Paradigma Baru Reformasi Pendidikan


Oleh Drs. H. Deding Ishak Ibnu Sudja, S.H., M.M.

Ketidakberhasilan tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan penting yang hendaknya menjadi pemikiran bersama seluruh komponen masyarakat. Pertanyaan tersebut antara lain, berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan agar cita-cita masyarakat madani yang demokratis dapat dicapai? Apakah akan sama halnya dengan waktu yang dibutuhkan untuk transisi revolusi Prancis selama 50 tahun? Jika sedekian lama, berapa banyak lagi social costs dalam berbagai bentuknya yang menyengsarakan rakyat jelata yang akan dikorbankan selama masa transisi tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang kemungkinan akselarasi pembangunan masyarakat. Barangkali sejumlah pakar berpendapat bahwa akselerasi tersebut sudah dilakukan melalui perubahan-perubahan dalam bidang politik, hukum, ekonomi, hankam dan pendidikan. Setiap bidang ini memiliki program-program akselerasi perubahan sosial yang relevan agar cita-cita masyarakat madani yang demokratis tercapai. Akan tetapi seperti sudah ditegaskan di atas, keberhasilan reformasi dalam bidang-bidang tersebut hingga usianya yang kelima tahun masih belum memenuhi harapan. Jika demikian, apa yang salah atau apa yang diabadikan?

Kelemahan reformasi
Program-program reformasi Indonesiabarangkali paradigmanya masih berlandaskan pada asumsi-asumsi pembangunan yang dianut di masa Orde Baru, yaitu asumsi-asumsi pembangunan yang mengabaikan manusia sebagai subjek dan objek pembangunan. Misalnya, di awal reformasi dan juga hingga kini, masih banyak orang beranggapan bahwa jika perundang-undangan politik dan hukum kita sudah direformasi maka masyarakat kita akan segera berubah sesuai dengan cita-cita yang terkandung dalam perundang-undangan tersebut.

Faktanya ternyata tidak demikian. Pada tingkat implementasinya di lapangan banyak hambatan yang menghadang. Mengapa? Di tingkat implementasi perundang-undangan tersebut menghadapi manusia-manusia yang belum berubah. Memang, perundang-undangan tersebut diyakini dalam jangka waktu tertentu jika pelaksanaannya konsisten akan mengubah manusia-manusia Indonesia; tetapi masalahnya dalam pelaksanaannya reformasi itu melibatkan manusia-manusia yang belum mengerti reformasi dan tidak ingin mengerti reformasi karena akan merugikan dirinya jika reformasi dilakukan secara total dan konsisten.
Demikianlah, keberhasilan reformasi seperti ditunjukkan di atas telah dihadang oleh masalah manusia yang merupakan subjek dan objek reformasi. Ironisnya program reformasi kita tampaknya tidak memiliki isu yang kuat dan fundamental untuk mengatasi masalah manusia dalam reformasi ini. Isu yang menyangkut manusia ini sering diungkapkan dalam bentuk kritik-kritik budayawan kita terhadap pembangunan pada masa Orde Baru yang mengabaikan manusia, namun sekarang tetap terlupakan.

Mengapa manusia terabaikan dalam program-program reformasi Indonesia selama lima lebih tahun ini? Hal ini terjadi karena program-program reformasi lebih tertuju pada pembentukan struktur dan kelembagaan sosial yang baru, namun mengabaikan pembangunan manusia yang akan beroperasi dalam struktur dan kelembagaan sosial yang baru tersebut. Indikasinya, spiritualitas reformasi kurang atau tidak menjadi wacana dalam program-program tersebut, karena itu tidak terimplementasi dalam struktur dan institusi yang baru yang dicita-citakan tersebut.

Spiritualitas adalah bagian penting dari pembangunan manusia dan masyarakat. Perubahan manusia dan masyarakat yang sesungguhnya terjadi apabila spiritualitasnya turut berubah. Inilah yang menjadi urusan utama dan pertama pendidikan. Ironisnya reformasi pendidikan yang diluncurkan oleh Departeman Pendidikan dan dinas-dinas pendidikan kita pun sama polanya dengan reformasi dalam bidang-bidang pembangunan lain seperti bidang hukum dan politik. Reformasi yang demikian ini lebih bertumpu pada mekanisme-mekanisme, dan prosedur-prosedur baru, dan cenderung tanpa pemahaman dan penghayatan yang reformasional. Hampir semua program reformasi yang ada sekarang ini lebih berbicara tentang prosedur baru atau mekanisme baru, tanpa spiritualitas baru.

Spiritualitas adalah bagian kunci dari budaya, yang paling sulit berubah. Karena itu, suatu program reformasi dalam bidang apa pun harus pula berisi desain bagi perubahan budaya spiritual. Budaya belumlah menjadi budaya jika hanya berisi prosedur atau mekanisme baru. Budaya bukanlah seperti mesin yang tanpa penghayatan. Budaya sebagai operating system harus menyertakan spiritualitas. Budaya bukan sebuah lingkungan teknologis yang sistem operasinya sepenuhnya bersifat mekanistis.

Reformasi pendidikan
Sehubungan dengan penghambat utama reformasi ialah manusia, dan juga karena subjek dan objek reformasi adalah manusia, maka dibutuhkan paradigma reformasi yang langsung menangani masalah manusia ini. Paradigma ini penulis sebut paradigma reformasi pendidikan, sejalan dengan usulan Pestalozzi, tokoh sejarah pendidikan Eropa dan penyantun sejumlah panti yatim piatu, pada abad ke-18 di Swiss yang ketika itu mengalami reformasi dari monarki menjadi republik sebagai dampak revolusi Prancis.

Pestalozzi berpendapat bahwa reformasi masyarakatnya tidak akan berhasil jika hanya bertumpu pada reformasi politik, hukum, dan ekonomi; dan mengabadikan reformasi pendidikan. Tetapi apa yang dimaksud dengan reformasi pendidikan itu?

Pendidikan secara universal berarti upaya pengubahan manusia menjadi lebih cerdas, yang dalam konsep filsafat pendidikan Indonesia dinyatakan bahwa pendidikan ialah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun kecerdasan di sini jangan ditafsirkan sebagai kecerdasan kognitif atau intelektual belaka, tapi kecerdasan manusia yang seutuhnya, kecerdasan total manusia dalam berbagai bidang kehidupannya. Berdasarkan hal ini kita dapat berkata mengenai kehidupan ekonomi bangsa yang cerdas, kehidupan religius bangsa yang cerdas, kehidupan politik bangsa yang cerdas, dan seterusnya. Kehidupan bangsa yang cerdas ini esensinya adalah manusia-manusia individual, personal yang cerdas.

Paradigma reformasi pendidikan berurusan langsung dengan manusia sebagai subjek dan objek reformasi. Masalahnya ialah bilamana suatu reformasi itu dikatakan langsung berurusan dengan manusianya? Sesuai dengan filsafat pendidikan Indonesia yang bertujuan membangun kecerdasan manusia yang seutuhnya, dan filsafat besar lainnya, maka dapat dikatakan bahwa suatu reformasi dikatakan berurusan secara langsung dengan manusia ialah ketika reformasi ditujukan untuk spiritualitas manusia.

Spiritualitas adalah unsur fundamental manusia. Spiritualitas reformasi, antara lain ialah gagasan-gagasan reformasi, sudah terkandung dalam kebijakan-kebijakan reformasi yang dihasilkan oleh pemerintahan reformasi kita; namun spiritualitas reformasi ini lebih bekerja pada tataran struktural dan institusional masyarakat dan kurang pada tatarannya yang individual, hingga daya dorongnya lemah atau lamban bagi perubahan manusia. Unsur spiritualitas ialah lebih merupakan unsur manusia sebagai makhluk individual, personal, dan subjektif daripada manusia sebagai makhluk sosial. Demikianlah latar belakang mengapa diperlukannya paradigma reformasi pendidikan ini.

Pendidikan dalam paradigma reformasi yang baru ini diartikan secara luas atau kultural dalam pengertiannya yang luas. Pendidikan dalam arti luas ialah seluruh proses kehidupan yang mengembangkan budaya masyarakat manusia, yang meningkatkan martabat manusia atau mempercerdas kehidupan bangsa; sebaliknya proses pembusukan budaya, martabat dan kecerdasan manusia tidaklah dapat disebut pendidikan, tetapi adalah demagogi. Jadi, jika banyak dari warga bangsa ini adalah koruptor, bangsa ini adalah demagog korupsi, seperti Hitler yang demagog rasialisme.

Pendidikan adalah seluruh proses kehidupan, dan proses kehidupan yang terencana terletak di tangan negara. Dari segi ini negara berperan sebagai the great educator,sebuah istilah yang dipinjam dari Gramsci. Atau dari perspektif budaya, pendidikan adalah proses perubahan budaya.

Sehubungan dengan hal di atas, agar reformasi lebih berhasil, maka paradigma reformasi hendaknya berlandaskan pada paradigma baru ini. Paradigma baru ini lebih bertumpu pada spiritualitas manusia yang hidup dalam bentuk keyakinan, cita-cita dan jiwa setiap individu. Paradigma reformasi yang baru ini barangkali lebih dicontohkan oleh lembaga pendidikan yang berbasis "manajemen qalbu" (Daarut Tauhiid) atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang mengutamakan akhlak, watak atau budi pekerti. Spiritualitas yang lebih merupakan faktor pendorong yang pokok pada suatu perubahan sosial, di samping faktor-faktor lainnya.

Masalahnya spiritualitas ini diabaikan. Orang-orang menganggap bahwa iptek dan ekonomilah yang telah menjadi faktor pokok perubahan sosial. Mereka lupa bahwa kemajuan iptek dan ekonomi di Barat didorong oleh semangat aufklarung ataupencerahan yang humanistis rasional-sekuler dan semangat Protestan (kapitalisme), di samping oleh faktor-faktor lainnya.

”The great educator”
Penciptaanpendidik agung (the great educator) bersifat penting karena tingkat perkembangan masyarakat kita dari suatu segi membutuhkannya. Bukti begitu jelas bahwa partisipasi masyarakat kita dalam pembangunan dan penegakan cita-cita reformasi begitu lemah. Daya partisipasi mereka masih rendah. Dalam dunia pendidikan sudah menjadi asumsi bahwa ketika pendidikan menghadapi peserta didik yang belum dewasa si pendidik harus meningkatkan peranannya. Sebaliknya, ketika menghadapi peseta didik yang sudah dewasa peranannya mengurang, lebih sebagai fasilitator.

Peranan yang hendaknya turut dimainkan ketika menyelenggarakan suatu program reformasi sekurang-kurangnya ada dua hal, yaitu sebagai figur teladan dalam cita-cita reformasi dan dinamisator interaksi yang pedagogis (mendidik). Inilah figur pedagog sepanjang zaman. Siapa mereka itu untuk Indonesia saat ini? Hemat penulis, mereka itu hendaknya para aparat pemerintahan mulai dari presiden hingga ke lapisan birokrasi yang berikutnya dan elite sosial lainnya.*** 
Penulis anggota DPR RI, kandidat doktor Unpad Bandung.

.


Tag:

Bagikan Ini

Baca Juga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar