REFLEKSI DAKWAH KULTURAL MUHAMMADIYAH


Muhamadiyah sejak dahulu dianggap sebagai icon pembaharu dan organisasi modern yang menonjol dalam dakwah sosial dan dakwah pendidikan. Terbukti dengan berdirinya lembaga sosial, lembaga pendidikan dan amal usaha lainnya diseluruh Indonesia, bahkan bisa menembus wilayah regional Asia Tenggara. Tentu saja prestasi ini sangat luar biasa sekali dan bahkan diakui didunia internasional menjadi pembaharu pergerakan Islam dengan gerakan tajdid-nya.
Namun aktifitas dakwah dan gerakan tajdid Muhammadiyah ini akhir-akhir terasa kurang geregetnya dalam menjaring kader baru persyarikatan yang bukan hanya sekedar seorang organisatoris, tapi juga seorang yang kader yang kafa’ah keagamaannya sangat baik, sehingga mengembalikan Muhammadiyah sebagai lumbung kader dakwah yang menghasilkan ulama yang berilyan seperti pendirinya KH Ahmad Dahlan yang melegendaris kemudian sempat terputus pada masa kepemimpinan KH Azhar Bashir, MA, yang kemudian diteruskan dengan terpilihnya Prof Dr Amin Rais, MA yang lebih menonjol kecendikiawannya dan aktifitas politiknya atau diteruskan Prof Dr. Syafii Ma’arif seorang pakar sejarah yang terkadang beliau sering membuat wacana pribadi yang orang Muhammadiyah itu sendiri saja kebingungan.
Kesadaran akan kepemimpinan ulama di Muhammadiyah baru terbuka saat terpilihnya Prof Dr. Din Syamsuddin (2005-2010) dalam Muktamar Muhammadiyah di Malang yang tidak diragukan lagi keulamaannya, dan uniknya beliau alumni Gontor (Jawa Timur) dan saat ini beliau sekretaris MUI pusat.
Selain butuhnya kepemimpinan ulama perlua adanya pengembangan dakwah jauh lebih kreatif dan mampu merangkul berbagai golongan untuk mengenal Muhammadiyah dengan pendekatan cultural, sehingga wacana baru tentang perlunya wacana dakwah kutural semakin menguat dikalangan Muhammadiyah untuk mengembalikan citra muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan gerakan dakwah. Untuk menjawab kekhawatiran bahwa Muhammadiyah terasa lamban berhadapan dengan permasalahan realitas umat seperti solidaritas palestina, pemberlakuan UU Anti pornografi fornoaksi (AFF) dan anggapan keterlenaan dalam kemapanannya jelas bisa dijadikan sebagai masukan positif bagi perkembangan Muhammadiyah dimasa yang akan datang dengan lebih membenahi pengakaderan internal dan menggiatkan dakwah keluar yang sementara ini tidak begitu bergema bahkan sekarang justru dilakukan organisasi pergerakan dakwah lain seperti Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), pondok pesantren Hidayatullah yang bisa masuk kekalangan suku terasing di Indonesia dan bersaing dengan para missionaries dan kaum zending.
Bila kita amati, para aktifis dakwah Muhammadiyah lebih dikenal masyarakat sebagai inteletual dan pengamat politik yang senang dengan kajian organisasi atau kajian ilmiah yang bersifat wacana daripada mengkritisi permasalahan umat. Sehingga saat berhadapan dengan masyarakat tradisional terkesan tidak bisa masuk bahkan untuk merubah adat istiadat yang masih berbau bid’ah, khurofat dan tahayul serasa mentok, sehingga dakwah kita masih terpaku dengan dakwah internal dengan tujuan “Me-Muhammadiyahkan orang Muhammadiyah bukan me-Muhammadiyahkan masyarakat di luar Muhammadiyah”. Ditandai dengan adanya Pengajian Muhammadiyah baik dicabang maupun tingkat daerah hanya diikuti oleh orang dan simpatisan Muhammadiyah dan belum bisa mengajak orang lain diluar Muhammadiyah untuk mengikuti pengajian tersebut. Sisi lain untuk level menengah dihadapkan dengan virus Sipilis (sekulerisme, pluralisme dan liberalisme) yang mengjangkiti kaum intelektual mudanya.
Dakwah cultural.
Alasan kenapa kita harus kembali kedakwah kutural, antara lain a) Betapa kuatnya cultural masyarakat kita sehingga sampai sekarang belum terlihat dakwah kita dimasyarakat b) semakin berubahnya tatanan strategi dakwah tradisonal, c) semakin merebaknya permasalahan social-kultural dimasyarakat d) semakin mencuatnya dan leluasanya penyimpangan dakwah e) Ketidak tegasan pemerintah terhadap lahirnya aliran-aliran sesat di Indonesia.f) semakin kuatnya kristenisasi dengan kedok budaya g) semakin kurang kristolog-kristolog muda Muhammadiyah
Kesulitan Dakwah
Beberapa Alasan kenapa dakwah kita sedikit terhambat antara lain :
Kesulitan pertama, Persyarikatan kita kurang sekali memiliki kader dakwah bila dibandingkan dengan jumlah kader organisasi semakin melimpah apalagi semasa kepartaian tahun 1999. Kesulitan menemukan kader dakwah sebagaimana yang dicita-citakan KH Ahmad Dahlan sebenarnya telah disadari persyarikatan yang salah satunya dengan mendirikan pesantren unggulan Muhammadiyah salah satunya dengan masih adanya sekolah Mualimin Mualimat (Yogyakarta), Pesantren Modern Darul Arqom (Garut) yang bisa menghasilkan calon da’I ataupun beasiswa bagi putra-putri Muhammadiyah untuk jurusan tarjih di UMM (Malang). Tapi belum begitu maksimal memasok kebutuhan kader berkualitas sebagaimana kita bandingkan dengan organisasi Nakhdatu Ulama dengan pondok Gontor Darussalam yang bisa mengahasilkan da’i-da’i berkualitas ataupun pengakderan praktis dan informal, tapi bisa mengisi terbentuknya da’i-da’i muda, padahal kajian dakwah lingkup kecil dulu pernah dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah dalam mengakder para sahabatnya di rumah Al-Arqam bin Abil Arqam RA dalam bentuk perkumpulan kecil yang justru dipraktikan oleh saudara kita (sejenis Halaqoh, ussar/ usroh) dan kita (orang Muhammadiyah) harus legowo mengakui keberhasilan system yang dipraktikan oleo saudara kita ini dalam bentuk pembinaan dakwah (takwin) sehingga membentuk kader dakwah yang loyal dan mencerahkan umat, bahkan malahan kita mencurigainya sebagi virus tarbiyah karena merubah fikrah kemuhammadiyahan anak-anak muda Muhammadiyah. Dengan mengurangi kejumudan kita dan bisa juga ini bagian dari gerakan tajdid, apa salahnya kita kembali dengan apa yang dicontohkan rasulullah.
Kesulitan kedua, Dakwah kita masih tertuju pada orang Muhammadiyah, belum bisa merambah keluar sehingga ideologi Muhammadiyah belum bisa merasuk ke masyarakat dengan gerakan tajdid-nya. Karena ketidak universal-nya dakwah kita, sehingga dakwah kutural inilah yang perlu kita lakukan sehingga kevakuman dakwah kita bisa menyentuh berbagai ragam masyarakat.
Kesulitan ketiga, Adanya ketidakpuasan para kader persyarikatan menyebabkan adanya perubahan medan dakwah, dimana dakwah kita masih saja mengandalkan kaderisasi disekolah-sekolah, sementara saudara kita sudah mencari market lain yang ternyata dimasyarakat masih terbuka, seperti startegi dakwah cultural dengan disertai revitalisasi dakwah mulai barisan terbawah yaitu dicabang-ranting dan ortom AMM perlu menjadi prioritas pertama dengan syarat harus mempersiapkan kader muda yang militan dan loyal terhadap persyarikatan, perbaikan lain perlu adanya revisi materi Kemuhammadiyahan yang lebih menyentuh terciptanya loyalitas/komitmen dan ketertarikan pada pengembangan Muhammadiyah dimasa yang akan datang. Sehingga ketidakpuasan banyak kader kita yang beralih ke organisasi lain yang bisa mengisi kehausan spiritual yang belum ditemukan di Muhammadiyah bisa dikurangi dengan sikap bijak dengan tidak menyalahkan manhaj lain, Artinya kita perlu mengadakan re-inventing dan benchmarking dakwah Muhammadiyah dengan melihat perkembangan dan keberhasilan dakwah organisasi Islam lainnya. Artinya kita harus berguru dan siap menerima kekurang-kekurangan ini sebagai sebuah refleksi dakwah, bukan melahirkan penghujatan yang sebenarnya bukan karakteristik orang Muhammadiyah yang modernis dan tidak jumud serta siap menerima perubahan medan dakwah yang dari hari ke hari semakin bergeser, sehingga kelemahan-kelemahan kita bisa kita terima dengan bijak dan dengan hati yang legowo sebagai sebuah dinamika dakwah. Selama masih ada control dan perhatian yang baik, layaknya seorang bapak terhadap anaknya dan kita bersama benahi system pengkaderan kita dimasa yang akan datang.
.


Tag:

Bagikan Ini

Baca Juga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar