Meninjau sejumlah masalah yang ada ditubuh kependidikan kita, ada hal yang penting yang ingin penulis kemukakan, sekedar sumbang pemikiran. Sudah tepatkan arah pendidikan kita ini? Jawaban akan terdengar klise, jelas belum memuaskan, untuk menghindari jawaban tepat dan tidak tepat.
Ukurannya sederhana saja, tidak perlu melihat Human Development Indeks (HDI), PERC, dan lain-lain, tapi betapa miskinnya kepercayaan diri bangsa ini dalam menghadapi kehidupan. Pola fikir instant, kapitalis, kriminalitas, menjadi bukti kegagalan pendidikan. Ketika kecil sebagian dari kita sering diingatkan oleh orang tua tercinta, “Nak sekolah yang bener, biar kehidupanmu lebih baik dari Ayah dan Ibu, kau harus masuk SMP favorit, SMA favorit, lalu masuk ITB, lalu bekerja dikantoran. Baru Ayah dan Ibu tenang, bisa istirahat”.
Ungkapan diatas tentu tidak salah meskipun kurang saleh juga. Namun hal tersebut tercetus karena yang terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia, dalam dunia nyata, seperti itu. Sistem pendidikan kita memang terpola demikian, manusia potensial Indonesia hanya menjadi objek dari suatu aplikasi sistem dengan satu tujuan akhir yaitu bekerja. Model proses pendidikan hampir sama dengan proses produksi barang yang terkait faktor input, proses, dan output. Walaupun sekarang coba diperbaiki dengan apa yang disebut kependidikan Berbasis Kompetensi, namun itu tidak disikapi dengan penyiapan SDM dan masih terkesan alih tanggung jawab terutama dalam masalah pembiayaan pendidikan.
Anak-anak usia pendidikan saat ini terbebani bahwa dengan sekolahlah nantinya dia bisa bekerja. Orang tua-pun saat ini masih memegang erat-erat prinsip ini. Kalau perlu, dibela sampai lembar kertas rupiah terakhir agar anaknya bisa terus sekolah hingga perguruan tinggi. Bila orang tua berkecukupan secara ekonomi, tentu tidak masalah. Namun jika menyangkut kaum tidak mampu, cilaka dua belas, sudahlah dia membela mati-matian, kalau perlu berhutang, ternyata setelah penantian 16 tahun (SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, PT 4 tahun), anaknya menganggur juga, bahkan tidak mampu minimal seperti orang tuanya dalam hal ekonomi.
Hal tersebut diatas baru menyangkut ekonomi. Bagaimana dengan aspek moral dan kebudayaan bangsa yang katanya akar dari pendidikan nasional? Jauh lebih parah dari aspek ekonomi. Mereka tidak terdidik dan terbiasa dengan sikap sabar, tawakal, solidaritas positif, tapi terdidik dengan bagaimana dapat uang banyak segera tanpa kerja keras.
Membangun pendidikan di tanah air, utamanya untuk mengembangkan mutu Sumber Daya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Berbagai upaya telah dilakukan, kebijakan dan program-program pendidikan telah ditetapkan, berbagai penyelenggaraan pendidikan telah dilaksanakan, dan langkah-langkah strategi pendidikan juga telah ditempuh, bahkan perangkat hukum bidang pendidikan-pun sudah banyak diterbitkan. Akan tetapi bagaimana hasilnya? Rendahnya kualitas sumber daya manusia merupakan akibat dari rendahnya kualitas sistem pendidikan.
Persoalan-persoalan pendidikan ditanah air, seperti tingginya angka putus sekolah, jumlah penduduk buta huruf yang masih tinggi, tantangan mutu pendidikan dalam menghadapi globalisasi, rendahnya peringkat HDI Indonesia, dan kesenjangan mutu pendidikan antar daerah, bahkan penanganan pendidikan terhadap korban bencana dan akibat konflik sosial di berbagai daerah yang belum tuntas, merupakan sebagian indikator-indikator yang kita ketahui dan masih banyak lagi persoalan lain dalam dunia pendidikan kita. Semuanya, tentu saja, merupakan pekerjaan raksasa yang memerlukan penanganan serius apabila kita ingin menjadi sebuah bangsa yang sejajar dengan negara-negara maju lainnya. edikitnya terdapat 4 faktor utama yang masih mengganjal yang harus kita cermati mengenai dunia pendidika kita; faktor konsep dan sistem, SDM pendidikan, aplikasi/implementasi, dan peran orang tua/wali.
A. Konsep dan Sistem
Konsep pendidikan nasional yang menyangkut visi, misi, tujuan pendidikan, sangat baik. Yang terlupakan dalam knsep pendidikan kita adalah penekanan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan karakter positif dan integritas dari seseorang. Meminjam istilah seorang kawan, pendidikan bukanlah sekedar memberikan untuk tidak mengatakan menjejali- peserta didik dengan pengetahuan. Namun bagaimana peserta didik bersikap berpengetahuan. Pendidikan bukan sekedar mengajar peserta didik tentang berbagai hal matematika, sains, budi pekerti, namun bagaimana peserta didik bersifat mathematician, saintifician, dan moralis. Sistem pendidikan kita masih menyeragamkan potensi peserta didik. Meskipun telah diupayakan ada pendidikan umum dan ada pendidikan kejuruan, terlihat belum all out. Hanya sekedar formalitas. Kalaulah kita tengok, peserta didik pendidikan kejuruan, rata-rata dari kalangan menengah kebawah, selain ingin segera bekerja, juga tidak ada biaya ke PT. Orang tua kalangan atas emoh menyekolahkan anak ke sini, walaupun potensi aanak ada pada psikomotor. Tiada lain karena belum diposisikan sungguh-sungguh proses pendidikan berbasis potensi. Upaya deteksi dini potensi-pun tidak menjadi concern. Padahal inilah salah satu yang menyebabkan manusia Indonesia baru memanfaatkan 20% saja dari kapasitas otaknya.
Hal lain yang cukup krusial adalah sistem penilaian pendidikan. Sistem yang dikembangkan lebih kepada penguasaan hafalan pengetahuan. Penilaian tidak lagi menjadi alat Bantu evaluasi, tapi menjadi goal dan ini berbahaya karena banyak membuat peerta didik demotivasi, seolah-olah nilai yang buruk menjadi bencana bagi masa depan. Perlu dikembangkan sistem penilaian komprehensif, yang menilai perkembangan proses pendidikan seseorang secara menyeluruh.
Sistem pendidikan-pun masih mengabaikan unsur interaksi sosial dan spiritual. Isi konsep dan sistem pendidikan bagaikan jasad tanpa roh, bagaikan akan memproduksi barang. Tidak ada sentuhan rasa antara peserta didik dengan SDM pendidik. Hampir tidak ada siswa yang dengan konsisten mendo'akan kebaikan gurunya, atau guru mendo'akan murid-muridnya agar menjadi manusia berguna.
B. SDM Kependidikan
Operator lapangan yang berinteraksi langsung dalam proses pendidikan haruslah memahami dunia pendidikan. SDM ini meliputi guru sebagai ujung tombak dan manajemen pendidikan. Sayangnya dua hal ini-pun masih carut marut.
Menurut pakar pendidikan, selayaknya setiap calon guru yang menilai fit and proper test, mencakup tiga aspek; kepribadian, kemampuan manajemen kelas, dan penguasaan materi. Bagaimanapun mereka memiliki peran cukup penting dalam pembentukan generasi unggul. Setidaknya 60-70% keberhasilan proses pendidikan terletak di pundak guru. Guru harus menjadi SDM strategis bangsa ini. Anak-anak bangsa akan berkompetisi secara ketat bagi profesi ini. Diperlukan satuan tugas khusus yang menangani profesi guru dengan segala pengembangannya. Guru dituntut mampu mengaplikasikan konsep, filosofis, dan sistem pendidikan dalam tataran pendidikan. Sekolah harus dikelola direktur dan manajer yang handal, melebihi direktur dan mamajer perusahaan, lha wong yang akan dirubah manusia, sedangkan di perusahaan dengan denda mati dan ukurannya ekonomi.
C. Aplikasi/Implementasi
Implementasi konsep dan sistem merupakan salah satu kelemahan bangsa secara keseluruhan. Dunia pendidikan-pun tak terkecuali. Filosofis pendidikan yang kita tengok dalam dokumen Depdiknas, luar biasa indahnya, namun kalau kita tengok sekolah-sekolah, jangankan diluar Bandung, di Bandung sendiri sulit kita melihat sekolah dengan filosofis dan konsep pendidikan yang kuat. Tentunya jangan dilihat sekolah-sekolah swasta terpadu, karena bagaimanapun mereka telah memiliki konsep sendiri.
Sosialisasi dari konsep filosofis pendidikan masih dilaksanakan secara birokratis dan tanpa semangat kependidikan. Kependidikan Berbasis Kompetensi diyakini pembuat kebijakan mampu memperkuat aplikasi pendidikan di sekolah-sekolah. Namun kita harus mencermati SDM-SDM kependidikan kita, mampukan mengangkat kualitas sekolah tanpa skill up kemampuan?
D. Peran orang tua
Orang tua tidak bisa lepas tanggung jawab dengan menyerahkan anaknya kepada pihak sekolah, lalu sekolah dituntut menentukan masa depan anaknya. Orang tua-pun perlu memahami konsep, filosofis, dan sistem pendidikan, agar sebagai orang yang terlibat intensif dengan peserta didik, mampu menunjang keberhasilan proses. Hal ini dapat diwujudkan bila terdapat sinergis dengan pihak sekolah. Bisa jadi, kejadian yang sering terjadi, pihak orang tua menyalahkan sekolah, akan menjadi sebaliknya. Kedua belah pihak berada sejajar dan menjadi mitra demi pencapaian hasil yang optimal.
Setelah seluruh pembenahan dilakukan, ada hal penting yang cukup signifikan yang harus dilakukan; BERDOA dengan khusyu dan konsisten. Bangsa kita memang terbiasa dengan berdoa, namun karena kesalahan proses pendidikanlah hal tersebut menjadi basa-basi ibadah dan hanya terbatas pada seremonial saja.
.
Anak-anak usia pendidikan saat ini terbebani bahwa dengan sekolahlah nantinya dia bisa bekerja. Orang tua-pun saat ini masih memegang erat-erat prinsip ini. Kalau perlu, dibela sampai lembar kertas rupiah terakhir agar anaknya bisa terus sekolah hingga perguruan tinggi. Bila orang tua berkecukupan secara ekonomi, tentu tidak masalah. Namun jika menyangkut kaum tidak mampu, cilaka dua belas, sudahlah dia membela mati-matian, kalau perlu berhutang, ternyata setelah penantian 16 tahun (SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, PT 4 tahun), anaknya menganggur juga, bahkan tidak mampu minimal seperti orang tuanya dalam hal ekonomi.
Hal tersebut diatas baru menyangkut ekonomi. Bagaimana dengan aspek moral dan kebudayaan bangsa yang katanya akar dari pendidikan nasional? Jauh lebih parah dari aspek ekonomi. Mereka tidak terdidik dan terbiasa dengan sikap sabar, tawakal, solidaritas positif, tapi terdidik dengan bagaimana dapat uang banyak segera tanpa kerja keras.
Membangun pendidikan di tanah air, utamanya untuk mengembangkan mutu Sumber Daya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Berbagai upaya telah dilakukan, kebijakan dan program-program pendidikan telah ditetapkan, berbagai penyelenggaraan pendidikan telah dilaksanakan, dan langkah-langkah strategi pendidikan juga telah ditempuh, bahkan perangkat hukum bidang pendidikan-pun sudah banyak diterbitkan. Akan tetapi bagaimana hasilnya? Rendahnya kualitas sumber daya manusia merupakan akibat dari rendahnya kualitas sistem pendidikan.
Persoalan-persoalan pendidikan ditanah air, seperti tingginya angka putus sekolah, jumlah penduduk buta huruf yang masih tinggi, tantangan mutu pendidikan dalam menghadapi globalisasi, rendahnya peringkat HDI Indonesia, dan kesenjangan mutu pendidikan antar daerah, bahkan penanganan pendidikan terhadap korban bencana dan akibat konflik sosial di berbagai daerah yang belum tuntas, merupakan sebagian indikator-indikator yang kita ketahui dan masih banyak lagi persoalan lain dalam dunia pendidikan kita. Semuanya, tentu saja, merupakan pekerjaan raksasa yang memerlukan penanganan serius apabila kita ingin menjadi sebuah bangsa yang sejajar dengan negara-negara maju lainnya. edikitnya terdapat 4 faktor utama yang masih mengganjal yang harus kita cermati mengenai dunia pendidika kita; faktor konsep dan sistem, SDM pendidikan, aplikasi/implementasi, dan peran orang tua/wali.
A. Konsep dan Sistem
Konsep pendidikan nasional yang menyangkut visi, misi, tujuan pendidikan, sangat baik. Yang terlupakan dalam knsep pendidikan kita adalah penekanan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan karakter positif dan integritas dari seseorang. Meminjam istilah seorang kawan, pendidikan bukanlah sekedar memberikan untuk tidak mengatakan menjejali- peserta didik dengan pengetahuan. Namun bagaimana peserta didik bersikap berpengetahuan. Pendidikan bukan sekedar mengajar peserta didik tentang berbagai hal matematika, sains, budi pekerti, namun bagaimana peserta didik bersifat mathematician, saintifician, dan moralis. Sistem pendidikan kita masih menyeragamkan potensi peserta didik. Meskipun telah diupayakan ada pendidikan umum dan ada pendidikan kejuruan, terlihat belum all out. Hanya sekedar formalitas. Kalaulah kita tengok, peserta didik pendidikan kejuruan, rata-rata dari kalangan menengah kebawah, selain ingin segera bekerja, juga tidak ada biaya ke PT. Orang tua kalangan atas emoh menyekolahkan anak ke sini, walaupun potensi aanak ada pada psikomotor. Tiada lain karena belum diposisikan sungguh-sungguh proses pendidikan berbasis potensi. Upaya deteksi dini potensi-pun tidak menjadi concern. Padahal inilah salah satu yang menyebabkan manusia Indonesia baru memanfaatkan 20% saja dari kapasitas otaknya.
Hal lain yang cukup krusial adalah sistem penilaian pendidikan. Sistem yang dikembangkan lebih kepada penguasaan hafalan pengetahuan. Penilaian tidak lagi menjadi alat Bantu evaluasi, tapi menjadi goal dan ini berbahaya karena banyak membuat peerta didik demotivasi, seolah-olah nilai yang buruk menjadi bencana bagi masa depan. Perlu dikembangkan sistem penilaian komprehensif, yang menilai perkembangan proses pendidikan seseorang secara menyeluruh.
Sistem pendidikan-pun masih mengabaikan unsur interaksi sosial dan spiritual. Isi konsep dan sistem pendidikan bagaikan jasad tanpa roh, bagaikan akan memproduksi barang. Tidak ada sentuhan rasa antara peserta didik dengan SDM pendidik. Hampir tidak ada siswa yang dengan konsisten mendo'akan kebaikan gurunya, atau guru mendo'akan murid-muridnya agar menjadi manusia berguna.
B. SDM Kependidikan
Operator lapangan yang berinteraksi langsung dalam proses pendidikan haruslah memahami dunia pendidikan. SDM ini meliputi guru sebagai ujung tombak dan manajemen pendidikan. Sayangnya dua hal ini-pun masih carut marut.
Menurut pakar pendidikan, selayaknya setiap calon guru yang menilai fit and proper test, mencakup tiga aspek; kepribadian, kemampuan manajemen kelas, dan penguasaan materi. Bagaimanapun mereka memiliki peran cukup penting dalam pembentukan generasi unggul. Setidaknya 60-70% keberhasilan proses pendidikan terletak di pundak guru. Guru harus menjadi SDM strategis bangsa ini. Anak-anak bangsa akan berkompetisi secara ketat bagi profesi ini. Diperlukan satuan tugas khusus yang menangani profesi guru dengan segala pengembangannya. Guru dituntut mampu mengaplikasikan konsep, filosofis, dan sistem pendidikan dalam tataran pendidikan. Sekolah harus dikelola direktur dan manajer yang handal, melebihi direktur dan mamajer perusahaan, lha wong yang akan dirubah manusia, sedangkan di perusahaan dengan denda mati dan ukurannya ekonomi.
C. Aplikasi/Implementasi
Implementasi konsep dan sistem merupakan salah satu kelemahan bangsa secara keseluruhan. Dunia pendidikan-pun tak terkecuali. Filosofis pendidikan yang kita tengok dalam dokumen Depdiknas, luar biasa indahnya, namun kalau kita tengok sekolah-sekolah, jangankan diluar Bandung, di Bandung sendiri sulit kita melihat sekolah dengan filosofis dan konsep pendidikan yang kuat. Tentunya jangan dilihat sekolah-sekolah swasta terpadu, karena bagaimanapun mereka telah memiliki konsep sendiri.
Sosialisasi dari konsep filosofis pendidikan masih dilaksanakan secara birokratis dan tanpa semangat kependidikan. Kependidikan Berbasis Kompetensi diyakini pembuat kebijakan mampu memperkuat aplikasi pendidikan di sekolah-sekolah. Namun kita harus mencermati SDM-SDM kependidikan kita, mampukan mengangkat kualitas sekolah tanpa skill up kemampuan?
D. Peran orang tua
Orang tua tidak bisa lepas tanggung jawab dengan menyerahkan anaknya kepada pihak sekolah, lalu sekolah dituntut menentukan masa depan anaknya. Orang tua-pun perlu memahami konsep, filosofis, dan sistem pendidikan, agar sebagai orang yang terlibat intensif dengan peserta didik, mampu menunjang keberhasilan proses. Hal ini dapat diwujudkan bila terdapat sinergis dengan pihak sekolah. Bisa jadi, kejadian yang sering terjadi, pihak orang tua menyalahkan sekolah, akan menjadi sebaliknya. Kedua belah pihak berada sejajar dan menjadi mitra demi pencapaian hasil yang optimal.
Setelah seluruh pembenahan dilakukan, ada hal penting yang cukup signifikan yang harus dilakukan; BERDOA dengan khusyu dan konsisten. Bangsa kita memang terbiasa dengan berdoa, namun karena kesalahan proses pendidikanlah hal tersebut menjadi basa-basi ibadah dan hanya terbatas pada seremonial saja.
Tag: Kasus Pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar