Abstrak
Pendidikan sangat berperan dalam pembentukan karakter bangsa. Namun selama ini, Indonesia dihadapkan dengan berbagai masalah pendidikan khususnya di daerah 3 T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Jika pendidikan di daerah 3T tidak terlaksana dengan baik, maka hal itu akan berpengaruh pada keadaan Indonesia di masa yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dalam pelaksanaan pendidikan baik dalam perspektif budaya, ekonomi dan politik.
A.PENDAHULUAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas, kondisi geografis maupun sosiokultural sangat heterogen, yang pada beberapa wilayah kondisi pendidikannya masih mengalami permasalahan, terutama di daerah yang terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).
Permasalahan penyelenggaraan pendidikan di daerah 3T antara lain: kekurangan jumlah (sortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi dibawah standar (under qualification), kurang kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampuh (miss match)[2].
Permasalahan lain dalam penyelenggaraan pendidikan di area 3 T adalah angka putus sekolah yang relatif tinggi, angka partisipasi sekolah masih rendah, sarana dan prasarana yang belum memadai, dan infrastruktur untuk kemudahan akses dalam mengikuti pendidikan masih sangat kurang.
Permasalahan-permasalahan di atas perlu diatasi karena hal tersebut terjadi di bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kewajiban negara dalam bidang pendidikan adalah menyelenggarakan pendidikan yang merata dan berkualitas bagi semua warga negara. Oleh karena itu, pembahasan dan solusi untuk pendidikan di 3T harus jelas dan tuntas.
Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini bertujuan untuk melihat pendidikan dalam perspektif politik, ekonomi, sosial, dan budaya, khususnya dalam melihat pendidikan di area terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Lebih spesifik tujuan makalah ini yaitu: memahami kedudukan strategis pendidikan nasional dalam proses pembangunan, memahami peran pendidikan dalam pembangunan kebudayaan nasional, memahami peran pendidikan dalam membangun ekonomi, memahami pengaruh kondisi politik terhadap pendidikan dan peranan pendidikan dalam membangun kehidupansosial, ekonomi, dan budaya, dan mendeskripsikan beberapa daerah 3T dan menjelaskan solusi dari permasalahan pendidikan di daerah 3T.
B. PERAN SRATEGIS PENDIDIKAN
Jacques Delors (1996) menyebutkan bahwa pendidikan merupakan alat yang tidak bisa dipisahkan dalam upaya untuk mewujudkan perdamaian sejati, kebebasan, dan keadilan sosial. Pendidikan mempunyai peran fundamental dalam kemajuan perseorangan dan sosial. Pendidikan walaupun bukan merupakan sebuah obat ajaib atau formula magic pembuka pintu dunia untuk kehidupan yang ideal, namun pendidikan sangat bermakna untuk menumbuhkan kehidupan yang lebih manusiawi dan dapat mengurangi kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ketertindasan dan perang.[3]Berdasarkan pendapat di atas, jelaslah bahwa pendidikan berperan strategis dalam memajukan sebuah bangsa.
Soedijarto (2007) mencatat bahwa para founding father sudah menyadari peran strategis pendidikan dalam pembangunan. Hal tersebut terbukti dengan dimasukkannya pasal pendidikan secara khusus ke dalam UUD 1945. Menurut Soedijarto dimasukkannya pendidikan dalam UUD 1945 karena para founding father menyadari ketika abad ke-17 Eropa masuk modernisasi melalui gerakan renaisancesedangkan indonesia sebaliknya masuk era kegelapan yaitu penhjajahan selama hampir 350 tahun. Karena itu kehidupan sebagian besar masyarakat indonesia belum tersentuh oleh peradaban modern. Ketika Indonesia merdeka 90% rakyat indonesia buta huruf dan sisanya berpendidikan sekolah desa (3 tahun pendidikan dengan bahasa daerah dan aksara daerah) atau sekolah nomor dua (menggunakan tulisan latin dan bahasa melayu).Oleh karena itu para pendiri republik memfungsikan negara Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.[4]
Walaupun pendidikan itu sangat penting dan para pendiri republik menyadarinya, namun kualitas manusia Indonesia masih rendah. Hal ini terjadi karena ketidakmampuan dalam meningkatkan daya saing sumber daya manusia (SDM) Indonesia melalui pendidikan bermutu. Ketidakmampuan dalam menyelenggarakan pendidikan bermutu tersebut menyebabkan semakin terpuruknya posisi Indonesia dalam kancah persaingan global. Menurut catatan UNDP tahun 2006, Human Development Index (HDI) Indonesia hanya menduduki ranking 69 dari 104 negara. Adapun tahun 2007, menempatkan Indonesia berada pada urutan ke-108 dari 177 negara. Penilaian yang dilakukan oleh lembaga kependudukan dunia/UNDP tersebut menempatkan Indonesia di posisi yang jauh lebih rendah dari Malaysia, Filipina, Vietnam, Kamboja, bahkan Laos. Sementara berdasarkan Global Competitiveness Indeks tahun 2008 menurut sumber Bank Dunia 2009, Indonesia berada di peringkat 54 dari 134 negara. Posisi ini masih di bawah lima negara ASEAN yang disebut di atas. Menurut The 2006 Global Economic Forum on Global Competitiveness Index (GCI) yang di-relese WEF tersebut, daya saing global Indonesia berada pada posisi yang terpuruk. Untuk wilayah Asia, macan asia Taiwan dan Singapore menempati urutan ke-5 dan 6. Sementara Jepang, rangking ke-12. China dan India rangking 49 dan 50. Pada periode yang sama, kualitas sistem pendidikan Indonesia juga berada pada peringkat 23. Di mata WEF, Indonesia disejajarkan dengan Gambia, masuk dalam kategori Negara low-income countries.[5]
Menyadari masih rendahnya mutu manusia Indonesia, maka pemerintah sesuai UUD 1945 harus melakukan langkah-langkah berikut:
1. Membantu putra-putri terbaik bangsa untuk mengikuti pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, bukan hanya membebaskan mereka dari membayar SPP, tetapi memberikan beasiswa kepada putra-putri bangsa dimanapun untuk mengikuti pendidikan menengah dan tinggi;
2. Membiayai sepenuhnya penyelenggaraan pendidikan dasar yang wajib diikuti oleh setiap warga negara usia sekolah. Ini berarti bahwa pemerintah tidak hanya membebaskan mereka dari membayar SPP, tetapi harus membantu anak usia sekolah memperoleh pendidikan yang bermutu;
3. Pemerintah wajib mengupayakan agar semua sekolah di Indonesia, terutama sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah, dapat diselenggarakan sesuai dengan standar yang secara nasional ditentukan oleh pemerintah baik tenaga gurunya, sarana dan prasarana, kurikulum dan proses pembelajaran dan alat-alat, dan media pendidikan terutama buku murid-buku guru;
4. Pemerintah wajib membangun universitas terutama universitas negeri, agar dapat berperan menyiapkan sarjana yang bermutu, menghasilkan IPTEK melalui kegiatan penelitiannya dan dapat ikut berperan dalam proses pembangunan masyarakat, negara, bangsa sebagai wujut dari upaya melaksanakan tanggung jawab konstitusional sebagai tertulis dalam pasal 31 ayat (5) UUD 1945 yaitu memajukan IPTEK.
C. PENDIDIKAN DAN BUDAYA
Pendidikan berperan strategis dalam pengembangan budaya. Akan menjadi apa sebuah bangsa sangat tergantung pada pendidikan yang mereka lakukan. Ketika Amerika merasa kalah bersaing dengan Uni Soviet, maka bangsa Amerika mempertanyakan sistem pendidikan mereka: What’s wrong with the American class room? Ketika Jepang kalah dalam perang dunia kedua, maka Jepang memulai bangkit dari kekalahan dengan membangun pendidikan. Contoh dari Korea Selatan, Malaysia, dan Singapura juga relatif sama bahwa jika ingin maju maka nomor satukan pendidikan. Begitu pun ketika bangsa ini ingin mengembangkan budaya nasional, maka tidak ada pilihan lain kecuali memperkuat pendidikan untuk pengembangan budaya.
Budaya menurut Talcott Parsons at all (1951) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk yaitu (1) sistem kepercayaan yaitu sesuatu yang secara kognitif dianggap paling unggul (a primacy cognitive of interest): (2) sistem simbolisasi ekspresi, seperti bentuk-bentuk seni dan gaya hidup; dan (3) sistem orientasi terhadap nilai-nilai, yaitu kemampuan memilih berbagai alternative sebelum melakukan tindakan[6]. Dengan memperhatikan pendapat Parsons tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya terdiri dari sistem berpikir, bersikap dan bertindak.
Dalam konteks pembangunan budaya di Indonesia, budaya yang perlu dikembangkan melalui lembaga pendidikan yaitu mengubah cara-cara tradisional menjadi moderen, mengubah berpikir irasional menjadi rasional, mengubah dari masyarakat yang belum cerdas menjadi cerdas, dan mengubah cara hidup yang tidak demokratis menjadi demokratis.
Harold Lasswell seperti dikutip oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba (1965) menjelaskan beberapa karakteristik masyarakat demokrasi yaitu: (1) an “open ego” yaitu prilaku membuka diri (inklusif) dan hangat terhadap sesama manusia, (2) kapasitas untuk berbagi nilai-nilai dengan sesama, (3) berorientasi pada nilai yang beragam, (4) percaya dan yakin kepada kemampuan manusia dan lingkungannya, dan (5) bebas dari rasa cemas dan takut.[7]
Dalam UU SISDIKNAS nomor 20 tahun 2003 BAB II pasal (3) menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
David MacClelland merumuskan orientasi budaya untuk masa depan yaitu: (1) berorientasi ke depan (future orientation); (2) hasrat untuk mengeksplorasi lingkungan (efficacy); dan (3) orientasi terhadap hasil kerja (achievement orientation). Sedangkan Kuntjaraningrat menyebutkan orientasi budaya yang diperlukan di masa datang yaitu budaya berorientasi ke masa depan, berorientasi terhadap perubahan, dan kemampuan untuk belajar terus menerus.[8]
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpukan bahwa seharusnya pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia mendukung penciptaan budaya baru yang lebih responsif dan adaptif dengan lingkungan yang terus berubah. Namun kenyataanya, pendidikan Indonesia masih jauh dari menghasilkan manusia berbudaya seperti disebutkan di atas. Oleh karena itu, tidak ada pilihan kecuali melakukan reformasi yang bermakna bagi berperannya lembaga pendidikan sebagai lembaga sosialisasi dan pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, sikap, watak, dan perilaku manusia Indonesia dalam mengarungi abad globalisasi. Konsekuensi dilaksanakannya reformasi tersebut adalah tersedianya infra struktur dan fasilitas pendidikan yang memadai serta tersedianya tenaga kependidikan yang berjiwa pendidik dan profesional dengan dukungan sistem evaluasi yang relevan bagi tumbuh dan berkembangnya kemampuan, nilai, sikap, watak, dan perilaku manusia Indonesia yang dicita-citakan.[9]
Kenapa budaya yang terlihat dari hasil pendidikan kita cenderung menjauh dari yang dicita-citakan, seperti kecenderungan untuk membiarkan perilaku tidak jujur, membiarkan pelanggaran, membiarkan ketidakdisiplinan dan ketidakadilan, dan membiarkan rasa takut terus berkembang. Adanya kecenderungan-kecenderungan tersebut diduga karena praktek pendidikan masih jauh dari yang seharusnya dilakukan untuk menghasilkan budaya baru seperti berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
D. PENDIDIKAN DAN EKONOMI
Philip Kotler (1997) berpendapat bahwa ada empat faktor yang berpengaruh terhadap kemajuan sebuah bangsa yaitu (1) Natural Capital (sumber daya alam) seperti tanah, mineral, tambang, air, dan lain-lain, (2) Physical Capital (modal fisik) seperti mesin-mesin, bangunan, dan infrastruktur, (3) Human Capital (SDM) yaitu nilai produktivitas manusia seperti kreativitas, inovasi, dan lain-lain, (4) Social Capital (modal sosial) seperti kualits keluarga, komunitas, organisasi masyarakat, yang menjadi perekat hubungan sosial.[10]
Dari keempat modal tersebut SDM menurut Frederick Harbison merupakan modal paling utama karena SDM yang berkualitas akan mampu mengelola dan memobilisasi dana, mengembangkan teknologi, memproduksi barang dan jasa, dan melakukan aktivitas perdagangan. Oleh karena itu, jika suatu negara tidak berhasil dalam mengembangkan SDM maka negara tersebut tidak akan membuat apapun, apakah itu membuat sistem politik yang moderen, menumbuhkan nasionalisme dan membangun masyarakat yang sejahtera[11]. Maka untuk mencapai kemajuan maka pemberdayaan SDM melalui pendidikan harus menjadi pilihan utama dan pertama. Hal tersebut terbukti dibeberapa negara bahwa negara maju memiliki pendidikan yang maju pula.
Pendidikan memiliki peran penting terhadap kemajuan ekonomi. Laporan Bank Dunia yang berjudul The East Asean Miracle: Economic Growth and Public Policy (1993)mengkaji secara analitis tentang pembangunan negara-negara di dunia. Dari kajian itu ditemukan 8 negara Asia Timur yang mempunyai prestasi sangat mengesankan dalam laju pertumbuhan ekonominya melebihi apa yang dicapai oleh negara-negara lain di dunia. Sedemikian tinggi dan konsistennya prestasi pembangunan pada 8 negara itu sehingga disebut sebagai negara yang membuat keajaiban. Ke-8 negara tersebut oleh Bank Dunia disebut High Performing Asean Economics (HPAEs) terdiri dari peringkat atas “empat macan asia” (Korea Selatan, Taiwan, Cina, Hongkong, Singapura)dan tiga negara yang digolongkan sebagai Newly Industrializing Economies (NIESs) yaitu (Indonesia, Malaysia, dan Thailand) perbandingannya bukan hanya dalam lingkup ASIA tetapi di seluruh dunia. Sejak tahun 1960 pertumbuhan ekonomi di 8 negara ini dua kali lebih cepat dari negara Asia Timur lainnya, tiga kali lebih cepat dari negara-negara Amerika Latin dan Asia Selatan, dan lima kali lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara Afrika. Bahkan dibandingkan dengan negara-negara industri lain dan negara-negara kaya penghasil minyak di Timur Tengah dan Afrika Utara, tingkat pertumbuhan yang dicapai delapan HPAEs itu masih lebih tinggi.Dari laporan tersebut ternyata pendidikan mempunyai kontribusi yang luar biasa untuk memacu efisiensi dan produktifitas berbagai sektor pembangunan sehinggaberpengaruh secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pendidikan yang hampir sama yang diambil oleh masing-masing dari delapan negara ini adalah sebagai berikut: education policies that focused on primary and secondary school generatif, rapid, increase in labour forces skills. Di Indonesia kebijaksanaan yang dimaksud adalah wajib belajar pendidikan dasar (Universal Basic Organization) mulai dari perluasan SD sejak awal tahun 70an dan di SLTP pada akhir tahun 1980an. Perluasan pendidikan dasar ini kemudian diikuti oleh perluasan kesempatan pendidikan menengah dan tinggi.[12]
Pendidikan mempengaruhi secara penuh pertumbuhan ekonomi suatu negara (daerah). Hal ini bukan saja karena pendidikan akan berpengaruh terhadap produktivitas, tetapi juga akan berpengaruh fertilitas masyarakat. Pendidikan dapat menjadikan sumber daya manusia lebih cepat mengerti dan siap dalam menghadapi perubahan dan pembangunan suatu negara.Hampir semua negara berkembang menghadapi masalah kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang diakibatkan oleh rendahnya mutu pendidikan. Hal ini ditunjukkan oleh adanya tingkat melek huruf yang rendah, pemerataan pendidikan yang rendah, serta standar proses pendidikan yang relatif kurang memenuhi syarat. Oleh karena itu, harus dilakukan perbaikan pendidikan karena perbaikan pendidikan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). SDM yang berkualitas dapat memberikan multiplier efect terhadap pembangunan suatu negara, khsususnya pembangunan bidang ekonomi.
Pendidikan merupakan bentuk investasi sumber daya manusia yang harus lebih diprioritaskan sejajar dengan investasi modal fisik karena pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Di mana nilai balik dari investasi pendidikan (return on investment = ROI) tidak dapat langsung dinikmati oleh investor saat ini, melainkan akan dinikmati di masa yang akan datang.Mengingat modal fisik, tenaga kerja (SDM), dan kemajuan teknologi adalah tiga faktor pokok masukan (input) dalam produksi pendapatan nasional. Maka semakin besar jumlah tenaga kerja (yang berarti laju pertumbuhan penduduk tinggi) semakin besar pendapatan nasional dan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi.
Pengaruh pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi,isu mengenai sumber daya manusia (human capital) sebagai input pembangunan ekonomi sebenarnya telah dimunculkan oleh Adam Smith pada tahun 1776 yang mencoba menjelaskan penyebab kesejahteraan suatu negara, dengan mengisolasi dua faktor, yaitu; 1) pentingnya skala ekonomi; dan 2) pembentukan keahlian dan kualitas manusia. Faktor yang kedua inilah yang sampai saat ini telah menjadi isu utama tentang pentingnya pendidikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Hubungan investasi sumber daya manusia (pendidikan) dengan pertumbuhan ekonomi merupakan dua mata rantai. Namun demikian, pertumbuhan tidak akan bisa tumbuh dengan baik walaupun peningkatan mutu pendidikan atau mutu sumber daya manusia dilakukan, jika tidak ada program yang jelas tentang peningkatan mutu pendidikan dan program ekonomi yang jelas.Studi yang dilakukan Dale Jorgenson et al(1987)pada ekonomi Amerika Serikat dengan rentang waktu 1948-79 misalnya menunjukkan bahwa 46 persen pertumbuhan ekonomi adalah disebabkan pembentukan modal (capital formation), 31 persen disebabkan pertumbuhan tenaga kerja dan modal manusia serta 24 persen disebabkan kemajuan teknologi.
Ace Suryadi (2001) menegaskan dari hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai kesadaran sosial politik dan budaya, serta memacu penguasaan dan pendayagunaan teknologi untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan sosial. Meski modal manusia memegang peranan penting dalam pertumbuhan penduduk, para ahli mulai dari ekonomi, politik, sosiologi bahkan engineeringlebih menaruh prioritas pada faktor modal fisik dan kemajuan teknologi. Ini beralasan karena melihat data AS misalnya, total kombinasi kedua faktor ini menyumbang sekitar 65 persen pertumbuhan ekonomi AS pada periode 1948-79. Namun, sesungguhnya faktor teknologi dan modal fisik tidak independen dari faktor manusia. Suatu bangsa dapat mewujudkan kemajuan teknologi, termasuk ilmu pengetahuan dan manajemen, serta modal fisik seperti bangunan dan peralatan mesin-mesin hanya jika negara tersebut memiliki modal manusia yang kuat dan berkualitas. Apabila demikian, secara tidak langsung kontribusi faktor modal manusia dalam pertumbuhan penduduk seharusnya lebih tinggi dari angka 31 persen.
Perhatian terhadap faktor manusia menjadi sentral akhir-akhir ini berkaitan dengan perkembangan dalam ilmu ekonomi pembangunan dan sosiologi. Para ahli di kedua bidang tersebut umumnya sepakat pada satu hal yakni modal manusia berperan secara signifikan, bahkan lebih penting daripada faktor teknologi, dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Modal manusia tersebut tidak hanya menyangkut kuantitas, tetapi yang jauh lebih penting adalah dari segi kualitas.Buku terakhir William Schweke, Smart Money: Education and Economic Development (2004), sekali lagi memberi afirmasi atas tesis ilmiah para scholarsterdahulu, bahwa pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.Karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah.
Dari berbagai studi tersebut sangat jelas dapat disimpulkan bahwa pendidikan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi melalui berkembangnya kesempatan untuk meningkatkan kesehatan, pengetahuan, dan ketarmpilan, keahlian, serta wawasan mereka agar mampu lebih bekerja secara produktif, baik secara perorangan maupun kelompok. Implikasinya, semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan semakin berkualitas. Dalam kaitannya dengan perekonomian secara umum (nasional), semakin tinggi kualitas hidup suatu bangsa, semakin tinggi tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa tersebut.
E. PENDIDIKAN DAN POLITIK
Politik sangat berpengaruh pada pendidikan dan pendidikan berpengaruh terhadap pembangunan politik. Pendidikan dan politik, keduanya merupakan elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat disuatu Negara. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik disuatu Negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikannya. Jadi antara pendidikan dan politik itu mempunyai hubungan erat dan dinamis. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.
Ketika ada tuntutan agar pendidikan dituntut berperan lebih banyak dalam kemajuan ekonomi, sosial dan budaya khususnya untuk mengentaskan kemiskinan, maka sistem politik disuatu negara melakukaan respon dengan cara yang berbeda-beda. Tidak mungkin pendidikan dapat melakukan peran lebih baik tanpa dukungan politik yang secara konsisten membangun masa depan yang lebih baik dengan cara melakukan reformasi, memilih pilihan prioritas dan terbaik dan menjamin terjadinya keterlibatan debat publik dalam pembiayaan pendidikan.
Delors berpendapat bahwa memilih pendidikan sama halnya dengan memilih jenis masyarakat (choice of education means choice of society). Delors melihat tuntutan peningkatan pendidikan sudah direspon positif oleh sistem poitik di negara-negara berkembang namun mereka berhadapan dengan berbagai keterbatasan sumber daya.[13]
Salah satu perdebatan politis dalam bidang keterbatasan sumber daya adalah penentuan alokasi dana untuk pendidikan. Menurut Philip H. Coombs selama ini anggaran terbesar dari negara-negara di dunia terserap pada bidang pertahanan (militer). Oleh karena itu ia berpendapat harus terjadi reallocationyang lebih mengutamakan pendidikan.[14]Dalam konteks Negara Indonesia, kebijakan alokasi anggaran pendidikan sudah mengalami kemajuan dengan dicantumkannya ketentuan dalam UUD 1945 ayat (4) pasal 31 tentang kewajiban diadakannya anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN/APBD ketika terjadi amandemen UUD 1945 yangterjadi tahun 2003.
Perdebatan politik penyelenggaraan pendidikan lainnya yaitu mengenai sentralisasi atau desentralisasi pendidikan. Seiring dengan tuntutan global dan kebijakan otonomi daerah tahun 1999, Indonesia memilih menerapkan kebijakan otonomi pendidikan. Sejauh ini pelaksanaan desentralisasi pendidikan masih jauh dari harapan karena para pejabat politik daerah menunggangi pendidikan. Ada beberapa pejabat pendidikan di daerah yang ditunjuk pejabat daerah karena balas jasa menjadi tim sukses pemilu kepala daerah. Keadaan ini semakin memperkeruh pelaksanaan desentralisasi pendidikan.
Henry M. Levin (1976)menganalisis pengaruh politik terhadap pendidikan yaitu: (1) politik berpengaruh pada aktivitas pendidikan dalam penciptaan nilai-nilai dan harapan-harapan warga negara seperti apa yang dibutuhkan oleh negara, (2) politik berpengaruh pada anggaran pendidikan, (3) berpengaruh terhadap sumberdaya pendidikan seperti gaji guru, sarana prasarana penunjang kegiatan belajar, dan pelatihan guru, (4) Sistem persekolahan seperti struktur sekolah, sistem penghargaan terhadap guru, dan sistem penerimaan siswa, (5) Mutu lulusan yang dilihat dari bagaimana lulusan pendidikan berperilaku politik, berperilaku budaya, berperilaku ekonomi dan berperilaku sosial.[15]
Adapun pengaruh pendidikan terhadap pembangunan politik yaitu bahwa akhir dari proses pendidikan diharapkan mampu mempengaruhi kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Menurut Levin, dalam konteks tersebut pendidikan berperan sangat penting karena pendidikan mampu menyiapkan SDM yang diharapkan. Misalnya, sistem ekonomi akan berjalan dengan baik jika ditunjang dengan SDM yang berkualitas, begitu juga dengan sistem politik, sosial dan budaya hanya mungkin berjalan jika ditunjang dengan SDM yang berkualitas.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa politik dapat mempengaruhi pendidikan dan pendidikan dapat mempengaruhi kehidupan politik. Namun sejauh mana pengaruh pendidikan pada pembangunan politik sangat tergantung pada bagaimana pendidikan dipraktekan dalam proses pendidikan. Jika proses pendidikannya baik, maka hasil (output) dari pendidikan juga akan baik dan berpengaruh pada kehidupan, bukan hanya kehidupan politik tetapi kehidupan sosial, ekonomi dan budaya bahkan ilmu pengetahuan.
Pendidikan 3T
Salah satu tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun dalam kenyataannya, pendidikan yang merupakan akses utama untuk mencapai tujuan tersebut masih sangat minim dan asing terutama di daerah-daerah pelosok negara Republik Indonesia di daerah perbatasan dan daerah yang belum terjamah teknologi komunikasi maupun transportasi.
KementerianPembangunan Daerah Tertinggal (PDT) mengklasifikasikan daerah 3T yaitu daerah tertinggal, terluar dan terdalam. Dikategorikan tertinggal yaitu dilihat dari segi akses. Terpencil yaitu dari segi letak geografis danlamban dari segi pertumbuhan. Sedangkan terluar dari segi jangkauan dari pusat layanan.
Berbicara mengenai pendidikan, di kawasan perbatasan tersebut memerlukan lebih banyak perhatian dan sentuhan. Letak geografisnya sangat jauh dari ibu kota provinsi dan kabupaten, menjadi alasan mengapapendidikan di sana kurang perhatian dan sentuhan. Alasan lain adalah belum ada akses jalan darat yang memadai, saluran komunikasi melalui telepon seluler maupun kabel tidak tersedia, dan belum terjangkau aliran listrik.
Kondisi geografis di daerah perbatasan menyulitkan banyak anak mendapatkan akses pendidikan. Di beberapa perkampungan atau dusun di perbatasan Kalimantan Barat misalnya, anak-anak harus berjalan kaki 1-2 jam sejauh hingga lebih dari 6 km melintasi hutan dan menuruni bukit untuk mendapatkan pendidikan di sekolah setiap hari. Kondisi sulit yang dihadapi anak di perbatasan juga dialami oleh para guru, terutama para guru honorer yang kebanyakan honor komite. Paraguru tersebut banyak yang harus mengajar 2-3 kelas sekaligus. Hal ini karena kekurangan tenaga guru di sekolah perbatasan.
Kondisi yang dialami oleh para siswa dan guru di daerah-daerah perbatasan yang pada hakikatnya merupakan daerah terdepan sebagai pintu gerbang untuk memasuki Indonesia. Tentu saja menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mencari solusinya, agar pendidikan di sana memiliki kualitas yang sederajad dengan daerah lain yang letak geografisnya lebih menguntungkan.
Pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota kini sudah menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan di kawasan 3T tersebut. Kita patut khawatir terjadi dampak buruk jika pendidikan di sana kurang diperhatikan, misalnya pengikisan nasionalisme yang bukan tidak mungkin akan mengancam kedaulatan bangsa.
Kemendikbud mengidentifikasi sekolahsekolah di daerah 3T dengan mengacu pada daftar wilayah yang dikategorikan oleh Kementerian PDT tersebut. Kemudian, daftar sekolah dari data pokok pendidikan (Dapodik) yang berada di wilayah 3T dikofirmasikan kepada pemda kabupaten yang bersangkutan untuk kemudian direkomendasikan sebagai sekolah-sekolah penerima program bantuan 3T. Konfirmasi silang ini dilakukan untuk mengecek apakah sekolah-sekolah yang terdata pada Dapodik dan berada di daerah 3T benar-benar sesuai dengan sasaran program. Berikut adalah daftar 3T yang merupakan sasaran program Sarjana Mengajar (SM) 3T 2012[16]:
1. Provinsi Aceh:
a. Kabupaten Simeulue
b. Kabupaten Aceh Singkil
c. Kabupaten Aceh Selatan
d. Kabupaten Aceh Timur
e. Kabupaten Aceh Barat
f. Kabupaten Aceh Besar
g. Kabupaten Gayo Lues
h. Kabupaten Pidie Jaya.
2. Provinsi Nusa Tenggara Timur, antara lain:
a. Kabupaten Sumba Timur
b. Kabupaten Kupang
c. Kabupaten Lembata
d. Kabupaten Flores Timur
e. Kabupaten Ende
f. Kabupaten Ngada
g. Kabupaten Alor
h. Kabupaten Manggarai
i. Kabupaten Rote Ndao
j. Kabupaten Manggarai Timur
3. Provinsi Su/aWesi Ltafai
a. Kabupaten Talaud
b. Kabupaten Sangihe
c. Kabupaten Siau Tagulandang Biaro
4. Provinsi Papua
a. Kabupaten Biak Numfor
b. Kabupaten Waropen
5. Provinsi Papua Barat
a. Kabupaten Manokwari
b. Kabupaten Raja Ampat
c. Kabupaten Teluk Bintuni
d. Kabupaten Sorong
6. Provinsi Kepulauan Riau
a. Kabupaten Natuna
b. Kabupaten Kepalauan Anambas
7. Kalimantan Barat Kabupaten Sanggau
8. Provinsi Kalimantan Timur
a. Kabupaten Malinau
b. Kabupaten Nunukan
c. Kabupaten Kutai Barat
Setidaknya ada delapan langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam membangun pendidikan berkelanjutan di wilayah 3T. Yaitu Pertama, membangun sarana danprasarana pendukung pendidikan, seperti memperbaiki gedung sekolah yang sudah rusak dan fasilitas pembelajaran lainnya. Kedua, memenuhi kebutuhan guru. Ketiga, meningkatkan kesejahteraan guru dengan memberikan insentif yang layak, selain gaji. Keempat membuka akses komunikasi yang layak, seperti penyediaan transportasi yang memadai, dan komunikasi lisan yang dapat diakses melalui telepon seluler/telepon kabel. Kelima, meningkatkan kualitas guru melalui pelatihan-pelatihan agar tercipta pembelajaran yang efektif. Keenam,mengembangkan kurikulum yang berkearifan lokal, sehingga sesuai untuk diterapkan di daerah perbatasan. Ketujuh,menuntaskan buta aksara. Dan kedelapan, batasi pembangunan unit sekolah baru, cukup sekolah yang ada diberi asrama atau sekolah berasrama.
Menurut Muhammad Nuh pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2013 mengemukakan bahwa pemerintah pusat dan daerah bersama-sama masyarakat telah berusaha memenuhi amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pembangunan sekolah-sekolah di seluruh Indonesia termasuk di daerah 3T untuk itu pemerintah terus menerus menyiapkan ketersediaan satuan pendidikan yang layak termasuk di dalamnya mengirim guru melalui program Sarjanaa Mendidik (SM-3T). Dari sisi keterjangkauan pemerintah menyiapkan anggaran 7,8 trilyun untuk bantuan siswa miskin (BSM). Untuk Papua pemerintah melaksanakan program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK)[17].
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan kunci kemajuan sebuah bangsa, oleh karena itu apapun kendala dan hambatanya maka pendidikan harus dilakukan secara bermutu di semua polosok penjuru tanah air. Adanya upaya dari pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan khususnya di daerah 3T perlu diapresiasi dan terus ditingkatkan agar Indonesia menjadi negara maju dan dapat bersaing di tengah gelombang globalisasi.
Pendidikan dan Karakter Bangsa
Memperhatikan peran strategis pendidikan baik dalam perspektif pembangunan budaya, ekonomi maupun politik, maka jelaslah bahwa pendidikan sesungguhnya merupakan sebuah alat dalam pembentukan karakter sebuah bangsa. Bangsa yang ingin maju, harus melakukan upaya pendidikan yang sungguh-sungguh. Banyak bukti menunjukkan negara yang melakukan pendidikan sebagai prioritas utama dalam pembangunannya, mereka mampu mengejar berbagai ketertinggalan dengan negara lain. Apalagi kondisi Indonesia yang hetorogen, termasuk di dalamnya di daerah 3 T, maka upaya serius membangun pendidikan harus merupakan pilihan utama dan pertama. Jika Indonesia tidak mampu melakukan pendidikan, maka karakter bangsa ini akan terjerumus pada karakter yang tidak diinginkan.
Selama ini, Indonesia sudah ada diambang karakter yang merugikan seperti korupsi, kolusi dan karakter buruk lainya. Jika ini dibiarkan, maka Indonesia takkan mampu mengejar kemajuan yang diraih bangsa lain. Oleh karena itu, pendidikan dan pendidikan karakter harus menjadi prioritas dalam pembangunan. Pendidikan yang berhasil adalah jika pendidikan mampu melahirkan bangsa yang berkarakter baik dan mampu merubah bangsa dan negara.
F. SIMPULAN
1. Walaupun pendidikan itu sangat penting dan para pendiri republik menyadarinya, namun kualitas manusia Indonesia masih rendah. Hal ini terjadi karena ketidakmampuan dalam meningkatkan daya saing sumber daya manusia (SDM) Indonesia melalui pendidikan bermutu. Ketidakmampuan dalam menyelenggarakan pendidikan bermutu tersebut menyebabkan semakin terpuruknya posisi Indonesia dalam kancah persaingan global.
2. Pendidikan mempunyai pengaruh besar dalam pembangunan budaya, ekonomi dan politik suatu bangsa. Beberapa negara yang memprioritaskan pendidikan terbukti menunjukan kemajuan yang berarti.
3. Pembangunan pendidikan di wilayah 3Tharus dilakukan karena hal itu akan mampu menciptkan karakter bangsa yang dibutuhkan untuk hidup di masa kini dan masa yang akan datang.
Referensi
Ace Suryadi, Pendidikan Investasi SDM dan pembangunan, Isu, Teori dan Aplikasi, Jakarta: Balai pustaka, 1999.
Frederick Harbison and Charles A. Myers, Manpower and Education, Mc.Graw-Hill Book Company, 1965.
Jaques Delors, Learning The Treasure Within, Unesco Publishing, 1996, p.13
Soedijarto, Memahami Makna yang Tersurat Dari Pasal 31 Ayat ( 4) UUD 1945 Tentang Anggaran Pendidikan Jakarta, ISPI, 2007.
Talcott Parson, at all, Toward A General Theory of Action, Happer Torchbook, 1951.
Gabriel A. Almond and Sidney Velba, The Civic Culture, Political Attitudes and Democrazy in Five Nations, Boston and Toronto: Little Brown and Company, 1965.
Philip Kotler, The Marketing of Nation, A Strategic Approach to Building National Wealth, New York: The Free Press, 1997.
Philip H. Coombs, The World Education Crisis, A Systems Analysis, New York: Oxford University press, 1970.
Pedoman Pelaksanaan Program Sarjana Mendidik di Daerah 3 T, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2012.
Martin Carnoy and Henry M. Levin, The Limits of Educational Reform, New York: David Mckay Compani, INC, 1976.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pedoman Pelaksanaan Program Sarjana Mendidik Di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) Jakarta: 2012.
M. Nuh, Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013.
Soedijarto, Pendidikan Nasional Sebagai Wahana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara Bangsa, Jakarta: CINAPS, 2000.
Sofyan Sauri, Strategi Pembangunan Bidang Pendidikan Untuk Mewujudkan Pendidikan Bermutu, file.upi.edu/direktori/FPBS, diakses 15 Mei 2013.
[1] Penulis adalah dosen Universitas Pakuan dan kini sedang menyelesaikan pendidikan S3 di Universitas Negeri Jakarta.
[2]Pedoman Pelaksanaan Program Sarjana Mendidik di Daerah 3 T, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2012 p. 1
[3] Jaques Delors, Learning The Treasure Within, Unesco Publishing, 1996, p.13
[4] Soedijarto, Memahami Makna yang Tersurat Dari Pasal 31 Ayat ( 4) UUD 1945 Tentang Anggaran PendidikanJakarta, ISPI, 2007, p. 28
[5]Sofyan Sauri, Strategi Pembangunan Bidang Pendidikan Untuk Mewujudkan Pendidikan Bermutu, file.upi.edu/direktori/FPBS, diakses 15 Mei 2013.
[6]Talcott Parson, at all, Toward A General Theory of Action, Happer Torchbook, 1951, p.8.
[7] Gabriel A. Almond and Sidney Velba, The Civic Culture, Political Attitudes and Democrazy in Five Nations, Boston and Toronto: Little Brown and Company, 1965, p.10
[8] Ace Suryadi, Pendidikan Investasi SDM dan pembangunan, Isu, Teori dan Aplikasi, Jakarta: Balai pustaka, 1999, p. 82.
[9] Soedijarto, Pendidikan Nasional Sebagai Wahana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara Bangsa, Jakarta: CINAPS, 2000, p.46
[10] Philip Kotler, The Marketing of Nation, A Strategic Approach to Building National Wealth, New York: The Free Press, 1997, p.22
[11] Frederick Harbison and Charles A. Myers, Manpower and Education, Mc.Graw-Hill Book Company, 1965, p. IX.
[12] Ace Suryadi, Pendidikan Investasi SDM dan pembangunan, Isu, Teori dan Aplikasi, Jakarta: Balai pustaka, 1999, p. 236-237
[13] Jaques Delors, p.156
[14] Philip H. Coombs, The World Education Crisis, A Systems Analysis, New York: Oxford University press, 1970, p. 180
[15] MartinCarnoy and Henry M. Levin, The Limits of Educational Reform, New York: David Mckay Compani, INC, 1976, p. 30-37
[16]Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pedoman Pelaksanaan Program Sarjana Mendidik Di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) Jakarta: 2012, p. 16-17
[17] M. Nuh, Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013, p.4-5
* Penulis adalah dosen Universitas Pakuan Bogor dan Doktor Manajemen pendidikan Universitas Negeri Jakarta
Tag: pendidikan karakter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar