Revolusi Organisasi : Dengan Memberdayakan Kecerdasan Spiritual Belajar Dari Kesuksesan Dan Kegagalan



PENDAHULUAN
Setiap usaha untuk mengetahui mengapa orang berperilaku seperti yang dilakukannya dalam organisasi, memerlukan pemahaman tentang perbedaan individu. Manajer memerlukan waktu untuk mengambil keputusan tentang kecocokan antara individu, tugas pekerjaan, dan efektifitas. Penilaian seperti itu lazimnya dipengaruhi oleh karakteristik manajer dan bawahannya. Pengambilan keputusan tentang siapa akan melaksanakan tugas apa dengan cara tertentu tanpa mengetahui perilaku dapat menimbulkan persoalan jangka panjang yang tak dapat diubah lagi.Setiap pegawai mempunyai perbedaan dalam banyak hal. Seorang manajer harus mengetahui perbedaan tersebut mempengaruhi perilaku dan prestasi bawahannya.
Dennan begitu para menejer harus mampu memuaskan kebutuhan individu untuk proses pemberian motivasi (dorongan) kepada para pegawai agar mereka mau dan suka bekerja sehingga tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Menjadi seorang pemimpin harus bersiap terjun dalam setiap masalah yang ada dalam organisasi,sehingga setiap masalah dapat terencana dan mampu diselesaikan dengan baik.
Menejer dikategorikan sebagai pemecah masalah dalam organisasinya dengan itu menejer hatus mampu mengambil keputusan secara tepat dan akurat,sehingga menghasilkan keputusan yang berbobot yang bisa diterima dan diakui bawahan. Ini biasanya merupakan keseimbangan antara disiplin yang harus ditegakkan dan sikap manusiawi terhadap bawahan. Keputusan yang demikian ini juga dinamakan keputusan yang mendasarkan diri pada relasi sesama.
Menejer berperan penting dalam terbentuknya tim yang kokoh pada organisasi yang akan memajukan organisasi tersebut sehinggan tujuan organisasi dapat tercapai dengan hasil yang direncanakan.Terbetuknya tim yang kokoh harus memiliki dasar yang penting dalam setiap anggota organisasi yaitu kepercayaan yang harus di bangun dalam sebuah tim yang bersumber dari beberapa arah.kesepakatan dibuat untuk mengatur perilaku seseorang maupun sekelompok orang agar tercipta harmoni dalam rangka mencapai tujuan bersama. Kerja sama dan dukungan untuk membangun komitment di dalam sebuah tim kerja, karena kita semua percaya bahwa tidak ada satupun manusia yang sempurna.
Untuk menggenggam tugas dalam memahami variabel individu,memotivasi,pengambilan keputusan dan membangun tim yang kokoh diperlukan seorang menejer yang memiliki kecerdasan transformasional yang menguasai kecerdasan intelektual,kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang tinggi agar organisai tersebut terus berkembang dan menghasilkan perencanaan baru serta karya yang baru.

MEMAHAMI VARIABEL INDIVIDU
Homo homini socius bahwa manusia adalah makhluk sosial. Psikologi adalah studi tentang perilaku manusia. Psikologi sosial membahas bagaimana individu/kelompok dapat mempengaruhi dan mengubah perilaku orang lain. Psikologi keorganisasian secara khusus membahas perilaku manusia dalam lingkungan keorganisasian dan meneliti pengaruh organisasi terhadap individu dan pengaruh individu terhadap organisasi. Sosiologi berusaha memberikan arti dan menguraikan perilaku kelompok dan berusaha keras mengembangkan perumusan tentang sikap manusia, interaksi sosialnya, dan kebudayaannya. Antropologi memberikan pengetahuan dan konsep yang luas tentang kebudayaan manusia, bagaimana perilaku sosial, teknis, dan keluarga.
Keith Davis dan John W Newstrom (1993) : empat asumsi dasar memahami  manusia :
1.       Perbedaan individu,manusia dilahirkan membawa keunikan masing-masing. Dengan memahami perilaku tertentu seseorang, kita akan memahami dan mencari variable penyebab perbedaan prestasi individu. Variabel yang mempengaruhi perilaku individu a.l. : a)variable fisiologis (fisik dan mental), b)variable psikologis (persepsi, sikap, kepribadian, belajar, motivasi), c)variable lingkungan (keluarga, kebudayaan, kelas sosial). Gibson, dkk tentang perilaku individu : (a)perilaku timbul karena ada stimulus atau motivasi, (b)perilaku diarahkan kepada tujuan, (c)perilaku yang terarah pada tujuan dapat terganggu oleh frustasi, konflik, dan kecemasan.
2.       Orang seutuhnya, seorang manusia perlu dilihat secara utuh, bukan sepotong-sepotong, karena dapat menyesatkan pandangan orang terhadapnya.
3.       Perilaku termotivasi,sebab mengapa seorang karyawan bekerja lebih baik daripada karyawan lain? Gibson, dkk : a.l. sebab beda kemampuan, naluri, imbalan intrinsik, dan ekstrinsik, tingkat aspirasi dan latar belakang seseorang. Campbell dkk (1970) : motivasi berkaitan dengan (a)arah perilaku, (b)kekuatan respon, setelah memilih mengikuti tindakan tertentu, (c)ketahanan perilaku, berapa lama terus-menerus berperilaku tertentu.
4.       Martabat/nilai manusia,unsur manusia perlu dibedakan dari unsur lain. Miftah Thoha : perbedaan karakteristik manusia, beda pengetahuan, kemampuan, kebutuhan, kepercayaan, pengalaman, pengharapan, dll.
Masalah yang paling vital dalam organisasi yang menjadi tantangan manajer adalah : manusia dan perilakunya. Tiga pendekatan dalam memahami terjadinya perilaku :
1.      Pendekatan Kognitif
Pengenalan cenderung bersifat individual. Sumber teori = Psikologi. Littlejohn (1992)  : kaitan antara stimuli (S) yang berfungsi sebagai masukan (input) dan jawaban/respon (R) berupa perilaku yang berfungsi sebagai keluaran (output), ada pemrosesan informasi. Miftah Thoha (1983) :  perilaku tersusun secara teratur. Ada rangsangan/pemrosesan untuk mengetahui/mengenal (cognition), lalu dijawab dengan perilaku.
2.      Pendekatan Kepuasan
Adanya faktor dalam diri yang menguatkan (energize), mengarahkan (direct), mendukung (sustain), dan menghentikan (stop) perilaku. Abraham H. Maslow, teori hierarki kebutuhan : a)manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda yang ingin dipenuhinya, b)kebutuhan yang mendesak dipenuhi lebih dulu, itulah yang menyebabkan orang berperilaku, c)kebutuhan yang sudah terpenuhi tidak lagi menjadi pendorong perilaku. Dikenal dengan 5 jenjang kebutuhan :
1)kebutuhan fisiologis (makan, minum, tempat tinggal, seks, dll)
2)keselamatan dan keamanan  
3)afiliasi, sosial, dan cinta
4)Penghargaan/status
5)Aktualisasi diri.
Catatan penting dalam teori ini : a)asumsi, manusia mempunyai kebutuhan untuk berkembang dan maju, b)adanya kebutuhan tingkat tinggi, yaitu Penghargaan dan Aktualisasi Diri, c)kebutuhan yang belum dipenuhi sama sekali dapat menimbulkan kesulitan bagi manajer, berupa frustasi, konflik, dan tekanan intern.
3.      Pendekatan Psikoanalitik
Pendekatan ini menunjukkan bahwa perilaku manusia dikuasai kepribadian dan personalianya.
a. Einstein : mengapa dasar pembawaan halus dan gerak hati manusia dapat menimbulkan perilaku agresif?  karena keterbatasan pengendalian dirinya?
b. Sigmund Freud (pelopor psiko-analis) : menjawabsurat Einstein : manusia mempunyai naluri/instict yang mudah menyulut semangat berperang, naluri untuk menghancurkan, ada 2 pendorong kehidupan manusia : (1)Eros = naluri untuk hidup, kecenderungan untuk bersatu, penjagaan diri, seks, dan cinta. (2)Thanatos = harapan kematian yang menghimpun manusia ke arah kehancuran. Ada mekanisme pertahanan untuk menyesuaikan keinginan sebagai kenyataan eksternal dan nilai-nilai internal (kesadaran). 3 unsur yang menimbulkan konflik (a)id (das-es) : mendasarkan pada kesenangan, tidak rasional, impulsive, condong pada apa yang dirasa baik, (b)ego (das-ich) : logika, yang mungkin/tak mungkin, patut/tidak, jalan tengah, (c)superego (das-uberich) : alam ketidaksadaran manusia, hati nurani, moral, nilai-nilai individu, condong pada yang dirasa benar.
c. Gibson dkk : sikap adalah kesiap-siagaan mental yang diorganisasi dengan pengalaman, tanggapan orang lain, objek dan lain-lain yang bersifat tetap dan berubah, tergantung tingkat pemahaman terhadap lingkungan. Sikap menentukan perilaku sebab sikap berhubungan dengan persepsi, kepribadian, belajar, dan motivasi. Kepribadian dipengaruhi faktor budaya dan sosial; (1)kepribadian adalah keseluruhan yang terorganisasi bila tidak maka individu tidak mempunyai arti, (2)pola-pola kepribadian dapat diamati dan diukur, (3)kepribadian memiliki dasar biologis yang berkembang dan berubah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan budaya, (4)kepribadian punya segi-segi yang dangkal (ingin menguasai) dan inti yang lebih dalam (sentimen, perasaan wewenang), (5)kepribadian mencakup ciri yang umum dan khas, tiap orang berbeda tapi ada hal-hal yang sama.
d. Porter / Samovar : isi dan pengembangan sikap dipengaruhi kepercayaan & nilai-nilai yang dianut.
e. Solomon E Asch : semua sikap bersumber pada organisasi kognitif, yaitu informasi dan pengetahuan yang dimiliki seseorang. Sikap pada seseorang/sesuatu tergantung "citra" kita pada itu. Citra diperoleh dari sumber-sumber informasi.
f. Leon Festinger : Disonansi Kognitif : suatu keadaan bila terjadi ketidaksesuaian antara komponen kognitif dan komponen perilaku, yaitu suatu bentuk yang tidak konsisten dan tidak disenangi sehingga orang itu mengurangi disonansi untuk mengembalikan ke keadaan semula. Kesenjangan antara sikap dan perilaku adalah karena tidak ada konsistensi antara sikap yang tersembunyi dan perilaku yang  terbuka.
g. Russel G Geen (1976) ingin menjawab, bagaimana orang bereaksi terhadap tekanan hidup, mengatasi, dan apa yang terjadi bila penyelesaian itu tidak efektif. Kepribadian adalah seperangkat perilaku yang membentuk karakter respon seseorang terhadap situasi dan waktu tertentu.
h. Salvatore R Maddi (1980) : Kepribadian adalah ciri yang relatif mantap, kecenderungan dan perangai yang dibentuk dari faktor keturunan, lingkungan, sos-bud. Kekuatan-kekuatan yang membentuk kepribadian :
1.keturunan
2.kebudayaan
3.hubungan keluarga
4.kelas sosial, kelompok dll.

Tiga pendekatan Teori Kepribadian :
a)  Pendekatan Ciri (Traits)
Gordon Allport (1966), ciri (traits)adalah kecenderungan yang dapat diduga, mengarahkan perilaku individu pada konsistensi dan khas, sifat menetap dengan jangkauan umum dan luas, bagian yang membentuk kepribadian, petunjuk jalan tindakan, dan sumber keunikan. 3 asumsi ciri: (1)membuat berbagai stimulus (S) berfungsi sama, (2)penyebab perilaku dan alat menjelaskan/mengurai perilaku, (3)pembentukan ciri terpisah secara kultural
b)   Pendekatan Psikodinamik
yaitu teori Sigmund Freud tentang id, ego, dan superego. Kepribadian dibentuk dari pengalaman ketika kecil, proses mental sehingga 3 unsur itu menyusun. Konflik membentuk 3 unsur itu maka konflik membentuk kepribadian.
c)   Pendekatan Humanistik
Carl Rogers (1977) : harus mendengar apa yang dikatakan orang lain mengenai diri kita, mempersepsikan dunia dan kekuatan yang mempengaruhi, kemudian mengaktualisasi diri sebagai usaha terus-menerus mewujudkan potensi dengan cara berpusat pada masalah, kreatif, demokratis, mengadakan hubungan pribadi, dan menerima orang lain apa adanya. Kelemahannya : condong ke individualis.

Dua faktor penghubung kepribadian dan perilaku:
1. Locus of control (tempat pengendalian)
Rotter : seseorang menguasai nasib diri sendiri, dikendalikan oleh kekuatan dalam diri sendiri disebut : orang internalizer. Mereka yang dikendalikan dari luar disebut : externalizer. Sifat orang internalizer lahir karena : tidak merasa ditekan orang lain, perilaku berpusat pada pekerjaan, berprestasi tinggi, tidak emosional.

2. Androginy  (konsep kejantanan & kewanitaan)
Sandra L Bem (1974) : sifat jantan = ambisi, percaya diri, dll. Sifat wanita = kasih sayang, lemah lembut dll. Sifat netral =jujur, bahagia, dll. Androgini adalah mereka yang mendapat nilai tinggi secara bersamaan pada dimensi jantan/wanita. Sifat orang androgini : lebih bebas, mengenali dirinya, suka membantu.

Spence dan Helmreich (1978) : orang androgini = harga diri tinggi, pandai bergaul, orientasi pada hasil tinggi.Sedang Davis & Newstrom : peran adalah pola tindakan yang diharapkan dari budaya tsb seseorang atau pola perilaku yang diharapkan pada posisi tertentu yang mencerminkan hak, kewajiban, dan tanggung jawab posisi.
Role set = pelbagai peran yang berbeda-beda. Role conflict = konflik peran yang menyebabkan emosi dan keraguan dalam melangkah. Szilagyi (1977) : ketepatan persepsi peran dapat mempengaruhi penentuan hasil karya dalam organisasi.

PEMAHAMAN MOTIVASI
Berbagai pendapat dari para ahli mengenai motivasi yang dapat disimpulkan sebagai berikut; Motivasi adalah dorongan untuk berbuat sesuatu (drive) didalam memenuhi kebutuhan. Keinginan pencapaian dalam memenuhi kebutuhan tersebut tergantung dari kekuatan motifnya. Motif dengan kekuatan yang besar akan menentukan perilaku individu. Dengan kata lain motif adalah kebutuhan, dorongan, atau impuls yang menentukan perilaku seseorang.Disadari bahwa tingkat kepuasan individu manusia berbeda-beda, begitu pula  dengan tingkat kebutuhan manusia juga berlainan, hal ini perlu dipahami oleh seorang wirausaha didalam memotivasi pekerjanya. Disamping itupula seorang wirausaha perlu mengenali kekuatan motif diri sendiri sehingga dapat menjaga kesimbangan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Dari penjelasan dan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa seorang wirausaha sebagai pemimpin dalam usahanya, harus memahami tentang motivasi. Pekerjaan seorang pemimpin yang paling penting antarlain adalah, bagaimana dia bisa memotivasi  orang yang dipimpin untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pencapaian tujuan inilah yang menjadi patokan atau ukuran keberhasilan bagi seorang wirausaha.

Seorang wirausaha harus memahami betul bagaimana cara memotivasi pekerja dan mengenal motivasi diri sendiri sehingga menghasilkan perilaku positif yang membuahkan output/hasil kerja meningkat yang pada akhirnya tujuan yang ditetapkan tercapai.

Dikalangan para praktisi manajemen telah lama diketahui bahwa masalah motivasi bukanlah masalah yang mudah, baik memahami apalagi menerapkannya. Karena berbagai alasan dan pertimbangan. Akan tetapi yang jelas bahwa dengan motivasi yang tepat para individu bawahan atau pengikut akan terdorong untuk berbuat semaksimal mungkin dalam pekejaannya. Inilah inti pekerjaan seorang wirausaha sebenarnya, selain memahami bisnis yang dilakukannya,  Iapun harus memahami perlakuan motivasi apa yang tepat bagi   para pengikutnya sehingga kinerja dapat meningkat

Suatu hal penting dalam motivasi  yang perlu diperhatikan   bagi seorang wirausaha yaitu model motivasi yang mengkaitkan antara imbalan dan prestasi. Model tersebut didasari atas berbagai model motivasi yang mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan-kelebihan dari model yang ada oleh para ilmuwan digabungkan menjadi satu model.

Menurut Sondang P. Siagian (2005: hal. 293-294). Tampaknya ada kesepakatan dikalangan para pakar, bahwa model tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengkaitkan imbalan dengan prestasi kerja seorang karyawan.

Model ini menggambarkan bahwa motivasi seseorang  dipengaruhi berbagai faktor , baik bersifat internal maupun eksternal sebagai berikut;

1.  Faktor Internal
Bagi seorang wirausaha faktor ini merupakan pengenal motivasi diri pribadi, bagaimana individu tersebut mempunyai dorongan untuk usaha lalu motif apa yang dominan dalam memilih untuk menjadi wirausaha.

Dalam teori ini dkenalkan  2 kebutuhan atau motif yang perlu diketahui yaitu:
1.Fisiologis.
Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan dasar manusia berupa; sandang, pangan dan papan.Kebutuhan ini merupakan faktor yang paling mendasar, bahwa seseorang yang memilih menjadi wirausaha atau pekerja pertama kali adalah didorong oleh kebutuhan dasar yang menjadi tuntutan hidupnya. Tinggal bagaimana tuntutan kualitas dari kebutuhan tersebut terpenuhi, karena masing-masing individu berbeda dalam memenuhi kebutuhan dasar itu.

Ada individu cukup puas dengan apa yang dihasilkan dan menerima dengan kualitas minimum, namun banyak individu lainnya tidak puas  dengan kualitas kebutuhan dasar yang diterimanya dan menginginkan peningkatan dan perubahan. Banyak penelitian dari para ahli perilaku menunjukkan bahwa, tingginya tujuan yang ingin dicapai berkorelasi secara signifikan dengan kebutuhan dasar yang ingin dicapai. Kita sering melihat dalam kehidupan sehari-hari yang ditemui, bahwa  seaorang pekerja atau wirausaha yang cukup puas dengan apa yang diterimanya maka orang tersebut tidak mempunyai keinginan untuk menetapkan tujuan hidup yang lebih tinggi. Tidak ada keinginan untuk meningkatkan kemampuan, tidak mempunyai  kreatifitas dan inovasi yang tinggi dalam bekerja atau berusaha.

2. Psikologis
Selain kebutuhan fsiologis, seorang wirausaha juga perlu mengenal kebutuhan psikologis yang menjadi penyebab meningkatnya prestasi individu. Yang pada dasarnya bahwa individu setelah terpenuhi akan kebutuhan fsiologis maka seseorang akan menuntut akan kebutuhan yang lain  dalam hal ini kebutuhan psiologis seperti;
·         Kebutuhan akan kasih sayang, seseorang yang sudah terpenuhi akan kebutuhan dasar diatas, maka individu tersebut membutuhkan jalinan kasih sayang dengan keluarga maupun membentuk keluarga bagi yang belum berkeluarga.
·         Kebutuhan mempertahankan diri,  tuntutan kebutuhan ini berkaitan dengan mempertahankan harga diri seperti  untuk tidak dipermalukan, kehilangan muka serta mempertahankan prestise.
·         Kebutuhan memperkuat diri, kebutuhan ini berkaitan dengan tuntutan individu akan pengembangan diri, menaikan prestise dan mendapat pengakuan diri, serta memuaskan diri dengan dapat menguasai orang lain.

Kebutuhan-kebutuhan yang diuraikan diatas harus dipahami benar bagi seorang manajer atau wirausaha, hal ini berguna dalam motivasi diri sendiri maupun memotivasi orang lain.

2.   Faktor Eksternal.
Teori ini menjelaskan faktor-faktor yang dikendalikan melalui pengaruh yang dipunyai oleh seorang manajer atau wirausaha yang berupa imbalan-imbalan sebagai berikut:
·         Gaji
·         Kondisi kerja
·         Penghargaan
·         Jenjang karier
·         Tanggung jawab

Bahwa seseorang pekerja termotivasi untuk bekerja lebih baik tergantung dari faktor yang dikendalikan oleh seorang pemimpin perusahaan atau seorang wirausaha dan interaksi positif antar dua faktor tersebut yang pada umumnya menghasilkan tingkat motivasi yang tinggi.

Teori motivasi eksternal tidak mengabaikan teori motivasi internal, tetapi justru mengembangkannya. Teori motivasi eksternal menjelaskan kekuatan yang ada didalam individu yang dipengaruhi factor-faktor intern yang dikendalikan oleh manajer atau seorang wirausaha berupa imbalan-imbalan seperti diuraikan diatas.

Manajer perlu memahami dan mengenal motivasi eksternal untuk mendapat tanggapan positif dari karyawannya. Tanggapan yang positif ini menunjukkan bahwa bawahan-bawahannya sedang bekerja demi kemajuan organisasi. Seorang manajer dapat mempergunakan motivasi eksternal yang positif maupun yang negatif. Motivasi posiif memberikan imbalan-imbalan berupa penghargaan untuk pelaksanaan kerja yang baik. Motivasi negatif memperlakukan hukuman bila pelaksanaan kerja tidak baik. Keduanya dapat dilakukakan oleh pimpinan perusahaan. Teori McGregor dan Herzberg akan membantu menjelaskan teori motivasi eksternal berikut ini.

MOTIVASI
Teori X dan teori Y McGregor
Teori motivasi yang menggabungkan motivasi internal dan motivasi eksternal dikembangkan oleh Douglas McGregor, Ia seorang psikolog sosial Amerika, dalam proyek risertnya meneliti tentang motivasi dan perilaku umum tentang anggota organisasi, telah merumuskan perbedaan dua teori dasar mengenai perilaku manusia. Kedua teori itu disebut dengan nama teori X dan teori Y.

Teori tradisional mengenai kehidupan organisasi banyak diarahkan dan dikendalikan atas dasar teori X adalah:
1.      Rata-rata para pekerja itu malas, tidak suka bekerja dan akan menghindar bila dapat.
2.      Karena pada dasarnya tidak suka bekerja, maka harus dipaksa, dkendalikan, diperlakukan dengan hukuman, dan diarahkan untuk pencapaian tujuan organisasi
3.      Rata-rata pekerja lebih senang dibimbing, berusaha menghindari tanggung jawab, mempunyai ambisi yang kecil, keamanan drnya diatas segala-galanya.

Teori X ini masih banyak digunakan dalam organisasi-organisasi, karena para manajer percaya bahwa anggapan-anggapan itu benar, dan banyak sifat-sifat yang dapat diamati dari perilaku manusia sesuai dengan anggapa-anggapan tersebut. Namun teori X tidak dapat menjawab seluruh fakta yang ada yang terjadi dalam organisasi. Oleh karena itu McGregor  menjawabnya dengan teori Y, yang dinyatakan lebih realistis. Menurut teori Y  kodrat perilaku manusia tidak sesuai dengan anggapan teori X. Mereka berperilaku seperti anggapan teori X karena mereka memperoleh perlakuan tertentu dalam oganisasi.
Angapan-anggapan teori Y adalah:
1.      Usaha phisik dan mental yang dilakukan manusia dalam bekerja adalah kodrat manusia, sama halnya dengan bermain atau beristrirahat.
2.      Rata-rata manusia bersedia belajar, dalam kondisi yang layak , tidak hanya menerima tetapi mencari tanggung jawab.
3.      Ada kemampuan yang besar dalam kecerdikan, kreatifitas, dan daya imajinasi dalam memecahkan masalah-maslah dalam organisasi yang secara luas tersebar pasa seluruh karyawan.
4.      Pengendalian ekstern dan hukuman bukan satu-satunya untuk mengerahkan usaha pencapaian tujuan organisasi.
5.      keterikatan pada tujuan organisasi adalah fungsi pengharagaan yang diterima karena prestasinya dalam pencapaian tujuan tersebut.
6.      organisasi seharusnya memberikan kemungkinan orang untuk mewujudkan potensinya, dan tidak digunakan sebagian.

Anggapan-anggapan  teori Y ini dapat lebih mengarahkan tercapainya  motivasi yang lebih tinggi dan menaikkan kemungkinan kebutuhan individu dan tercapainya tujuan organisasi. Dasar utama teori Y adalah integrasi dan kerjasama. Dengan integrasi, para karyawan dapat mencapai tujuan mereka sendiri melalui sumbangannya dalam pencapaian tujuan organisasi dimana dia mengikat diri.

Perlu dipahami, bahwa motivasi eksternal seharusnya cukup fleksibel untuk menyesuaikan diri dengan setiap keunikan orang dalam organisasi. Para karyawan seharusnya tidak untuk cocok dengan satu teori yang kaku atau pandangan manajer atau pimpinan perusahaan. Hal ini belaku juga pada penerapan teori X dan teori Y yang dicetuskan McGregor.

Pendekatan-pendekatan terhadap Motivasi.
Motivasi dapat dipandang sebagai suatu proses psikologi dasar yang terdiri atas berbagai kebutuhan, dorongan dan tujuan. Pendekatan hubungan manusia tradisional pada umumnya tidak menyadari pentingnya proses hubungan ini. Pandangan tersebut didasarkan pada 3 asumsi berikut ini:
1.      Personalia terutama dimotivasi secara ekonomis, perasaan aman serta kondisi kerja yang baik.
2.      Pemenuhan ketiga hal itu akan mempunyai pengaruh positif pada semangat kerja mereka.
3.      Ada korelasi positif antara semangat kerja dan produktivitas.

Dengan tiga asumsi ini, masalah motivasional yang dihadapi manajer relatif mudah dipecahkan dan diselesaikan. Semua hal yang harus dilakukan manajemen menyangkut rencana-rencana insentif moneter, jaminan keamanan, dan pengaturan kondisi kerja secara baik; semangat kerja akan meningkat dan produktivitas maksimum akan tercapai. Banyak ahli hubungan manusia, psikologi industri dan teknisi industri mendukung pendekatan ini, dan kemudian para personalia manajer mengimplementasikan dalam praktek.

Dalam kenyataannya, pendekatan hubungan manusia tradisional tidak sepenuhnya berjalan dalam praktek. Telah terbukti pendekatan ini terlalu sederhana untuk dapat memecahkan masalah masalah motivasional yang kompleks yang dihadapi manajemen. Ketiga asumsi menjadi tidak valid atas dasar pembuktian melalui pengalaman dan penelitian. Motivasi manusia jauh lebih kompleks dan berbeda dari pendekatan ekonomik, keamanan dan kondisi kerja yang disarankan. Pendekatan tradisional hanya mengungkapkan permukaan masalah motivasi yang sangat kompleks. Ada sejumlah variabel-variabel internal dan lingkungan yang mempengaruhi motivasi untuk bekerja.

PENGAMBILAN KEPUTUSAN

            Pengambilan keputusan dalam organisasi merupakan proses pemilihan antara berbagai alternative (Shull, Delbecq, & Cummings, 1970). Pengambilan keputusan merupakan hasil proses komunikasi dan partisipasi yang terus-menerus dari organisasi secara keseluruhan (melibatkan sebanyak-banyaknya pihak yang terkait).

Pada dasarnya bentuk pemilihan dari berbagai alternatif yang dipilih dimana prosesnya melalui mekanisme tertentu (dengan harapan mendapatkan hasil yang terbaik bagi organisasi). Menurut Ralp C. Davis, Mary Follet, dan James A.F. Stoner, pengambilan keputusan adalah hasil pemecahan masalah yang didasari atas logika dan pertimbangan, penetapan alternatif terbaik, dan harus mendekati tujuan yang telah ditetapkan.

Jenis-jenis pengambilan keputusan
      Berdasarkan program dan regularitas :
    1.Pengambilan keputusan terprogram atau terstruktur
Yaitu pengambilan keputusan yang sifatnya rutinitas, berulang-ulang, dan cara menanganinya telah ditentukan.
Pengambilan keputusan terprogram ini digunakan untuk menyelesaikan masalah terstruktur melalui :
a)      Prosedur : yaitu serangkaian langkah yang berhubungan dan berurutan yang harus diikuti oleh pengambil keputusan
b)      Aturan : yaitu ketentuan yang mengatur apa yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh pengambil keputusan
c)      Kebijakan : yaitu pedoman yang menentukan parameter untuk membuat keputusan
    
     2. Pengambilan keputusan tidak terprogram (tidak terstruktur)
Adalah pengambilan keputusan yang tidak rutin dan sifatnya unik sehingga memerlukan pemecahan khusus.

       Berdasarkan tingkat kepentingannya
Pada umumnya suatu organisasi memiliki hierarki manajemen. Secara klasik hierarki ini terdapat tiga tingkatan, yaitu :
a)      Manajemen puncak yang berkaitan dengan masalah perencanaan yang bersifat strategis (strategic planning). Pada manajemen puncak keputusan yang diambil adalah keputusan strategis.
b)      Manajemen menengah, yaitu menangani permasalahan kontrol/pengawasan yang sifat pekerjaannya lebih banyak pada masalah administrasi. Pada manajemen menengah ini keputusan yang diambil adalah keputusan administrasi/taktis. Keputusan ini adalah keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya.
c)      Manajemen operasional, yaitu berkaitan dengan kegiatan operasional (kegiatan operasi harian). Keputusan yang diambil pada manajemen operasional disebut keputusan operasional.
    
        Berdasarkan tipe persoalan :
a.       Keputusan internal jangka pendek, yaitu keputusan yang berkaitan dengan kegiatan rutin/operasional, seperti pembelian bahan baku, penentuan jadwal produksi.
b.      Keputusan internal jangka panjang, yaitu keputusan yang berkaitan dengan permasalahan organisasional, seperti perombakan struktur organisasi, perubahan departemen.
c.       Keputusan eksternal jangka pendek, yaitu keputusan yang berkaitan dengan semua persoalan yang berdampak dengan lingkungan dalam rentang waktu yang relatif pendek, seperti mencari subkontrak untuk suatu permintaan khusus.
d.      Keputusan eksternal jangka panjang, yaitu keputusan yang berkaitan dengan semua persoalan dengan linkungan dengan waktu yang relatif panjang, seperti merger dengan perusahaan lain dan ini bersifat strategis.

       Berdasarkan lingkungannya :
     1. Pengambilan keputusan dalam kondisi pasti, yaitu pengambilan keputusan dimana berlangsung hal-hal :
a)      Alternatif yang harus dipilih hanya memiliki satu konsekuensi/jawaban/hasil. Ini berarti hasil dari setiap alternatif tindakan tersebut dapat ditentukan dengan pasti.
b)      Keputusan yang diambil didukung oleh informasi/data yang lengkap, sehingga dapat diramalkan secara akurat hasil dari setiap tindakan yang dilakukan.
c)      Dalam kondisi ini, pengambil keputusan secara pasti mengetahui apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang.
d)     Biasanya selalu dihubungkan dengan keputusan yang menyangkut masalah rutin, karena kejadian tertentu dimasa yang akan datang dijamin terjadi.
e)      Pengambilan keputusan seperti ini dapat ditemui dalam kasus/model yang bersifat deterministik.
f)       Teknik penyelesainannya/pemecahannya biasanya menggunakan antara lain : teknik program linier, model transportasi, model penugasan,  model inventori, model antrian, model network.
    
     2.  Pengambilan keputusan dalam kondisi resiko, adalah pengambilan keputusan dimana berlangsung hal-hal :
a)      Alternatif yang dipilih mengandung lebih dari satu kemungkinan hasil.
b)      Pengambilan keputusan memiliki lebih dari satu alternatif tindakan.
c)      Diasumsikan bahwa pengambilan keputusan mengetahui peluang yang akan terjadi terhadap berbagai tindakan dan hasil.
d)     Resiko terjadi karena hasil pengumpulan keputusan tidak dapat diketahui dengan pasti, walaupun diketahui nilai probabilitasnya.
e)      Pada kondisi ini ada informasi/data yang akan mendukung dalam membuat keputusan, berupa besar atau nilai peluang terjadinya bermacam-macam keadaan.
f)       Teknik pemecahannya menggunakan konsep probabilitas, seperti model keputusan probabilistik, model inventori probabilistik, model antrian probabilisti.

    3.   Pengambilan keputusan dalam kondisi tidak pasti, yaitu pengambilan keputusan dimana :
a.       Tidak diketahui sama sekali hal jumlah kondisi yang mungkin timbul serta kemungkinan-kemungkinan munculnya kondisi-kondisi tersebut.
b.      Pengambilan keputusan tidak dapat menentukan probabilitas terjadinya berbagai kondisi atau hasil yang keluar.
c.       Pengambilan keputusan tidak mempunyai pengetahuan atau informasi lengkap mengenai peluang terjadinya bermacam-macam keadaan tersebut.
d.      Hal yang diputuskan biasanya relatif belum pernah terjadi.
e.       Tingkat ketidakpastian keputusan semacam ini dapat dikurangi dengan cara :Mencari informasi lebih banyak, Melalui riset atau penelitian dan Penggunaan probabilitas subjektif
f.       Teknik pemecahannya adalah menggunaka beberapa metode /kriteria, yaitu metode maximin, metode maximax, metode Laplace, metode minimax regret, metode relaisme dan dibantu dengan tabel hasil (pay off tabel).

    4.  Pengambilan keputusan dalam kondisi konflik adalah pengambilan keputusan dimana :
a.       Kepentingan dua atau lebih pengambil keputusan saling bertentangan dalam situasi persaingan.
b.      Pengambil keputusan saling bersaing dengan pengambil keputusan lainnya yang rasional, tanggap dan bertujuan untuk memenangkan persaingan tersebut.
c.       Pengambil keputusan bertindak sebagai pemain dalam suatu permainan.
d.      Teknik pemecahannya adalah menggunakan teori permainan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan :
    1. Posisi atau kedudukan seseorang
a.       Letak posisi
b.      Tingkatan posisi

    2.Masalah
Masalah atau problem adalah apa yang menjadi penghalang untuk mencapai tujuan, yang merupakan penyimpangan dari apa yang diharapkan, direncanakan atau dikehendakidan harus diselesaikan. Masalah tidak selalu dapat dikenal dengan segera, ada yang memerlukan analisis, ada pula yang bahkan memrlukan riset tersendiri.
Masalah dibagi menjadi 2 jenis :
a.       Masalah terstruktur
b.      Masalah tidak terstruktur
Pembagian masalah yang lain :
a.       Masalah rutin
b.      Masalah insidentil
    
     3.  Situasi
Keseluruhan faktor-faktor dalam keadaan yang berkaitan satu sama lain, dan yang secara bersama-sama memancarkan pengaruh terhadap kita beserta apa yang hendak kita perbuat.
Faktor-faktor tersebut dibedakan :
a.       Faktor-faktor yang konstan
b.      Faktor-faktor yang tidak konstan
    
    4. Kondisi
Keseluruhan dari faktor-faktor yang secara bersama-sama menentukan daya gerak, daya berbuat atau kemampuan kita. Sebagian besar faktor-faktor tersebut merupakan sumber daya(resourches).

    5. Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai, baik tujuan perorangan, tujuan unit(kesatuan), tujuan organisasi maupun tujuan usaha, pada umumnya telah tertentu/telah ditentukan. Tujuan yang telah ditentukan dalam pengambilan keputusan merupakan tujuan antara atau objective.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan adalah :
    1.     Keadaan internal organisasi
a.    Dana yang tersedia
b.    Keadaan sumber daya manusia
c.    Kemampuan karyawan
d.    Kelengkapan dari peralatan organisasi
e.    Struktur organisasi

     2.    Keadaan eksternal organisasi, meliputi :
a.    Keadaan ekonomi
b.    Keadaan sosial
c.    Keadaan politik
d.    Keadaan hukum
e.    Keadaan budaya, dsb

    3.  Tersedianya informasi yang diperlukan
    4.   Kepribadian dan kecakapan pengambil keputusan, meliputi penilaiannya, kebutuhannya, intelegensinya, keterampilannya, kapasitasnya, dan sebagainya.

Teori pengambilan keputusan
Terdapat 4 paradigma dalam teori pengambilan keputusan, yaitu model rasional, model organisasional, model politik dan power, dan model garbage can.
    
     a.    Model rasional
Dalam model yang paling basic dalam pengambilan keputusan model rational, dimana dalam perspektif ini diasumsikan bahwa setiap individu memiliki kesamaan perilaku terhadap tujuan yang ingin dicapai. Dalam riset, perspektif ini digunakan oleh March dan Simon(1958) dan Allison(1971) dalam membuat rational action.
    
    b.    Model organisasional
Model ini merupakan pengembangan dari model rasional dimana dalam pengambilan keputusan, kognitif dari faktor pengambilan keputusan adalah terbatas, dan aspek-aspek organisasi lah yang menutupi keterbatasan ‘kognitif dan membentuk’ kognitif actor pengambil keputusan. Aspek-aspek itu bisa standar operation procedure (Allison,1971), rutinitas dalam organisasi tidak seperti model rasional, dimana tahapan pengambilan keputusan adalah sequential, dalam proses perspektif ini proses pengambilan keputusan tidaklah sequential (Mintzaberg et al., 1976). Dan linieritas dari proses pengambilan keputusan adalah kontekstual (Nutt, 1984).

     c. Model politik dan kekuasaan
Akar dari perspektif politik dalam pengambilan keputusan adalah lmu politik. Perspektif ini melihat bahwa para pengambil keputusan memiliki tujuan yang berbeda-beda, mereka bekerja sama melalui proses koalisi dan preferensi dari actor yang memiliki pengaruh yang paling besar yang akan menang. Awalnya perspektif ini digunakan untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan di lembaga legislative, dimana para faktor saling beradu argument dan interes, pembentukan koalisi dan pemenang (Eisenhardt & Zbaract, 1992).
    
     d. Model garbage can
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Cohen, Marc dan Olsen (1972), bahwa keputusan dalam suatu organisasi terjadi dengan tidak sengaja atau kebetulan. Teori ini merupakan reaksi dari model rasional dan model politik, yang menurut mereka memiliki banyak kelemahan terutama dalam memahami proses pengambilan keputusan dalam situasi yang kompleks, tidak stabil dan dalam dunia yang ambiguous.

Keuntungan dan kelemahan pengambilan keputusan dalam kelompok
1. Keuntungan
a)      Kelompok menghasilkan informasi dan pengetahuan yang lebih lengkap, dengan cara mengumpulkan data dan informasi melalui sejumlah individu sebagai bahan masukan dalam proses pengambilan keputusan.
b)      Peningkatan keanekaragaman pandangan, dalam rangka membuka peluang untuk lebih banyak pendekatan dan alternative yang perlu dipertimbangkan. Hal ini dibuktikan bahwa sebuah kelompok hampir selalu akan berkinerja baik daripada bekerja individu.
c)      Menghasilkan keputusan bermutu yang lebih tinggi.
d)     Peluang penerimaan pemecahan masalah berdasarkan keputusan kelompok jauh lebih efektif daripada pengambilan keputusan secara individu.

2. Kelemahan
a)      Proses pengambilan keputusan menyita waktu yang panjang.
b)      Ada peluang dan kecenderungan tekanan konformitas dalam kelompok.
c)      Hasrat dari anggota-anggota kelompok untuk diterima dan dianggap sebagai suatu asset bagi kelompok itu dapat mengakibatkan dihentikannya setiap ketidaksepakatan yang muncul.
d)     Keputusan kelompok dapat didominasi oleh satu atau beberapa orang. Jika koalisi dominan ini terdiri atas anggota dengan kemampuan rendah atau sedang, maka kefektifan seluruh kelompok akan menderita.

    MEMBANGUN TIM YANG KOKOH

Kepercayaan
Kepercayaan yang harus di bangun dalam sebuah tim adalah kepercayaan yang bersumber dari beberapa arah. Pertama kepercayaan antara atasan dengan bawahannya kedua kepercayaan  antara bawahan dengan atasannya dan yang ketiga adalah kepercayaan yang bersumber dari sesama anggota tim satu sama lainnya.

Ketika kepercayaan tumbuh, hubungan antara individu akan semakin erat sehingga motivasi meningkat dan komitment mulai terbentuk. Orang yang saling percaya akan sulit digoyahkan. Sesame anggota tim merasa nyaman dan aman. Motivasi individu jelas dan umumnya saling memahami.

Untuk memulainya pemimpin berperan penting dalam membangun kepercayaan ini. Tentu akan sulit jika pertama-tama pemimpin menuntut seluruah anggota tim utuk memberikan kepercayaan kepadanya.  Yang pertama-tama harus dilakukan justru pemimpin memberikan kepercayaan kepada anggota tim. Ini adalah langkah awal untuk membangun kepercayaan tim secara keseluruhan.

Kesepakatan
Kesepakatan pada dasarnya dibuat untuk mengatur perilaku seseorang maupun sekelompok orang agar tercipta harmoni dalam rangka mencapai tujuan bersama. Kesepakatan yang baik adalah kesepakatan yang di terima oleh tim, dengan demikian satu sama lain bisa saling menjaga dan mengingatkan jika ada yang melanggar apalagi hendak keluar dari kesepakatan tersebut.

Dengan membangun seperangkat kesepakatan yang terkait dengan kinerja perilaku dan hal yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan, maka produktivitas semua anggora tim akan meningkat. Mengapa ?... karena usaha dan energy mereka tidak di habiskan untuk gangguan-gangguan kecil yang biasanya muncul dari ketidak jelasan aturan yang berlaku. Dengan begitu semua upaya yang di lakukan seluruh anggota tim dapat diarahkan untuk hal-hal yang benar-benar penting.

Guna membangun komitment yang tinggi sebagai pemimpin, kita harus melibatkan seluruh anggota tim untuk berkontribusi dalam memberikan ide maupun sumbangsih dalam memberikan ide maupun sumbangsih lainnya. Ketika kesepakatan tersebut sudah di tetapkan, tugas seorang pemimpin adalah mengatur ritme agar setiap anggota tim terus berpegang teguh pada menjalankan kesepakatan tersebut. Cara paling ampuh pada tahap ini adalah menjadikan diri kita sendiri sebagai contoh panutan dengan ikut juga menegakan aturan tersebut. Jangan sebaliknya, sebab cara tercepat untuk merusak sebuah komitment adalah dengan melanggar kesepakatan yang telah di sepakati bersama.

Kerja sama dan saling mendukung
Kerja sama dan dukungan juga merupakan factor kritis dalam membangun komitment di dalam sebuah tim kerja, karena kita semua percaya bahwa tidak ada satupun manusia yang sempurna. Selalu ada kelebihan di satu sisi juga ada kekurangan di sisi lainnya. Sikap saling mendukung ini akan menciptakan sinergi di dalam kelompok, yang kuat akan membantu yang lemah, yang lebih memberikan kepada yang kurang.

Sehingga sebagai anggota tim, kita memang memiliki kelebihan dalam bebeberapa hal tetapi di saat yang bersamaan kita juga memiliki kelemahan dalam hal lainnya. Dengan mau memberikan bantuan dan dukungan atas hal-hal yang menjadi kelebihan kita, di saat yang diperlukan pun kita akan memperoleh bantuan dan dukungan atas hal-hal yang menjadi kekurangan kita. Indah bukan ?...

Sikap mau bekerja sama dan saling mendukung ini juga menciptakan semangat kebersamaan di dalam tim yang begitu kental, karena tidak adanya sekat-sekat pemisah antara mereka yang superior dan mereka yang inferior. semua orang tidak terkecuali membutuhkan bantuan dari orang lain. Setiap anggota tim menjadi saling ketergantungan (inter-dependent) yang positif karena imbasnya adalah produktifitas kinerja meningkat.
Sama seperti sebuah kendaraan yang tidak ada komponen paling penting di dalamnya karena semua kompoenen memang penting. Coba saja kita cabut salah satu buah busi dari tempatnya, kendaraan yang walaupun semua komponen lainnya dalam kondisi prima menjadi tidak bisa menyala. Atau coba kita singkirkan benda sederhana seperti tali kipas yang terletak di dalam kap mesin, maka dalam waktu yang sangat singkat mesin akan segera berhenti bekerja.

Sama halnya di dalam tim kerja, setiap individu tidak akan bisa berdiri sendiri karena semuanya saling ketergantuan dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing adalah peran pemimpin untuk merangkai semangat kerjasama dan saling mendukung ini. Begitu setiap individu tersadarkan bahwa mereka bukanlah apa-apa tanpa anggota tim lainnya. Komitment pun akan tumbuh terhadap tim dan juga terhadap anggota-anggota yang ada di dalamnya. Selamat mencoba karena hasil akhirnya yang berkualitas di mulai dengan implementasi yang berkulaitas pula.

Kepemimpinan sangat penting bagi setiap organisasi, baik organisasi profit maupun nonprofit, privat maupun pemerintah dan bagi setiap individu. Kepemimpinan merupakan alat yang diperlukan organisasi untuk mengarahkan sumberdaya organisasi untuk mencapai tujuan organisasi dengan efektif.Pemimpin sudah seyogyanya mempunyai kemampuan dan kecerdasan yang lebih dibanding bawahannya agar dapat membawa organisasi yang dipimpinnya untuk meraih tujuan.

Pada mulanya kecerdasan seseorang hanya dilihat dari kecerdasan kognitifnya saja, namun pada perkembangannya kecerdasan IQ bukanlah satu-satunya indikator kecerdasan, yang dapat membawa kesuksesan seseorang. Kecerdasan lain yang diperlukan oleh seorang pemimpin adalah kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), yang merupakan perkembangan dari tingkatan kecerdasan (intelligence).

Dalam tulisan ini akan membahas mengenai kepemimpinan transformasional yang didukung dengan adanya kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual, diyakini akan dapat membawa organisasi meraih tujuannya dan menuju perubahan organisasi kearah yang lebih baik.

PEMIMPIN DENGAN KECERDASAN SPIRITUAL YANG TINGGI

Leadership (kepemimpinan) merupakan suatu usaha untuk menggunakan pengaruh untuk memotivasi individu untuk mencapai tujuan tertentu (Gibson et al, 2009).

Dalam Handbook of Leadership, kepemimpinan diartikan sebagai interaksi antar anggota kelompok dalam sebuah kelompok. Pemimpin merupakan agen perubahan, yaitu orang yang bertindak mempengaruhi
orang lain lebih daripada orang lain mempengaruhinya. Kepemimpinan terjadi saat anggota sebuah kelompok mengubah motivasi atau kompetensi orang lain dalam kelompok. Keefektifan pemimpin diukur dengan pencapaian satu atau beberapa tujuan. Individu dalam kelompok melihat keefektifan pemimpin berdasarkan pada kepuasan yang mereka rasakan/dapatkan dari pengalaman kerja.

Kepemimpinan tranformasional
Isu mengenai kepemimpinan telah diungkapkan oleh beberapa pakar sejak puluhan tahun yang lalu.James MacGregor Burns dalam Kuhnert & Lewis (1987) mengidentifikasikan dua tipe kepemimpinan: transaksional dan transformasional.

Menurutnya,transactional leadership terjadi saat seseorang mengambil inisiatif dalam melakukan kontak dengan orang lain untuk tujuan pertukaran sesuatu yang berharga, sedangkan transformational leadership berdasarkan pada lebih dari sekedar pemenuhan terhadap bawahan, tetapi juga melibatkan perubahan kepercayaan/keyakinan, kebutuhan,dan nilai-nilai dari bawahannya.

Selanjutnya, dimensi transformational leadership menurut Richardson & Vandenberg (2005) terdiri dari: mengartikulasikan visi,role modeling, mengembangkan penerimaan terhadap tujuan kelompok, menunjukkan ekspektasi kinerja yang tinggi, dukungan individual, dan stimulasi intelektual.Bass, 1985; Podsakoff, MacKenzie, Moorman, & Fetter, 1990, dalam Kirkman (2009) mendefinisikan transformational leader sebagai seseorang yang mengartikulasikan visi masa depan yang dibagikan,secara intelektual merangsang bawahannya, memberikan dukungan yang besar kepada individu,mengetahui perbedaan individu, dan menentukan ekspektasi yang tinggi.

Saat berbicara mengenai transformational leadership, akan berkaitan juga dengan transactional leadership. Pemimpin yang transformasional dideskripsikan sebagai seorang pemimpin yang merangsang bawahannya untuk merubah motif, kepercayaan, nilai, dan kapabilitasnya sehingga kepentingan diri bawahannya dan tujuan personal menjadi kongruen dengan visi untuk organisasi mereka (Bums, 1978; Bass, 1985; dalam Goodwin et al, 2001, h. 295).

Sedangkan transactional leader diketahui sebagai seseorang yang fokus pada motivasi bawahan melalui pengahrgaan atau disiplin,mengklarifikasikan jenis penghargaan kepada bawahannya.Dvir et al (2002) menyebutkan bahwa transactional leadersdipengaruhi oleh setting goals, menjelaskan hasil yang diinginkan, memberikan umpan balik, dan pertukaran penghargaan atas pencapaian. Transformational leaders dipengaruhi olehmemperluas dan mengangkat tujuan bawahan dan memberikannya kepercayaan diri untuk melaksanakan tugas diluar/melebihi apa yang diharapkan.Transformational leaders menunjukkan perilaku yang kharismatik, memunculkan motivasi inspiratsional, memberikan intellectual stimulation, dan memperlakukan bawahan dengan individualized consideration.Perilaku pemimpin seperti inilah yang akan mentransformasi bawahannya, membantu bawahan untuk mencapai potensi yang maksimal serta menghasilkan kinerja yang paling baik.

Kecerdasan emosional

Kecerdasan emosi merupakan perkembangan dari tingkatan kecerdasan (intelligence) yang dimiliki seseorang, dimana dulu orang berpikir bahwa kesuksesan seseorang ditentukan hanya dilihat dari tingkat kecerdasan kognitif (IQ) saja, namun pemahaman tersebut saat ini telah berubah. Kesuksesan seseorang tidak hanya diukur atau dilihat dari tingkat IQ saja, tetapi juga ditentukan oleh seberapa besar tingkat kecerdasan emosi yang dimilikinya.

Sebagaimana yang disebutkan oleh Furnham (2005) bahwa tes IQ yang tradisional memiliki fokus yang terlalu sempit dan bahwa kecerdasan yang lain dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan di tempat kerja. Pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan emosi (emotional intelligence) dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, dan contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya. Kecerdasan Emosi menyangkut banyak aspek penting, yang agaknya semakin sulit didapatkan pada manusia modern, yaitu: empati (memahami orang lain secara mendalam), mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, serta kemampuan memecahkan masalah antar pribadi.

Dalam dunia industri dan didunia kerja, yang merupakan poin penting dari kecerdasan emosi adalah self-awareness (memahami keadaan diri), self-regulation (mengendalikan diri), motivation (mengelola faktor-faktor pendorong untuk mencapai sasaran), emphaty (menyadari perasaan dan memberi perhatian terhadap orang lain), serta social skill (mengelola hubungan dengan orang lain agar tercapai sasaran yang dikehendaki).

Istilah emotional intelligence (kecerdasan emosi) pertama kali digunakan oleh Salovey dan Mayer pada tahun 1990, yang mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk memonitor perasaan dan emosi dirinya, membedakannya, serta menggunakan informasi tersebut untuk memandu pemikiran dan tindakan seseorang. Sidle (2007, h.21) menyebutkan bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk membangkitkan atau membangunkan hati. Seseorang dituntut untuk mampu mengenali serta mengatur perasaan dan emosinya, juga terhadap orang lain. Menurut Mayer dan Salovey (1997) dalam Lenaghan,et al (2007), empat komponen kecerdasan emosi yaitu:

·         Persepsi, yaitu kemampuan untuk meyadarkan diri mengenai emosi dan mampu menunjukkan kebutuhan emosional seseorang.
·         Asimilasi, yaitu kemampuan seseorang untuk membedakan diantara emosi yang berbeda-beda yang mungkin mereka rasakan dan memprioritaskan yang mempengaruhi proses pemikiran mereka.
·          Pemahaman, yaitu kemampuan untuk memahami emosi yang rumit, seperti misalnya perasaan yang muncul bersama-sama tentang kesetiaan dan penghianatan.
·         Manajemen, yaitu kemampuan untuk menghubungkan atau tidak menghubungkan emosi, tergantung pada kegunaan pada beberapa situasi.

Pengukuran terhadap emotional intelligence dilakukan dengan dua model sebagai berikut:

v  Ability Model
Pengukuran yang paling komprehensif adalah Mayer, Salovey, dan Caruso Emotional Intelligence Test (MSCEIT).Model ini terdiri dari empat kemampuan umum emosi:mengidentifikasikan emosi,menggunakan emosi untuk berpikir, memahami emosi, dan mengatur emosi.
v  Mixed Model
Model yang sering digunakan adalah Bar-On’s Emotional Quotient Inventory (EQ-I), dimana lebih mengukur kepada kekuatan ego atau kompetensi sosial daripada kecerdasan emosi. Model yang lain adalah Emotional Competence Inventory (ECI) yang dikembangkan oleh Boyatzis pada tahun 2000. Goleman pada tahun 1995 mengembangkan kuesioner kecerdasan emosi.

Kapabilitas personal yang berpotensi secara signifikan menginformasikan kapabilitas kepemimpinan muncul dari munculnya pemahaman mengenai kecerdasan emosi (Brown & Moshavi, 2005, h. 868). Hal ini menjelaskan hubungan atau keterkaitan antara transformationalleadership dan kecerdasan emosi,dimana kecerdasan emosi akan sangat mempengaruhi bagaimana pemimpin mampu memotivasi dan menggerakkan bawahannya.

Berbagai macam penelitian telah dilakukan terkait dengan kecerdasan emosi, diantaranya yaitu penelitian mengenai hubungan antara kecerdasan emosi dan keberhasilan akademis (Nowicki dan Duke, 1992;Schutte et al, 1998; Shoda et al,1990), hubungan kecerdasan emosi dengan kinerja (Kelley dan Caplan 1993; Jordan et al, 2002; Slaski dan Cartwright, 2003, Day dan Carroll,2004), kontribusi dari kompetensi kognitif dan kecerdasan emosi terhadap kinerja (Dulewicz dan Higgs, 1998), hubungan antara kecerdasan emosi dan kepuasan kerja (Chiva dan Alegre, 2008), serta efek dari kecerdasan emosi pada kinerja dan kepuasan hidup (Law, Li, Huang, dan Wong, 2008).

Kecerdasan spiritual

Paradigma baru mengenai kecerdasan adalah kecerdasan spiritual. Zohar (2005) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan tiang penyokong IQ dan EQ. IQ dan EQ merupakan kecerdasan yang dapat dilihat (tangible), sedangkan SQ (kecerdasan spiritual) tidak demikian. Pemahaman tentang kecerdasan dan aplikasinya tergantung pada personal values masing-masing orang, motivasi untuk mengetahui lebih lanjut tentang kecerdasan spiritual, level self-awareness, serta kemampuan dan kemampuan untuk ‘let go’.Spiritualitas memiliki dampak yang signifikan terhadap kemampuan manajemen seorang pemimpin.

Kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) merupakan kemampuan untuk mengakses makna, nilai, tujuan yang tidak akan pernah hilang yang lebih tinggi, dan aspekaspek yang tanpa disadari diri serta melekatkan makna, nilai dan tujuan tersebut dalam kehidupan yang lebih baik dan kreatif. Ciri-ciri kecerdasan emosi antara lain: kemampuan untuk berpikir out of the box, kerendahan hati, dan mengakses energy yang berasal bukan dari ego. Kecerdasan spiritual merupakan ultimate intelligence seorang pemimpin.

Peran seorang pemimpin dalam organisasi sangatlah penting, yaitu sebagai model, pengarah/pemandu, dan pengawal nilai-nilai budaya dan korporat (Lynton & Thogersen, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh (Lynton & Thogersen, 2009) menunjukkan bahwa para eksekutif yang sukses di Cina dan negara-negara Barat mengembangkan kecerdasan spiritual walaupun dengan cara yang berbeda. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa ternyata kecerdasan kognitif saja tidak mampu menjamin kesuksesan seseorang, tetapi harus didukung oleh kecerdasan emosi dan spiritual.

Kecerdasan tranformasional dan perubahan organisasi

Bommer et al (2005) menyatakan bahwa penting untuk menghubungkan kepemimpinan dengan konteks perubahan organisasional yang lebih luas karena kepemimpinan mempengaruhi keikutsertaan bawahan dalam perubahan organisasional pada level individu. Kepemimpinan transformasional diartikan sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan ini bekerja menuju sasaran pada tindakan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya.
Para pemimpin secara riil harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah baru. Kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan perubahan dalam organisasi (dipertentangkan dengan kepemimpinan yang dirancang untuk memelihara status quo), serta sebagaikepemimpinan yang membutuhkan tindakan memotivasi para bawahan.

Dalam merumuskan proses perubahan, digunakan pendekatan transformasional dimana lingkungan kerja yang partisipatif memberikan peluang untuk mengembangkan kepribadian, dan keterbukaan dianggap sebagai kondisi yang melatarbelakangi proses tersebut. Namun pada prakteknya, proses perubahan itu dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan transaksional yang mekanistik dan bersifat teknikal, dimana manusia cenderung dipandang sebagai suatu entitas ekonomi yang siap untuk dimanipulasi dengan menggunakan sistem imbalan dan umpan balik negatif, dalam rangka mencapai manfaat ekonomik yang sebesarbesarnya.

Kepemimpinan yang lebih baik terjadi bila para pemimpin dapat menjalankan salah satu atau kombinasi dari empat cara ini, yaitu memberi wawasan serta kesadaran akan misi, membangkitkan kebanggaan, serta menumbuhkan sikap hormat dan kepercayaan pada para bawahannya (idealized influence-charisma); menumbuhkan ekspektasi yang tinggi dengan mengkomunikasikan tujuan-tujuan penting dengan cara yang sederhana (inspirational motivation); meningkatkan intelijensi, rasionalitas,dan pemecahan masalah secara seksama (intellectual stimulation); dan memberikan perhatian, membina, membimbing, dan melatih setiap orang secara khusus dan pribadi (individualized consideration).

Pemimpin transformasional bisa berhasil mengubah status quo dalam organisasinya dengan cara mempraktikkan perilaku yang sesuai pada setiap tahapan proses transformasi. Pemimpin transformasional cenderung untuk menciptakan kesempatan pada pengalaman kepemimpinannya, sehingga membantu dirinya dalam posisi yang sedang dijalankan.Program pengembangan dan pelatihan untuk mengembangkan kepemimpinan transformasional perlu juga diupayakan karena individu menjadi pemimpin transformasional melalui pengalaman hidupnya yang akan mampu mengembangkan karakteristik dan membangun keahlian kepemimpinan transformasionalnya.
.


Tag:

Bagikan Ini

Baca Juga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar