atau empty of meaning.

Bertolak dari landasan filsafat dan pembenaran ilmiah tersebut di atas, teknologi pendidikan di definisikan sebagai teori dan praktek dalam merancang mengemangkan, menerapkan, mengelola, menilai dan meneliti proses, sumber dan sistem belajar. Definisi ini merupakan adaptasi dari definisi yang dirumuskan oleh Seels dan Richey (1994, h. 10).

Profesi Teknologi Pendidikan
Setiap profesi paling sedikit harus memenuhi lima syarat. Pertama adalah pendidikan dan pelatihan yang memadai, kedua adanya komitmen terhadap tugas profesionalnya, ketiga adanya usaha untuk senantiasa mengembangkan diri sesuai dengan kondisi lingkungan dan tuntutan zaman, keempat adanya standar etik yang harus dipatuhi, dan kelima adanya lapangan pengabdian yang khas.

Pendidikan dan pelatihan dalam teknologi pendidikan telah dimulai pada tahun 1972, berupa latihan untuk pengembangan bahan ajar melalui radio. Pada tahun 1974 mulai diberikan matakuliah teknologi pendidikan di IKP Jakarta, dan pada tahun 1976 dibuka pendidikan akademik jenjang Sarjana dalam program Teknologi Pendidikan melalui kerjasama antara Tim Penyelenggara Teknologi Komunikasi untuk Pendidikan dan Kebudayaan (embrio Pustekkom) dengan IKIP Jakarta. Dua tahun kemudian pada tahun 1978 dibuka pendidikan jenjang Magister dan Doktor Teknologi Pendidikan di IKIP Jakarta. Program pendidikan tersebut merupakan bagian integral dari Proyek Pengembangan Teknologi Komunikasi Untuk Pendidikan yang sekaligus bertujuan untuk membentuk suatu lembaga yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pengembangan teknologi pendidikan di Indonesia.

Mereka yang berprofesi atau bergerak dalam bidang teknologi pendidikan atau singkatnya disebut Teknolog Pendidikan, harus mempunyai komitmen dalam melaksanakan tugas profesionalnya yang utama yaitu terselenggaranya proses belajar bagi setiap orang, dengan dikembangkan dan digunakannya berbagai sumber belajar selaras dengan karakteristik masing-masing pebelajar (learners) serta perkembangan lingkungan. Karena lingkungan itu senantiasa berubah, maka para Teknolog Pendidikan harus senantiasa mengikuti perkembangan atau perubahan itu, dan oleh karena itu ia dtuntut untuk selalu mengembangkan diri sesuai dengan kondisi lingkungan dan tuntutan zaman, termasuk selalu mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi.

Profesi ini bukan profesi yang netral dan bebas nilai. Ia merupakan profesi yang memihak kepada kepentingan pemelajar (learners) agar mereka memperoleh kesempatan untuk belajar agar potensi dirinya dapat berkembang semaksimal mungkin. Profesi ini  juga tidak bebas nilai karena masih banyak pertimbangan lain seperti sosial, budaya, ekonomi dan rekayasa  yang mempengaruhi, sehingga tindakannya harus selaras dengan situasi dan kondisi serta berwawasan ke masa depan. Pada tahun 1987 didirikan Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia (IPTPI) yang mempunyai Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan Kode Etik. Dalam kode etik tersebut dicantumkan kewenangan dan kewajiban, yang antara lain kewajiban untuk selalu mengikuti perkembangan IKTEK dan lingkungan. Kecuali itu juga dirumuskan tanggung jawab profesi kepada perorangan, masyarakat, rekan sejawat dan orgainisasi.

Profesi teknologi pendidikan, sebagaimana halnya semua profesi yang baru, menghadapi tantangan yang inheren. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah pengakuan atas profesi teknologi pendidikan. Yang saya prihatinkan adalah bahwa pengakuan profesi tersebut selalu dikaitkan dengan jabatan fungsional sebagai pegawai negeri. Padahal pendidikan keahlian teknologi pendidikan pada prinsipnya tidak mendidik calon pegawai negeri, melainkan mereka yang mampu mengabdi dan berkarya untuk mengatasi masalah belajar dimana saja. Jadi terpaksa kita harus mengikuti pengakuan pprofesi sebagai jabatan fungsional pegawai negeri. Usul pengakuan jabatan fungsional tersebut telah diajukan sejak tahun 1985 melalui Pustekkom Diknas (sewaktu masih dikenal dengan Pusat TKPK). Upaya itu digalakkan lagi dengan lahirnya organisasi profesi pada tahun 1987, dan berikutnya dengan ditetapkannya Undang-undang No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan selanjutnya Undang-undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Berdasarkan UU tersebut dimungkinkan adanya jabatan pendidik dan tenaga kependidikan. Pendidik termasuk guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain sesuai kekhususan. Sementara pada kategori tenaga kependidikan dimungkinkan adanya jabatan pamong belajar, peneliti, pengembang dan teknisi sumber belajar. Proposal berupa Naskah Akademik dan Draft Keputusan Menpan Tentang Jabatan Fungsional Pengembang Teknologi Pendidikan dan Teknisi Sumber Belajar, kita ajukan lagi sesuai dengan perundangan terbaru tersebut kepada Menpan, namun sementara ini semua usulan  mengenai jabatan fungsional ditangguhkan, karena adanya niat untuk mengurangi jumlah pegawai negeri.

Tugas pokok profesi teknologi pendidikan berdasarkan versi usulan tahun 1985 yang diperbaharui tersebut adalah sebagai berikut :
1.   Pengembangan bidang studi dan kawasan teknologi pendidikan
2.   Perancangan sistem pembelajaran
3.   Produksi media pendidikan
4.   Penyediaan sarana dan prasarana belajar
5.   Pemilihan dan penilaian komponen sistem pembelajaran       
6.   Penerapan/pemanfaatan sumberdaya belajar               
7.   Penyebaran konsep dan temuan teknologi pendidikan      
8.   Pengelolaan kegiatan pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya belajar
9.   Perumusan bahan kebijakan teknologi pendidikan

Sementara menunggu pengakuan de jure tersebut, sekarang ini mereka dengan profesi teknologi pendidikan telah mengabdikan dirinya sebagai pengelola, perencana, pengembang, pembuat, penilai, dan pengguna sistem dan komponen pembelajaran di Departemen/Lembaga Negara, Angkatan Bersenjata, Perguruan Tinggi, Lembaga Diklat, Lembaga Media (seperti TVRI, RRI, TPI, RCTI, SCTV dan "production houses"), satuan pendidikan luar sekolah, berwirausaha dalam pelatihan, serta berwiraswasta dalam produksi media dan sarana pendidikan.

Usaha memperoleh pengakuan profesi tersebut memperoleh alternatif jalan keluar dengan ditetapkannya Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.  Melalui Kantor Menristek sudah diproses Keputusan Presiden RI tentang jabatan Fungsional Perekayasa dan Teknisi Litkayasa dalam berbagai bidang, yang memungkinkan pengakuan profesi Teknolog Pendidikan sebagai salah satu bentuk jabatan fungsional dengan sebutan  Perekayasa Pendidikan/Pembelajaran.

Arah perkembangan kompetensi profesi tersebut kemudian perlu dijabarkan secara operasional dalam bentuk kurikulum. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 38 ayat (3) dan (4) UUSPN No. 20 Tahun 2003 mengenai pengembangan kurikulum pendidikan tinggi, perlu digunakan standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. Namun karena Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 19 Tahun 2005 tidak mengatur standar nasional untuk jenjang pendidikan tinggi, maka yang perlu kita jadikan acuan adalah Keputusan Menteri pendidikan Nasional R.I. Nomor 232/U/2000 dan  Nomor 045/U/2002. Kecuali itu perlu pula diperhatikan ketentuan perundangan yang terakhir yaitu UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Berdasarkan Kepmen tersebut kurikulum inti program sarjana meliputi MPK (Matakuliah Pengembangan Kepribadian), MKK (Matakuliah Kompetensi Keilmuan), MKB (Matakuliah Kompetensi Berkarya), MPB (Matakuliah Perilaku Berkarya). Dan MBB (Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat). Konsep kompetensi tersebut dirumuskan lebih lanjut seperti tercantum dalam Lampiran. Berbagai matakuliah perlu dijabarkan dari kompetensi tersebut dan dilakukan sesuai dengan tuntutan mutu, kemampuan tenaga dan ketersediaan sarana & prasarana. Untuk itu setiap penyelenggara program studi teknologi pendidikan perlu melakukan analisis SWOT, dan ditindak lanjuti dengan berbagai kegiatan yang diperlukan, seperti penataran tenaga, pemutakhiran pengetahuan dan teknologi, pengadaan pustaka dan laboratorium dan lain-lain. Keculai landasan konseptual dan legal, kurikulum setiap program studi perlu dikembangkan atau diperbaharui sesuai dengan dinamika pembangunan, meliputi perkembangan kebijakan dan IPTEK termasuk  perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
             
Pada awal diselenggarakannya, program studi teknologi pendidikan di IKIP Jakarta pada jenjang S1, S2 dan S3 adalah merupakan program studi yang berkesinambungan searah. Hal ini merupakan kesepakatan bersama dengan Pusat TKPK dalam rangka bantuan USAID. Hubungan kesinambungan itu terputus dengan berakhirnya proyek pada tahun 1984 dan dilaksanakannya keputusan Konsorsium Ilmu Pendidikan tentang Pedoman Pelaksanaan Pola Pembaharuan Sistem Pendidikan Tenaga Pendidikan (th.1981), khususnya Buku V yang mengatur program pasca sarjana. Berdasarkan pedoman tersebut maka S2 TP mempunyai misi untuk meningkatkan mutu staf pengajar jenjang S0 dan S1, sedang misi S3 adalah sebagai pusat penelitian untuk pengembangan ilmu kependidikan.

Serangkaian Peraturan dan Keputusan telah menyebabkan perubahan misi, struktur, kurikulum dan penyelenggaraan program studi teknologi pendidikan, baik pada jenjang S1, S2 maupun S3, hingga sekarang. Kurikulum S1 sudah diperbaharui pada tahun 2004. Sekarang kita perlu menelaah kembali misi, struktur, kurikulum dan penyelenggaraan program studi Teknologi Pendidikan pada Program Pasca Sarjana.  Program pendidikan keahlian itu diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tenaga dalam rangka inovasi pendidikan yaitu dikembangkan dan digunakannya konsep “resource-based learning” (bukan “teacher-based instruction”).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka sudah sepantasnya kalau program  Teknologi Pendidikan pada program Sarjana dan Pasca Sarjana tidak lagi dikelola secara terpisah, dan untuk itu dikuasakan pengelolaannya kepada jurusan (khususnya program) Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan. Dengan demikian maka visi, misi dan tujuannyapun tidak dapat terlepas satu sama lain. Rumusan visi, misi dan tujuan itu  harus didasarkan pada konsep dasar dan filosofi teknologi pendidikan sebagai suatu bidang kajian, serta dengan kemajuan IPTEK dan kebutuhan pembangunan.

Kurikulum program studi Teknologi Pendidikan telah mengalami serangkaian perubahan. Kurikulum tersebut perlu dikembangkan dengan ketentuan : 1) memenuhi standar minimum keilmuan & keahlian yang ditentukan oleh Pemerintah; 2) kebutuhan dan kecenderungan pembangunan; 3) keinginan dan harapan dari para pemakai lulusan; 4) azas kesinambungan keahlian professional; 5) kondisi kelembagaan; dan 6) keterlibatan dan partisipasi para lulusan.

Dengan pertimbangan ketentuan tersebut khususnya butir # 2 ,3 dan 6 kurikulum S1 TP telah dikembangkan dengan memberi kesempatan kepada para mahasiswa untuk mengambil keahlian khusus (sebesar 36 SKS) dalam tiga bidang, yaitu : Pengembang Media, Pengelola Sistem Pembelajaran, dan Pengembang Teknologi Kinerja. Kurikulum S2 dan S3 dalam periode 1979 dan 1994 juga memberi kesempatan matakuliah keahlian pilihan meskipun hanya tiga-enam (3-6) SKS.  

Jurusan Teknologi Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ, dengan para pakar Teknologi Pendidikan dan Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia, telah berprakarsa untuk memberikan masukan untuk pengembangan kurikulum pascasarjana dengan mempertimbangkan kesinambungannya dengan kurikulum sarjana.

Dengan bertolak pada konsep teknologi pendidikan yang meliputi empat komponen (riset dan teori; kegiatan perancangan, pengembangan, penggunaan, pengelolan, penilaian dan peleitian; proses, sumber dan sistem; dan belajar)  maka saya berpendapat bahwa semua komponen tersebut perlu dikaji dan dipelajari pada setiap jenjang, namun dengan keluasan dan kedalaman yang berbeda. Misalnya “riset” perlu diberikan di S1 agar mampu melakukan penalaran ilmiah dasar, sedangkan di S3 untuk penalaran tingkat tinggi sampai mengujia atau bahkan menemukan teori. Kecuali itu kegiatan yang perlu dikuasai oleh semua jenjang meliputi : Perancangan, Peng-embangan, Pemanfaatan. Pengelolaan,Penilaian, dan Penelitian Proses, Sumber dan Sistem Belajar dan Pembelajaran dengan keluasan dan kedalaman yang berbeda.

Akademisi Teknologi Pendidikan adalah mereka yang memperoleh pendidikan keahlian pada jenjang S1, S2 dan S3 dalam program keahlian Teknologi Pendidikan.. Praktisi adalah mereka yang menguasai keterampilan, baik karena belajar mandiri, mengikuti kursus, pemagangan, pelatihan dll. tanpa perlu ijazah dalam salah satu atau lebih aspek teknologi pendidikan, dengan derajat mampu, mahir dan ahli. Ketarmpilan praktisi juga tidak perlu didukung dengan teoori, konsep dan/atau hasil-hasil penelitian. Berbeda dengan akademisi yang harus mengikuti program pendidikan khusus dan jangka waktu yang relatif panjang, serta mengikuti ketentuan kurikulum tertentu.  
            
 Latar pengabdian Teknolog Pendidikan dapat dalam lingkungan pribadi, keluarga, masyarakat, kursus, tempat ibadah dll. dimana ada keperluan belajar. Sedangkan produk pengabdian profesi dapat berupa media, sumber belajar lain,strategi & teknik belajar dan pembelajaran s/d rumusan kebijakan yang berkaitan dengan masalah  belajar.

Bidang Garapan Teknologi Pendidikan

Teknologi pendidikan merupakan suatu disiplin terapan, artinya ia berkembang karena adanya kebutuhan di lapangan, yaitu kebutuhan untuk belajar – belajar lebih efektif, lebih efisien, lebih banyak, lebih luas, lebih cepat dan sebagainya. Untuk itu ada usaha dan produk yang sengaja dibuat dan ada yang ditemukan dan dimanfaatkan. Namun perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat pesat akhir-akhir ini dan menawarkan sejumlah kemungkinan yang semula tidak terbayangkan, telah membalik cara berpikir kita dengan  “bagaimana mengambil manfaat teknologi tersebut untuk mengatasi masalah belajar”.
             
Berdasarkan uraian terdahulu tentang obyek formal teknologi pendidikan dan profesi teknolog pendidikan, dapat disimpulkan bahwa bidang garapan atau disebut pula praktek teknologi pendidikan meliputi segala sesuatu dimana ada masalah belajar yang perlu dipecahkan. Dalam Gambar 3  tentang Lapangan Pengabdian Teknolog Pendidikan, masalah belajar itu ada pada diri pribadi, pada keluarga, pada lingkungan masyarakat, pada lingkungan tempat ibadah, lingkungan lembaga pendidikan formal, lingkungan tempat kerja, dan pada lembaga media (surat kabar, radio, televisi, telematika dsb.).

Bertolak dari sejarah perkembangan garapan teknologi pendidikan, Saettler (1968,h.10-14) berpendapat bahwa awal muasal penggarapan masalah belajar adalah kaum Sufi pada sekitar abad 600 SM. Mereka merupakan penjaja ilmu pengetahuan yang mengajarkan ilmunya kepada para peserta-didik dengan berbagai cara, seperti misalnya dengan cara dialektik, dialogik, ceramah, dan penggunaan bahasa tubuh (body language) seperti gerakan wajah, gerakan tangan dsb., dengan maksud agar menarik perhatian dan agar ilmunya dapat ditransfer dengan baik. Ashby (1972,h 9-10) berpendapat bahwa dalam dunia pendidikan telah berlangsung empat revolusi, yaitu pertama diserahkannya pendidikan anak dari orantua atau keluarga kepada guru; kedua guru yang dierahi tanggung jawab mendidik melakukannya secara verbal dan unjuk kerja; ketiga dengan ditemukannya mesin cetak sehingga bahan pelajaran dapat diperbanyak dan digunakan lebih luas; dan keempat dengan berkembangnya secara pesat teknologi elektronik, terutama media komunikasi. Sekarang ini mungkin perlu ditambah dengan revolusi kelima dengan berkembangnya teknologi informasi yang serba digital.

Dalam lingkup pendidikan formal, sejarah teknologi pendidikan dapat diruntut dari Kommensky (Johann Amos Comenius) dengan bukunya Orbis Sensualium Pictus dan The Great Didactic (terjemahan dalam bahasa Inggris), dimana digunakan ilustrasi atau gambar untuk menjelaskan konsep yang abstrak (Thompson,1963,h.42). Dalam lingkungan pendidikan sekolah di Indoensia dulu juga dikenal istilah didaktik dan metodik. Bahkan di IKIP Jakarta (sekarang UNJ) jurusan Teknologi Pendidikan dibuka dan dikembangkan sebagai penggabungan Juruan Pendidikan Umum dan Jurusan Didaktik Metodik pada tahun 1976. 

Praktisi teknologi pendidikan seperti digambarkan pada Gambar 3, dapat merupakan guru yang menerapkan strategi pembelajarn dengan pendekatan PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Intaraktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) sesuai dengan tuntutan dalam pembaharuan pendidikan. Guru tersebut mungkin memperoleh keterampilan pembelajaran setelah mengikuti program Akta Mengajar, atau mengikuti penataran, atau magang, atau pelatihan khusus yang dilaksanakan oleh yang berwewe-nang. Praktisi tersebut mungkin pula seorang yang mempunyai hobi elektronik, kemudian belajar sendiri bagaimana membuat rekaman  pembelajaran berupa PBK (pembelajaran berbantuan komputer), atau rekaman video permainan yang mendidik.     

Masalah belajar itu dialami oleh siapa saja sepanjang hidupnya, dimana-mana : di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di tempat ibadah, dan di masyarakat, serta berlangsung dengan cara apa saja dan dari apa dan siapa saja. Berkembangnya teknologi pendidikan itu tentu saja berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Mengingat bahwa obyek teknologi pendidikan adalah belajar (pada manusia) maka ada usaha untuk menggantikan istilah “teknologi pendidikan” dengan “teknologi pembelajaran”. Namun menurut pendapat saya karena pembelajaran tidak dapat dilakukan pada anak usia dini (PAUD maupun TK), sedangkan belajar sepanjang hayat meliputi mereka itu, maka saya cenderung tetap memakai istilah ”teknologi pendidikan”.

Kontribusi Teknologi Pendidikan
             
Berdasarkan uraian tersebut di atas, kontribusi teknologi pendidikan dalam pembangunan pendidikan dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaiitu konsep, tenaga profesi dan kegiatan. Dalam pembahasan tentang azas manfaat teknologi pendidikan sebagai disiplin keilmuan telah dikemukakan bahwa teknologi pendidikan telah menyumbangkan sedikitnya lima konsep dalam pembaharuan sistem pendidikan nasional.  Istilah dan konsep “pembelajaran” telah diciptakan dan digunakan dalam kalangan teknologi pendidikan sejak tahun 1978. Istilah itu pada awalnya dihiraukan bahkan dicibirkan oleh banyak kalangan pendidikan lain. Namun dalam UU Sisdiknas 2003, istilah dan konsep tersebut dikukuhkan sebagai keharusan dalam proses pendidikan. Pengertian “pembelajaran” dalam UU Sisdiknas adalah “proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar dalam lingkungan belajar”. Sedangkan dalam konsep teknologi pendidikan, saya mendefinisikannya sebagai “proses sistematik dan sistemik yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang agar orang lain dapat secara aktif belajar sehingga mencapai kompetensi yang diharapkan.”
             
Penggunaan istilah “pembelajaran” bukan sekedar penggantian istilah “pengajaran”. Berdasarkan Penjelasan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dinyatakan bahwa paradigma pengajaran yang lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransfomasikan pengetahuan bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya. Sedangkan visi teknologi pendidikan yang saya rumuskan pada tahun 1987 telah terfokus kepada kepentingan peserta didik dengan rumusan “terciptanya kondisi yang memungkinkan setiap orang berkembang potensinya secara optimal, dengan dikembangkan dan dimanfaatkannya berbagai strategi dan sumber belajar”. Fokus kepada pemelajar tersebut telah merupakan kepedulian dalam kalangan teknologi pendidikan, dan dituangkan sebagai perubahan paradigma teknologi pendidikan yang ketiga pada tahun 1977 (AECT,1977).
             
Penetapan standar proses sebagai salah satu standar nasional pendidikan, dapat dikatakan merupakan implementasi dari konsep teknologi pendidikan sebagai proses untuk memperoleh nilai tambah. Langkah-langkah dalam standar proses yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan pengawasan  juga identik dengan proses pembelajaran dalam konsep teknologi pendidikan. Demikian pula istilah dan konsep tentang sumber belajar, pendidikan terbuka dan multi makna, manajemen berbasis sekolah (yang merupakan pendekatan bottom-up), dan pendidikan jarak jauh, saya yakin merupakan kontribusi dari konsep teknologi pendidikan.
             
Kontribusi berupa tenaga profesi, baik akademisi maupun praktisi, dalam pembangunanpendidikan tidak diragukan lagi. Para profesi tersebut pada saat ini telah menyebar di dalam maupun ke luar lingkungan pendidikan, yaitu pada lembaga pelatihan, lembaga pemerintahan, dan lembaga masyarakat, lembaga media massa (radio, televisi dan surat kabar), serta lembaga atau organisasi bisnis dan industri yang berniat menjadi organisasi belajar. Mereka berkarya dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan belajar dan biasanya bekerja dalam satuan regu dengan aneka tugas, seperti perancang pembelajaran, artis grafis, ahli media, ahli evaluasi, pemrogram komputer, dan lain sebagainya. Para gurupun sebagian telah menjadi praktisi teknologi pendidikan, yaitu dengan menerapkan kawasan pemanfaatan dalam konsep teknologi pendidikan.
            
 Lembaga penyelenggara pendidikan profesi teknologi pendidikan sekarang ini ada di mana-mana, dan telah berkembang sebagai suatu jaringan. Penyelenggaraan program akademik sekarang ini telah tersebar sedikitnya di 37 perguruan tinggi negeri maupun swasta, delapan di antaranya menyelenggarakan pendidikan hingga jenjang Magister, dan tiga pada jenjang Doktor.

Kontribusi yang berupa kegiatan, terwujud dengan tumbuh dan berkembangnya berbagai pola pendidikan dan pembelajaran. Program aplikasi teknologi pendidikan secara nasional yang pada awal perkembangan semula  dikoordinasikan oleh Pustekkom, sekarang ini telah menyebar, dan bahkan dapat dikatakan telah mulai melembaga. Hal ini terjadi karena telah banyaknya tenaga yang terdidik dalam bidang teknologi pendidikan dan banyaknya kegiatan penerapan teknologi pendidikan yang terintegrasi (imbedded) dalam kegiatan pendidikan atau pembelajaran. Program-program tersebut mempunyai skala dan tujuan yang berbeda-beda, seperti sistem belajar di rumah (home-schooling),  SLTP/MTs Terbuka, SMU Terbuka, KEJAR Paket A, B, dan C, televisi pendidikan (serial pertama tentang pendidikan karakter, ACI = Aku Cinta Indonesia), TV Edukasi, penataran guru melalui siaran radio pendidikan, penggunaan berbagai strategi dan sumber belajar di sekolah maupun lembaga pelatihan, Universitas Terbuka, dll. Keseluruhan kegiatan ini sudah merupakan bagian integral dalam sistem pendidikan. 
           
Purnakata
             
Pendidikan merupakan kepedulian semua orang, sehingga ada kecenderungan pendapat bahwa oleh karena itu semua orang dengan sendirinya mengetahui dan memahami pendidikan. Contohnya adalah kenyataan bahwa orang-orang dengan latar pendidikan apa saja dapat memegang jabatan fungsional dalam bidang pendidikan. Ilmu pendidikan telah berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungan dan disiplin keilmuannya sendiri. Salah satu wujut perkembangan itu adalah adanya disiplin keilmuan khusus teknologi pendidikan. Teknologi pendidikan telah berkembang sebagai bagian integral dalam pendidikan, baik sebagai ilmu, bidang garapan dan profesi.

Teknologi pendidikan sebagai disiplin keilmuan, profesi dan bidang garapan telah memberikan kontribusinya dalam pembangunan pendidikan. Namun kontribusi tersebut hanya akan berkembang dengan adanya komitmen sungguh-sungguh dari para teknolog pendidikan. Pengakuan profesi dalam jabatan fungsional di lingkungan pendidikan atau perekayasaan, bukan merupakan hal yang utama, karena lembaga pendidikan profesi teknologi pendidikan tidak diarahkan untuk mempersiapkan calon pegawai negeri, melainkan mereka yang peduli untuk mengatasi masalah belajar dalam berbagai latar dengan berbagai produk.
             
Hal-hal yang lebih penting dilakukan adalah menyebarkan konsep dan aplikasi teknologi pendidikan melalui berbagai kegiatan seperti penerbitan, penelitian, pengembangan berbagai produk untuk belajar, seminar, lokakarya, pelatihan dll. Besar harapan saya dalam pertemuan ini dapat dirumuskan tindakan bersama untuk menjustifikasi keberadaan teknologi pendidikan serta untuk meningkatkan kinerja lembaga maupun perorangan.

Referensi
AECT. The Definition of Educational Technology. Washington,DC: 1977
Ashby, Sir Eric. The Fourth Revolution. Instructional Technology in Higher Education. New York: McGraww-Hill Book Co. 1972
Banathy, Bela H. System Design in Education : a journey to create the future. Englewood Cliffs, NJ : Educational Technology Publications. 1991
Daoed Joesoef Pidato Pengarahan Menteri Pendidikan dan Kebuadayaan pada Rapat Koordinasi Teknologi Komunikasi untuk Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. 1981
----------.Pidato Pengarahan Menteri Pendidikan dan Kebuadayaan pada Lokakarya Nasional Teknologi Pendidikan dan Kebudayaan. Yogyakarta. 1982
Miarso, Yusufhadi. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta : Pustekkom bekerjasama dengan Kencana. 2004
Saettler,Paul. A History of Instructional Technlogy. New York: McGraww-Hill Book Co. 1968
Seels, Babara B. and Rita C. Richey. (1994). Instructional Technology: The Definition and Domains of the Field.  Washington,DC : AECT
Thompson, Merritt M. The History of Education. New York.  Barne & Noble, Inc. 1963
           

Lampiran  : Penjabaran Kompetensi Teknolog Pendidikan
                     (Berdasar Kepmen No. 045/U/2002)
Kompetensi dalam kelompok MPK meliputi :
1.        Beriman dan bertaqwa Kepada Tuhan YME
2.        Berakhak dan berbudi mulia
3.        berpegang teguh pada nilai-nilai moral, social dan estetika
4.        Memeliharan dan mempertahankan martabat dan norma etik profesinya
5.        Menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi lingkungan dalam melaksanakan tugas profesionalnya
6.        Menegakkan prinsip dan konsisten dalam penerapan pprofesinya
7.        Mengahrgai erbedaan pendapat di antara rekan seprofesi
8.        Membuka diri terhadap saran, kritik, dan perubahan
9.        Sigap dalam menghadapi perubahan lingkungan
10.      Memihak kepada kepentingan pemelajar
11.      Menunjukkan kematangan emosional
12.      Mmemiliki kepercayaan dan keyakinan diri untuk mengamalkan profesinya
13.      Berkomunikasi dengan santun, sistematik dan logis

Kompetensi dalam kelompok MKK meliputi :
  1. Memiliki wawasan kependidikan dalam melaksanakan tugasnya
  2. Menguasai landasan falsafah dan keilmuan teknologi pendidikan
  3. Mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
  4. Merancang, mengembangkan, menerapkan mengelola, menilai dan meneliti proses, sumber dan sistem belajar
  5. Menyesuaikan peran professional dengan latar pengabdiannya
  6. Memahami berbagai kondisi yang mendukung dan menghambat terjadinya belajar dalam segala kondisi dan situasi
  7. Menguasai berbagai dimensi pengetahuan yang mendukung dan/atau berkaitan dengan aspek aksiologis teknologi pendidikan menguasai stratgei pengorganisasian dan penyajian bahan belajar sesuai dengan kondisi belajar
  8. Menggunakan berbagai referensi penelitian sebagai landasan ketepatan tindakan
  9. Merancang dan melaksanakan berbagai bentuk pengkajian ilmiah
  10. Merumuskan kawasan penelitian teknologi pendidikan
  11. Mengolah hasil penelitian dalam aplikasi praktis untuk pemecahan masalah belajar dan pembelajaran pada semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan.
Kompetensi dalam kelompok MKB melputi :
  1. Memberikan layanan kepada pemelajar dan pembelajar untuk meningkatkan produktivitas dan keserasian belajar
  2. Menggabungkan berbagai pendekatan konseptual maupun empiirik guna memperoleh nilai tambah
  3. Menelusuri kebutuhan belajar baik pada perorangan maupun organisasi
  4. Menyelenggarakan program pembelajaran dengan berbagai pola yang memung-kinkan berkurangnya kesenjangan antara yang mampu dan kurang mampu
  5. Mengelola kegiatan belajar dan pembelajaran guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi belajar
  6. Menyelenggarakan program pengembangan sumberrdaya manusia dalam berbagai latar
  7. Memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi sebagai sumber untuk pengembangan kemampuan professional
  8. Terampil dalam mengembangkan dan menggunakan teknologi untuk keperluan belajar dan pembelajaran
  9. Meningkatkan dayaguna sarana dan sumber belaja yang telah ada
  10. Menghasilkan produk dan/atau model yang dapat digunakan untuk optimalisasi belajar
  11. Menyebarluaskan temuan dengan mendayagunakan teknologi yang tersedia
  12. Terampil membelajarkan orang lain sebagai bagian dari layanan profesi
  13. Mengelola dan memanfaatkan sistem informasi profesi.
Kompetensi dalam kelompok MPB melputi :
  1. Memberdayakn pemelajar sesuai dengan potensi mereka masing-masing
  2. Memilki kepekaan terhadap berbagai kebutuhan belajar sesuai dengan karakteristik pemelajar
  3. Memfokuskan perhatian dan tindakan untuk kepentingan pemelajar
Kompetensi dalam kelompok MBB meliputi :
  1. Membangun jaringan komunikasi dan kerjasama dengan masyarakat penghasil dan pengguna jasa teknologi
  2. Menghindarkan gejolak negatif pada masyarakat sebagai akibat perkembangan teknologi
  3. Merumuskan kebijakan dan aturan pelaksanaannya untuk melindungi masyarakat dari pengaruh negatif media komunikasi massa dan elektronik
  4. Memahamni gejala meningkatnya kebutuhan belajar masyarakat dengan mengidentifikasi dan mengembangkan alternatif penyelesaiannya.
Matakuliah yang dijabarkan dari kompetensi tersebut di atas dilakukan sesuai dengan kemampuan tenaga dan ketersediaan sarana & prasarana. Untuk itu perlu dilakukan ananilis SWOT, dan ditindak lanjuti dengan penataran tenaga dosen atau outsourcing, serta pengadaan sarana dan prasarana.


[1] Makalah disampaikan dalam Seminar Intenasional & Temu Ilmiah FIP/JIP se Indonesia, Manado,2007
[2]Gurubesar Emeritus UNJ

.


Tag:

Bagikan Ini

Baca Juga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar