Bagus Rangin merupakan tokoh pahlawan yang memimpin perjuangan melawan penjajah Belanda dalam Perang Cirebon pada awal abad ke-19.
Bagus Rangin dilahirkan di Rajagaluh, Majalengka pada sekitar tahun 1761. Ayahnya adalah Kiai Sentayem, seorang ulama yang berilmu tinggi dan memiliki banyak murid, termasuk Bagus Rangin dan saudara-saudaranya. Maka sejak kecil Bagus Rangin dididik dalam lingkungan yang relijius. Bagus Rangin juga belajar ilmu umum serta ilmu beladiri. Selain kepada ayahnya, Bagus Rangin belajar agama - terutama dalam bidang tarekat - kepada seorang ulama Banten yang dijuluki Rama Banten.
Hasil dari pendidikan yang dia terima membuatnya dikenal sebagai orang yang soleh dan berani menegakkan kebenaran, serta tidak sungkan membantu orang yang membutuhkan pertolongannya. Namanya kemudian terkenal dan disegani masyarakat, hingga terdengar sampai ke pusat pemerintahan di Cirebon. Maka oleh Sultan Cirebon Bagus Rangin diberi kepercayaan untuk menjadi pemimpin daerah kabagusan Jatitujuh dengan pangkat Senapati.
Pada waktu itu kehidupan rakyat sangat susah karena dibebani berbagai kewajiban, seperti membayar berbagai macam pajak (pajak tanah, pajak hasil tani, dan lain-lain), menyerahkan upeti kepada pejabat, juga menjalani kerja paksa dan kerja desa. Apalagi setelah tanah-tanah di desa banyak yang disewakan kepada Belanda dan Cina. Bukan hanya lahan garapan yang disewakan, tetapi juga dengan rakyatnya. Rakyat diperas tenaganya untuk mengolah lahan disamping harus membayar pajak yang lumayan besar.
Kehidupan rakyat yang makin sengsara menimbulkan keinginan mereka untuk berontak. Maka dengan dipimpin oleh Bagus Rangin, rakyat Palimanan melakukan perlawanan terhadap Belanda serta kepala daerah yang menjadi antek Belanda. Pasukan Bagus Rangin berjumlah sekitar 300 orang yang dibantu oleh adiknya, Bagus Serit dari Jatitujuh. Dalam gerakan ini Bupati Palimanan Tumenggung Madenda, Asisten Residen Belanda, serta pembesar dan pasukannya, termasuk tuan tanah Cina, menjadi korban. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1805 (atau 1806?).
Gerakan Bagus Rangin didukung tokoh masyarakat dari beberapa daerah. Karena itu dalam perlawanan selanjutnya Bagus Rangin mendapat bantuan dari berbagai daerah lain baik berupa tenaga, senjata, maupun logistik.
Untuk memberantas gerakan pimpinan Bagus Rangin, Gubernur Jenderal Kompeni A.J. Wiese menugaskan Nicolaes Engelhard untuk memimpin pasukan kompeni menyerang markas Bagus Rangin di Jatitujuh. Pasukan Belanda dibantu oleh beberapa pasukan pribumi yang berasal dari Sumedang, Karawang, Subang, Cirebon, serta Madura. Pasukan Bagus Rangin sendiri mendapat bantuan dari beberapa daerah seperti Sumedang, Cirebon, Majalengka, Indramayu, dan Kuningan hingga berjumlah 40.000 orang.
Beberapa kali pertempuran menimbulkan korban yang tidak sedikit, baik dari pihak Bagus Rangin maupun Belanda. Di pihak Bagus Rangin ada yang tertangkap, sebagian lagi mundur dan bersembunyi. Bagus Rangin sendiri bisa lolos dari kepungan musuh dengan sebagian anak buahnya. Akhirnya beliau nyepi di Pasir Luhur, sebuah gunung kecil yang sekarang menjadi batas antara Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Cilacap.
Disana ia berpikiran bahwa sasaran perjuangan harus diubah, tidak hanya mendukung Raja Kanoman Pangeran Suriawijaya untuk menjadi Sultan, karena kedudukan sultan sangat tergantung kepada kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Raja Kanoman pernah dibuang ke Ambon oleh Belanda pada tahun 1802. Setelah dibebaskan dan dijadikan sultan di Cirebon pada tahun 1808, dua tahun kemudian dipecat oleh Gubernur Jenderal H.W. Daendels karena sikap dan tindakan Raja Kauman dianggap melawan pemerintah kolonial. Bagus Rangin beranggapan bahwa sebisa mungkin harus berdiri negara sendiri. Negara tersebut dinamai Pancatengah dengan pusatnya di Bantarjati, pinggir sungai Cimanuk, tidak jauh dari Jatitujuh. Ia meyakinkan bahwa dengan berdirinya negara sendiri tidak akan ada kerja paksa dan pungutan paksa.
Pada 1810 pihak kolonial mengirim pasukan yang dibantu oleh pasukan dari beberapa kabupaten untuk menumpas Bagus Rangin di Bantarjati. Maka terjadi perang yang menyebabkan banyak pasukan tewas, terutama dari pihak Bagus Rangin. Bagus Rangin dan anak buahnya terdesak hingga terpaksa mundur menuju Desa Panongan.
Pada tahun berikutnya wilayah nusantara berada dibawah kekuasaan Inggris, yang di wakili oleh Letnan Gubernur Jenderal T.S. Raffles. Bagus Rangin beranggapan bahwa pemerintahan Raffles pasti tidak akan berbeda dengan penjajah sebelumnya. Maka iapun tetap mengumpulkan kekuatan untuk meneruskan perjuangannya.
Pada 16-29 Februari 1812 pecah lagi perang di Bantarjati. Karena jumlah pasukan dan senjata yang tidak seimbang, kekalahanpun berada di pihak Bagus Rangin. Mereka terdesak mundur sampai di daerah Panongan. Disanalah akhirnya Bagus Rangin tertangkap pada 27 Juni 1812. Beliau gugur setelah dijatuhi hukuman mati. Pasukan yang meneruskan perjuangannya muncul lagi pada tahun 1816 yang dipimpin oleh Bagus Jabin, keponakan Bagus Rangin.
Tag: Pahlawan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar