Rosihan Anwar (1922-2011) merupakan wartawan senior, juga sejarawan dan sastrawan yang produktif. Ia telah menulis puluhan buku dan ratusan tulisan di berbagai media utama di Indonesia dan di beberapa penerbitan asing. Bahkan menjelang akhir hayatnya Ia masih menyiapkan memoar kehidupan cintanya dengan sang istri yang lebih dulu meninggal dunia, dengan judul yang sudah disiapkan Belahan Jiwa, Memoar Rosihan Anwar dengan Siti Zuraida.
Rosihan Anwar lahir di Anak keempat dari sepuluh bersaudara putra Anwar Maharaja Sutan, seorang demang di Padang, Sumatera Barat, ini menyelesaikan sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke AMS di Yogyakarta sampai tahun 1942. Dari sana Rosihan mengikuti berbagai workshop di dalam dan di luar negeri, termasuk di Yale University dan School of Journalism di Columbia University, New York, Amerika Serikat.
Rosihan memulai karier jurnalistiknya sebagai reporter Asia Raya di masa pendudukan Jepang tahun 1943 hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-1961). Selama enam tahun, sejak 1968, ia menjabat Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Bersama Usmar Ismail, pada 1950 ia mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini). Dalam film pertamanya, Darah dan Doa, ia sekaligus menjadi figuran. Dilanjutkan sebagai produser film Terimalah Laguku. Sejak akhir 1981, aktivitasnya di film adalah mempromosikan film Indonesia di luar negeri dan tetap menjadi kritikus film sampai sekarang.
Pada tahun 2007, Rosihan Anwar dan Herawati Diah, yang ikut mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta pada 1946 mendapat penghargaan 'Life Time Achievement' atau 'Prestasi Sepanjang Hayat' dari PWI Pusat.
Pada 9 Februari 2010, komunitas Hari Pers Nasional (HPN) yang terdiri atas Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Dewan Pers, Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Ikatan Juranlis Televisi Indonesia (IJTI), Serikat Grafika Pers (SGP), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional (PRSSNI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan Asossiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) sepakat menganugerahi Spirit Jurnalisme bagi Rosihan Anwar.
hingga tulisan yang menyangkut kisah perjalanan serta kisah hidup orang-orang yang pernah dikenal atau dikaguminya. : India dari Dekat (1954); Dapat Panggilan Nabi Ibrahim (1959); Islam dan Anda (1962); novel Raja Kecil (1967); Ihwal Jurnalistik (1974); Kisah-kisah Zaman Revolusi (1975); Profil Wartawan Indonesia (1977); Kisah-kisah Jakarta Setelah Proklamasi (1977); Jakarta Menjelang Clash ke-I (1978); Sukarno, Tentara, PKI : Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965 (1981), Menulis Dalam Air, Sebuah Autobiografi (1983); Musim Berganti (1985); Perkisahan Nusa (1986); Singa dan Banteng: Sejarah Hubungan Belanda-Indonesia 1945-1950 (1997), Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia (2004), dan masih banyak lagi.
S. Tasrif, S.H menjuluki Rosihan Anwar sebagai “A footnote of history” (sebuah catatan kaki dalam sejarah). Dimasa tuanya, setiap pagi Rosihan berjalan 40 menit. Ia juga tidak bisa melepaskan kebiasaannya menghisap cerutu bermerek Schimmel Penning, “Saya isap lima batang satu hari,” katanya. “Pagi, siang, waktu minum teh di sore hari, malam dan ketika menjelang tidur,” Ia menikah dengan Siti Zuraidah Binti Moh. Sanawi dan dikaruniai tiga orang anak.
.
Tag: Sejarawan, Wartawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar