TEORI ORGANISASI DAN MANAJEMEN DALAM SEKTOR PUBLIK


Oleh: Dr.I Wayan Gede Suacana*


Para ilmuwan yang memperdalam ilmu pemerintahan dan administrasi negara sering dihadapkan pada berbagai pertanyaan dan keraguan teori organisasi dan manajemen yang diajarkan pada kedua jurusan tersebut sebagai mata kuliah pokok jurusan. Keraguan-raguan ini disebabkan oleh adanya kritik bahwa teori organisasi dan manajemen yang selama ini diajarkan, yang lebih banyak mengacu pada organisasi swasta dan manajemen ilmiah dianggap kurang tepat untuk menjelaskan persoalan pemerintahan dan administrasi negara yang lebih banyak berkaitan dengan sektor publik.

Dewasa ini muncul saran dari pakar  kedua bidang ilmu tersebut untuk meninggalkan teori manajemen ilmiah yang normatif tersebut. Alasannya adalah bahwa teori manajemen ilmiah (POSDCORB) kurang relevan dengan konteks pemerintahan dan administrasi negara, dan bahwa ada kelemahan yang terkandung dalam prinsip-prinsip tersebut. Appleby, dan Waldo, misalnya tidak melihat bahwa doktrin manajemen ilmiah tersebut sebagai doktrin terbaik. Mereka melihatnya sebagai salah satu cara saja dari cara-cara yang ada. Begitu pula Simon, yang melihat bahwa ketidak-konsistenan yang terdapat dalam prinsip-prinsip manajemen ilmiah, misalnya antara prinsip span of management dengan prinsip communication.

Kritik yang demikian menuntut disusunnya teori organisasi dan manajemen baru yang dikenal dengan teori organisasi dan manajemen publik (OMP), yang diharapkan lebih relevan dan lebih tepat apabila diterapkan dalam pemerintahan dan administrasi negara. Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk memberikan pengenalan tentang teori tersebut. perbedaannya dengan teori organisasi dan manajemen swasta (OMS), pendekatan-pendekatan yang dimilikinya, serta beberapa karakteristik OMP modern. Pembahasan ini dianggap penting  mengingat bahwa OMP mulai dipopulerkan untuk diajarkan baik di jurusan ilmu pemerintahan maupun administrasi negara dalam rangka memberikan bekal yang lebih relevan bagi para calon administrator publik, manajer publik, ahli analis kebijakan maupun para calon akademisi kedua disiplin keilmuan tersebut.



B. Batasan dan Ruang Lingkup
Batasan tentang organisasi sangat bervariasi. Nicholas Henry (1988), setelah mempelajari berbagai batasan yang dikemukakan beberapa ahli seperti Victor A. Thompson, Chester A. Barnard, dan E. Wight Bakke, mengatakan bahwa kesimpulan dari berbagai batasan tersebut ternyata berbeda-beda. Atau dengan kata lain , setiap ahli memandang organisasi secara berbeda. Selanjutnya Henry (1988: 73) menyebutkan beberapa karakteristik yang pasti dari suatu organisasi adalah bahwa organisasi: 1) punya maksud tertentu, dan merupakan kumpulan berbagai macam manusia; 2) punya hubungan sekunder atau impersonal; 3) punya tujuan yang khusus dan terbatas; 4) punya kegiatan kerja sama pendukung; 5) terintegrasi dalam sistem sosial yang lebih luas; 6) menghasilkan barang dan jasa untuk lingkungannya; serta 7) sangat terpengaruh atas setiap perubahan lingkungan. Sedangkan khusus untuk organisasi publik dapat dirumuskan dengan menambah satu karakteristik lagi, yakni: memperoleh sumber-sumbernya (pajak dan legitimasi) dari negara, dan dijembatani oleh lembaga-lembaga kenegaraan. Organisasi publik sering terlihat pada bentuk organisasi instansi pemerintah yang juga dikenal dengan birokrasi pemerintah. Istilah birokrasi ini diberikan kepada instansi pemerintah karena pada awalnya tipe organisasi yang ideal yang disebut birokrasi merupakan bentuk yang diterima dan diterapkan oleh instansi pemerintah.

Manajemen publik tidak lain dari manajemen instansi pemerintah. Overman (dalam Keban, 1994) mengemukakan bahwa manajemen publik bukanlah “manajemen ilmiah”, meskipun sangat dipengaruhi oleh “manajemen ilmiah”. Manajemen publik juga bukan “analisis kebijakan”, bukan administrasi publik yang baru, atau kerangka yang lebih baru. Manajemen publik merefleksikan tekanan-tekanan antara orientasi “rational-instrumental” pada satu pihak, dan orientasi politik kebijakan di pihak lain. Manajemen publik adalah suatu studi interdisipliner dari aspek-aspek umum organisasi. Ia merupakan gabungan fungsi-fungsi manajemen seperti: perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan dengan sumber daya manusia, keuangan, fisik, informasi dan politik. Berdasarkan pandangan tersebut, Ott, Hyde dan Shafritz (1991:xi) mengemukakan bahwa manajemen publik dan kebijakan publik merupakan dua bidang pemerintahan yang tumpang tindih. Tapi untuk membedakan keduanya, dapat dikemukakan bahwa kebijakan publik merefleksikan “sistem otak dan syaraf’ , sementara manajemen publik mempresentasikan “sistem jantung dan sirkulasi” dalam tubuh manusia.

Catheryn Seckler Hudson (Shafritz & Hyde:1987) memberikan masing-masing penjelasan konsep organisasi di satu pihak  dan manajemen dipihak lain agar tidak membingungkan. Organisasi adalah pembagian dan unifikasi dari usaha dalam rangka mencapai suatu tujuan atau kebijakan. Manajemen didefinisikan sebagai pemanfaatan yang efektif sumber daya manusia dan material dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Jadi, berdasarkan pendapat Hudson, apabila digabungkan, OMP dapat diartikan sebagai pembagian dan pemanfaatan sumber daya manusia dan materi berdasarkan kebijakan publik yang diarahkan oleh pemerintah pusat dalam organisasi publik dengan menggunakan metode kerja, sistem informasi dan koordinasi yang efektif di dalam lingkungan publik yang dinamis.

Apa saja yang merupakan ruang lingkup kajian OMP merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam memahami isu-isu yang berkembang di dalamnya.  Setidaknya, terdapat sejumlah arena yang merupakan ruang lingkup OMP, dimana pemerintah dituntut menerapkan pola bertindak yang berbeda pada masing-masing arena.

Harmon dan Mayer (1986) mengindikasikan adanya tiga arena OMP, yaitu:

1. Inter-organizational arena. Suatu arena dimana administrator publik bertindak sebagai wakil dan agen dari organisasi dalam berhubungan dengan organisasi-organisasi lain. Di arena ini terjadi hubungan antar organisasi, masing-masing aktor dalam melakukan hubungan mengemban misi dari organisasi yang diwakilinya. Dalam arena ini berbagai isu keorganisasian dapat muncul, misalnya bagaimana melakukan koordinasi antar intansi dalam penyelenggaraan program antar sektor, bagaimana menciptakan hubungan yang serasi dan dinamis antara intansi pusat dengan daerah, bagaimana memelihara hubungan antar organisasi pada tingkat lokal, nasional, regional, atau internasional.

2. Intra-organizational relations. Dalam arena ini yang menonjol adalah struktur internal yang mendefinisikan hubungan dalam organisasi. Hubungan ini dapat digambarkan dalam bagan yang menunjukkan siapa menjabat apa, siapa melapor kepada siapa dalam satu unit organisasi. Disini manusia dalam organisasi bertindak mewakili peranan individual yang dimainkan (sebagai kepala, sekretaris, atau bendahara) bukan sebagai pribadi yang utuh. Hal yang ditonjolkan di sini adalah bagaimana suatu peran berhubungan dengan peran lain. Dalam kerangka hubungan ini kita dapat membedakan antara organisasi formal dan organisasi informal. Pada organisasi formal, hubungan yang terjadi adalah dalam kaitanya dengan peran formal yang secara sah diemban oleh setiap aktor, sedangkan pada organisasi informal hubungan antar individu terjadi di luar peranan formal tersebut, tetapi berdasarkan kesepakatan tidak resmi atau tradisi. Dalam arena ini berbagai isu keorganisasian dapat muncul, misalnya bagaimana menentukan deskripsi kerja dan kordinasi kerja antar bagian dalam suatu organisasi, bagaiamana mengatur mekanisme pelaporan yang efisien atau sistem pengendalian yang efektif, dan sebagainya.

3. Organization to individual relations. Dalam arena ini hubungan yang terjadi adalah antara individu yang bertindak di bawah otoritas yang dimilikinya (nisalnya sebagai manajer atau sebagai kasir) dengan orang-orang lain sebagai pribadi baik yang ada di dalam atau di luar organisasi. Termasuk dalam kategori ini adalah hubungan antara manajer (mewakili kepentingan organisasi) dengan pekerja (mewakili kepentingan pribadi sebagai penjual tenaga), atau antara petugas lapangan (mewakili kepentingan organisasi) dengan kliennya (mewakili kepentingan pribadi mereka). Dalam arena ini berbagai isu keorganisasian penting dapat muncul, misalnya bagaimana memotivasi bawahan, bagaimana menyelesaikan konflik dalam organisasi, bagaimana menyelenggarakan pelayanan yang memuaskan kepentingan langganan, dan sebagainya.

Walaupun organisasi dan manajemen merupakan proses universal, tetapi ligkungan yang berbeda menuntut organisasi dan manajemen yang berbeda pula. Pembedaan terutama dapat dibuat antara OMP dan OMS. John T. Dunlop (Lane, 1986) mengemukakan sepuluh aspek yang secara tegas membedakan OMP dan OMS, yaitu:

1. Perspektif Waktu. Pejabat OMP cenderung mempunyai horison waktu yang lebih pendek karena masa kerjanya dibatasi oleh kalender politik (misalnya setiap lima tahun), sementara dalam OMS tidak terpengaruh oleh kalender politik tersebut sehingga horison waktunya dapat lebih panjang.

2. Lamanya Menjabat. Karena faktor tersebut pertama, jangka waktu manajer puncak/ pejabat tinggi dalam OMP secara relatif lebih pendek dibanding masa jabatan dalam OMS.

3. Ukuran Keberhasilan. Sulit jikapun ada kesepakatan tentang ukuran untuk menentukan keberhasilan pimpinan OMP, sementara untuk OMS sejumlah ukuran dapat disepakati, seperti: keuntungan finansial, luasnya pasar.

4. Kendala Kepegawaian. Pegawai negeri lebih sulit dikendalikan (dibuat menjadi lebih efisien, produktif, jujur) ketimbang pegawai swasta.

5. Kesamaan dan Efisiensi. Di sektor publik tekanan lebih diberikan kepeda peningkatan kesamaan manfaat dari suatu program publik untuk berbagai kelompok masyarakat, sementara di sektor swasta tekanan utamanya pada peningkatan efisiensi.

6. Proses Publik Lawan Proses Swasta. OMP lebih cenderung disorot masyarakat luas, sementara OMS cenderung kurang disorot atau lebih merupakan proses internal.

7. Peranan Media Massa. OMP harus senentiasa berhadapan dengan media massa yang meliput aktivitas dan melaporkan kinerjanya, sementara hal serupa kurang banyak terjadi dalam OMS.

8. Persuasi dan Pengarahan. Pejabat publik cenderung bersikap kompromis terhadap tekanan yang saling berlawanan, sementara pimpinan swasta kurang memperoleh tekanan semacam itu sehingga tidak banyak mengalami kontradiksi-kontradiksi dalam mengambil keputusan.

9. Dampak Legislatif dan Judisial. Pejabat publik seringkali menerima pengawasan dari legislatif atau bahkan dipengaruhi oleh keputusan peradilan, sementara pimpinan swasta lebih leluasa untuk bertindak.

10. Misi. Misi pemerintah sering terlalu abstrak, kurang operasional dibanding organisasi swasta (misalnya mencari untung, memperluas pasar, atau menjaga kelangsungan organisasi).

Namun demikian, pembedaan OMP dan OMS dari sudut kepublikan (publicness) masih menjadi polemik dalam literatur organisasi dan manajemen. Benar bahwa organisasi publik mempunyai warna publik yang menonjol. Tetapi organisasi swasta juga warna publik. Barry Bozeman (1987), dalam bukunya “All Organizations Are Public: Bridging Public and Private Organizational Theories” berpendapat bahwa “some organizations are governmental, but all organizations are public, “ dan kepublikan (publicness) dipandang sebagai kunci dalam memahami perilaku organisasi dan manajemen di semua organisasi, tidak hanya organisasi pemerintahan.

Kepublikan yang dimaksud oleh Bozeman adalah “ the degree to which the organization is affected by political authority”. Dalam hal ini organisasi swasta pada derajat tertentu dipengaruhi oleh otoritas publik, dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh organisasi pemerintah, misalnya kontrol media massa, tidak adanya bottom line, pengaruh politik dalam pengambilan keputusan, dialami juga oleh organisasi swasta. Karena itu organisasi publik tidak cukup diartikan sebagai organisasi pemerintah, dan organisasi non-pemerintah dapat juga disebut sebagai organisasi publik.


C. Pendekatan OMP
Karena adanya perbedaan-perbedaan yang jelas antara OMP dan OMS, maka studi OMP perlu menggunakan pendekatan yang berbeda dengan studi OMS. John J. Dilulio, Jr (1989) mengusulkan pendekatan yang harus diambil dalam studi OMP, yaitu:

1. Pendekatan Normatif.
Pendekatan normatif melihat organisasi dan manajemen sebagai suatu proses penyelesaian tugas atau pencapaian tujuan. Efektivitas dari proses tersebut diukur dari apakah kegaitan-kegiatan organisasi direncanakan, diorganisir, dikoordinasikan, dan dikontrol secara lebih efsien. Organisasi Manajemen Normatif (OMN) sejak pembentukannya lebih bersifat “profit oriented” atau “business oriented” dan karena itu dianggap tidak cocok dengan ideologi pemerintahan dan administrasi negara yang lebih beorientasi kepada “public service”. OMN tersebut mendapat pengaruh yang kuat dari POSDCORB dan manajemen klasik.
Namun demikian, hal ini tidak berarti OMN harus dikesampingkan. dalam konteks tertentu dari “public service” itu, OMN masih penting peranannya, misalnya dalam menangani pekerjaan BUMN dan BUMD.

Badan-badan tersebut lebih berorientasi pada upaya mencari keuntungan buat daerah dalam rangka menunjang pembangunan di daerah sehingga lebih cenderung berpegang kepada prinsip-prinsip manajemen perusahaan. OMN yang sudah memanfaatkan kemajuan “science”, mutlak diperlukan.
Termasuk dalam pendekatan tersebut adalah beberapa fungsi yang sangat bersifat universal, yang dapat diperinci sebagai berikut:

a) Planning: suatu proses pengambilan keputusan tentang apa tujuan yang harus dicapai pada kurun waktu tertentu di masa mendatang dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Proses tersebut terdiri dari dua elemen, yaitu penetapan tujuan dan menentukan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi ini menghasilkan dan mengintegrasikan tujuan, strategi, dan kebijakan.

b) Organizing: suatu proses pembagian kerja (division of labour) yang disertai dengan pendelegasian wewenang. Organizing sangat bermanfaat dalam memberikan informasi tentang garis kewenangan agar setiap anggota dalam organisasi bisa mengetahui apa kepada siapa dia memberi perintah dan dari siapa dia menerima perintah. Organizing juga diperlukan untuk memperbaiki efisiensi kerja dan kualitas pekerjaan melalui “synergism” yang baik dimana orang bekerja bersama-sama akan meberikan output yang lebih besar daripada bekerja secara sendiri-sendiri. Disamping itu, organizing juga dapat memperbaiki komunikasi. Suatu struktur organisasi yang jelas dapat menggambarkan garis komunikasi antar anggota.

c) Staffing: suatu proses untuk memperoleh tenaga yang tepat, baik dalam jumlah maupun kualitas sesuai dengan kebutuhan pekerjaan dalam organisasi.

d) Coordinating: suatu proses pengintegrasian kegiatan-kegiatn dan terget/ tujuan dari berbagai unit kerja dari suatu organisasi agar dapat mencapai tujuan secara efisien. Tanpa kordinasi, individu-individu dan bagian-bagian yang ada akan bekerja menuju arah yang berlainan dengan irama/ kecepatan yang berbeda-beda. Demikian pula, tanpa koordinasi, masing-masing bekerja sesuai dengan kepentingannya masing-masing dengan mengorbankan kepentingan organisasi secara keseluruhan.

e) Motivating: suatu proses pemberian dorongan kepada para anggota organisasi agar mereka dapat bekerja sesuai dengan tujuan organisasi. Proses tersebut dapat dipahami melalui suatu mekanisme berikut: Kebutuhan mempnegaruhi dorongan kerja, dan dorongan kerja mempengaruhi pencapaian tujuan. Berdasarkan mekanisme tersebut, seorang manajer harus memahami hakekat kebutuhan manusia dan dorongan kerjanya.

f) Controlling: suatu fungsi manajemen yang mencari kecocokan antara kegiatan-kegiatan aktual dengan kegiatan-kegiatan yang direncanakan. Fungsi tersebut sangat berkaitan dengan perencanaan yaitu merupakan feedback bagi perencanaan pada masa yang akan datang.

2. Pendekatan Deskriptif
Pendekatan Organisasi Manajemen Deskriptif (OMD) menurut Mintzberg, 1973 menggambarkan bahwa dalam kenyataannya seorang manajer lebih terlibat dalam melakukan kegiatan-kegiatan personal, interaktif, administratif, dan teknis, bukan kegiatan-kegiatan yang tergolong dalam pendekatan OMN di atas.

a) Kegiatan personal: adalah suatu kegiatan yang dilakukan manajer publik untuk mengatur waktunya sendiri, berbicara dengan para broker, menghadiri pertandingan  dan kegiatan-kegiatan lain yang memuaskan dirinya atau keluarganya. Dalam konteks organisasi, kegiatan-kegiatan ini mungkin dianggap tidak penting, tetapi sebagai manusia, seorang manajer publik pasti terlibat, bahkan kadang-kadang menentukan keberhasilan kariernya. Seorang manajer publik yang berhasil mengatur kegiatan-kegiatan persoanlnya akan lebih sukses dalam memimpin organisasi.

b) Kegiatan interaktif: Manajer publik biasanya menggunakan banyak waktu untuk melakukan interaksi dengan bawahan, atasan, pelanggan, organisasi lain, dan pemimpin-pemimpin masyarakat. Biasanya dua pertiga dari waktu yang ada digunakan untuk kegiatan-kegiatan tersebut. Peranan yang dimainkan oleh manajer publik dalam konteks tersebut terdiri dari interpersonal, informational, dan decision making.

c) Kegiatan administratif: Kegiatan ini mencakup surat-menyurat, penyediaan dan pengaturan budget, monitoring kebijakan dan prosedur, penanganan masalah kepegawaian. Biasanya para manajer publik hanya menggunakan sebagian kecil saja dari waktu yang tersedia. Meskipun demikian, pengalaman menunjukkan bahwa banyak manajer publik yang mengeluh dengan kegiatan-kegiatan tersebut.

d) Kegiatan teknis: Kegiatan ini merupakan kegiatan seorang manajer publik untuk memecahkan masalah-masalah teknis, melakukan supervisi terhadap pekerjaan teknis, dan bekerja dengan menggunakan peralatan-peralatan dan perlengkapan-perlengkapan.

Disamping pandangan deskriptif yang dikemukakan oleh Mintzberg tersebut, ada juga pendekatan deskriptif  PAFHRIER yang didasarkan atas penemuan Garson dan Oveman (Keban, 1995) tentang apa yang dilakukan oleh manajer publik di Amerika Serikat. PAFHRIER merupakan singkatan dari Policy Analysis, Financial Management, Human Resource Management, Information Management, dan External Relations. Policy analysis merupakan pengembangan lebih lanjut dari planning dan reporting; human resource management merupakan pengembangan dari staffing, directing dan coordinating; financial management merupakan pengembangan dari budgeting; dan information management merupakan pengembangan dari reporting, directing, dan coordinating.

Isi dari masing-masing pendekatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Policy Analysis.  Tugas pertama dari para manajer publik adalah melakukan analisis kebijakan publik. Perlu diperhatikan bahwa hanya manajer publik pada level yang lebih tinggi atau yang diberi wewenang dan tanggung jawab yang melakukan tugas tersebut. Tugas tersebut meliputi tiga kegiatan pokok yaitu perumusan masalah, identifikasi alternatif, dan proses seleksi alternatif.

b). Financial Management. Inti manajemen keuangan publik adalah bagaimana mengatur anggaran. Suatu anggaran publik adalah: 1) suatu pernyataan fiskal yang menggambarkan pendapatan dan pengeluaran dari semua unit-unit organisasi pemerintah, dan 2) suatu mekanisme untuk menegndalikan, mengatur, mengimplementasikan dan mengevaluasi semua kegiatan dari instansi pemerintah.

c) Human Resource Management. Dalam manajemen sumber daya manusia ada tiga hal pokok yang harus dipertimbangkan. Pertama, menyangkut bagaimana memperoleh SDM dalam jumlah dan kualitas yang tepat. Kedua, bagaimana meningkatkan kualitas pengembangan SDM sedemikian rupa sehingga mereka dapat bekerja sebaik mungkin dan dengan semangat yang tinggi, dan ketiga, bagaimana memimpin dan mengendalikan mereka sesuai dengan tujuan organisasi.

d) Information Management. Manajemen informasi sangat penting dalam suatu organisasi lebih-lebih organisasi yang telah berkembang dan kompleks. Informasi-informasi yang digunakan dalam perencanaan, pengambilan keputusan, penilaian pekerjaan, sistem monitoring dan pengendalian, harus ditata, disusun dan disimpan secara teratur, sehingga dapat dengan mudah diperoleh apabila dibutuhkan. Pengelolaan informasi tersebut kini sangat menentukan keberhasilan suatu organisasi, dan karenanya dikelola dalam suatu bidang disiplin yang disebut MIS (Management Information System).

e) External Relations. Suatu organisasi publik berada dalam suatu lingkungan yang sangat mempengaruhi dinamikanya. Karena itu, suatu organisasi harus menjaga hubungan luar. Lingkungan ini pada prinsipnya berasal dari organisasi lain atau unit lain, maupun masyarakat luas. Unit lain dalam organisasi yang sama, tidak dapat disangkal merupakan partner kerja yang sangat penting dalam rangka mencapai tujuan organisasi.


D. Menuju OMP Modern
OMP modern disebut oleh Max Weber sebagai birokrasi. Birokrasi adalah institusi formal yang ditata berdasarkan atas legitimitas rasional, mendasarkan diri pada peraturan-peraturan yang bersifat impersonal, orang yang bekerja di dalamnya menganggap pekerjaan di birokrasi sebagai karier, mereka masuk ke dalam birokrasi melalui proses seleksi yang obyektif didasarkan atas kriteria profesionalisme, dan di dalam birokrasi tersedia jenjang-jenjang karier dengan sistem konpensasi yang jelas.

Secara lebih operasional, Luther Gulick mengemukakan prinsip-prinsip OMP modern yang diasumsikan bersifat universal (validitasnya tidak dibatasi oleh tempat dan waktu). Prinsip-prinsip yang dikemukakannya adalah sebagai berikut:


1. The Division of Work
Karena setiap manusia berbeda dalam sifat, bakat, kemampuan dan ketrampilan, maka diperlukan pembagian kerja. Manusia yang sama tak mungkin berada di dua tempat yang berbeda pada saat yang sama. Cakrawala pengetahuan dan ketrampilan itu begitu luasnya sehingga sepanjang hayatnya seseorang hanya akan mampu menguasai sebagian kecil diantaranya. Waktu dan ruang membatasi kemampuan seseorang. Oleh karena itu, pembagian kerja merupakan kebutuhan setiap organisasi, bagaimanapun sederhananya. Tetapi pembagian kerja semakin dituntut seiring dengan perkembangan industrialisasi, karena ketika proses produksi menjadi kompleks, menggunakan  teknologi yang semakin canggih, dan skala produksi yang semakin tinggi, tidak mungkin satu orang mengerjakan segalanya.

Namun pembagian kerja ada batasnya. Pada batas tertentu, pembagian kerja tidak dapat dikembangkan lebih jauh lagi. Ada beberapa faktor yang menentukan batas pembagian kerja (limits of division). Faktor pertama bersifat praktis, yaitu menyangkut  alokasi waktu setiap pekerja. Pembagian kerja tidak boleh sampai membuat masing-masing pegawai membutuhkan waktu yanglebih pendek untuk menyelesaikan tugasnya dari seluruh waktu kerjanya. Ringkasnya, jangan sampai pembagian kerja justru menimbulkan pengangguran terselubung. Faktor kedua berkenaan dengan tekologi atau kebiasaan.

Dalam beberapa kasus, pekerjaan yang berbeda kadang-kadang justru lebih efektif apabila dikerjakan oleh orang yang sama. Misalnya, untuk kantor yang tidak terlalu besar, pekerjaan kesekretariatan (mengetik, filing surat, dll) dan penerimaan telepon (bell-boy) dapat diperankan oleh orang yang sama. Demikian pula di sejumlah pabrik pekerjaan elektronik dan perbaikan ledeng justru lebih efektif jika digabungkan. Batasan ketiga adalah pembagian kerja hanya tepat jika sifatnya fisik, bukan organik. Misalnya, tidak ada manfaatnya jika seorang perawat kendaraan dinas diberi pekerjaan khusus merawat hanya bagian depan kendaraan dan bagian belakang secara khusus diberikan kepada petugas lainnya.


2. Koordinasi Kerja
Dalam melakukan pembagian kerja terdapat suatu kesatuan tugas yang besar (the whole) perlu diperhatikan integrasi bagian-bagian (parts). Untuk bisa demikian harus ada koordinasi kerja. OMP dengan struktur otoritas yang ada dan jaringan komunikasi antara eksekutif di pusat dengan para stafnya merupakan cara terbaik untuk  mencapai koordinasi. Struktur otoritas ini tidak hanya terdiri dari banyak orang yang bekerja sendiri di banyak tempat pada waktu tertentu, tetapi juga Atasan tunggal yang mempunyai otoritas untuk mengatur pekerjaan orang-orang tersebut. Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan agar terjadi koordinasi kerja yang baik, yaitu: rentang kontrol (the span of control), satu bos (one master), efisiensi teknis (technical efficiency), dan pengendalian pimpinan (caveamus expertum).

Dari pandangan beberapa pakar lainnya tentang formulasi OMP modern, juga dapat diamati bahwa ciri-ciri ilmiah sangat menonjol. Kecuali itu, ciri-ciri  sosio-psikologis juga mengemuka. Hal ini disebabkan karena para manajer publik terkelompokkan dalam lingkungan sosiaologik, sedangkan secara perorangan setiap manajer publik merupakan faktor produksi yang peka terhadap perubahan perilaku yang psikologis. Jadi, ciri-ciri sosio-psikologis dapat dikenakan pada OMP.

Seementara itu, keikutsertaan seluruh anggota manajemen, menuntut pengelolaan yang khas bagi SDM (HRD). Dengan cara itu, OMP modern juga memerlukan SDM yang profesional dan memiliki pola karier yang mantap. Dalam implementasinya, pengembangan SDM melekat secara langsung pada manajemen organisasi publik. OMP modern, dengan demikian secara lekat pula menggiatkan organisasi itu disamping memerlukan penyesuaian terhadap perubahan waktu. Ciri-ciri yang ditandai dengan keilmiahan, sosio-psikologis, pengembangan SDM, dan waktu serta dipergunakannya prinsip-prinsip eksprimentasi, kalkulasi, analitik, manfaat bagi masyarakat, kemahiran bermanajemen bagi perorangan dan kelompok, koordinasi yang lancar antar kelompok dan perorangan, program budaya kerja, dan manajemen strategis, secara jelas membedakan OMP modern dengan OM lainnya.

Pada tingkat perkembangan global dewasa ini, setiap sistem OMP merupakan sistem OM terbuka dan harus membuka diri dan menyatu dengan lingkungannya (bersifat kontingensial). Kontingensi dan interaksi antara suatu sistem OMP dengan lingkungan sosial politik, ekonomi dan budaya melahirkan kebutuhan yang bersasaran ganda, yaitu: 1) pemahaman akan posisi dan peranan OMP dalam kerangka kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, dan juga sebagai warga dunia dengan kondisinya yang selalu berkembang secara dinamis menurut ruang dan waktu; dan 2) peningkatan kemampuannya dalam memberikan jawaban atas tantangan, peluang, ataupun kendala yang dihadapi baik intern (inter administrative system) maupun ekstern (dalam kontingensi dan interaksi dengan lingkungannya), secara tepat, efektif dan efisien sehingga mampu mencapai tujuan secara optimal.

Untuk mencapai sistem OMP yang demikian, diperlukan “pembangunan OMP” dengan pendekatan antardisiplin, namun tetap perlu memperhatikan kehadiran berbagai dimensi OM secara proporsional. Dimensi-dismensi pokok yang senantiasa melekat atau terkandung didalam sistem OMP modern adalah: dimensi nilai, dimensi struktural, dimensi fungsional, dimensi teknologi dan informasi, dan dimensi perilaku. Dalam praktek, kelima dimensi tersebut merupakan satu kesatuan “sistemik”, meskipun secara analitis dapat dipisahkan.

Dalam konteks pembangunan dan dinamika lingkungan yang kompleks dan luas dewasa ini, sistem OMP diisyaratkan untuk dapat berperan dan mengembangkan diri sebagai suatu sistem manajemen strategis, yang ditandai antara lain dengan keterpaduannya dalam menyelenggarakan keseluruhan siklus dan hirarki kebijakan. Sejalan dengan posisi dan peranan demikian, sistem OMP dapat memanfaatkan antara lain studi “analisis kebijakan”, manajemen berdasarkan sasaran (MBO), sistem informasi dan komputer, sibernetik, di samping teknik-teknik perencanaan termasuk “strategic planning” yang selama ini telah dikenal. Dalam analisis kebijakan, permasalahan ekonomi, kemasyarakatan dan pemerintahan (public affairs), yang lazimnya memepunyai interdependensi yang kompleks, cenderung dikaji secara “sistemik”. Pendekatan analisis sistem (system analysis) dimana teori pengambilan keputusan (decision making theory), ilmu manajemen (management science), penelitian operasi (operation research), ekonomitrika (econometrics), dan berbagai pendekatan kuantitatif lainnya, merupakan peralatan yang dapat digunakan dalam perencanaan dan analisis kebijakan, di samping substansi disipliner ekonomi, politik, administrasi, pendidikan, kependudukan, bisnis dan sebagainya. Dalam rangka pembentukan kebijakan publik diperlukan pula pengamatan mengenai keseluruhan unsur sistemik seperti struktur, fungsi dan perilaku kelembagaan dalam penyusunan kebijakan dan “pengambilan keputusan” ataupun dalam tahapan manajerial lainnya.

Akhirnya, sukses penerapan berbagai ciri-ciri, prinsip-prinsip, maupun berbagai dimensi “OMP  modern” tersebut dalam PJP II akan dapat diukur antara lain dari perubahan-perubahan perilaku yang ditandai oleh kemampuan aparatur negara dalam menerapkan kaidah-kaidah penuntun sebagaimana diamanatkan GBHN, peningkatan efisiensi dan produktivitas aparatur negara, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.


DAFTAR PUSTAKA
Darwin, Muhadjir, Teori Organisasi Publik, Magister Administrasi Publik UGM, Yogyakarta, 1994.
Denhart, Robert B., Theories of Public Organization, Montery CA: Books/ Cole Publishing Company, 1984.
Harmon, Michael M. dan Richard T. Mayor, Organization Theory for Public Administration, Boston: Little, Brown & Co, 1986.
Henry, Nicholas, Administrasi Negara dan Masalah-masalah Kenegaraan, Rajawali Pers, Jakarta, 1988.
Keban, Yeremias T., Manajemen Publik dalam Konteks Normatif dan Deskriptif, Laporan Penelitian Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fisipol UGM, Yogyakarta, 1994.
————————, Pengantar Administrasi Negara, Modul Untuk Matrikulasi PS Administrasi Negara Program Pasca Sarjana UGM, 1995.
Lane, Frederick S., Current Issues in Public Administration (third edition), New York: St. Martin’s Press, 1986.
Mustopadidjaja, “Dimensi-dimensi Teoritis Manajemen Modern” dalam Manajemen Pembangunan, No. 10/III, 1995.
Shafritz, J.M., dan A.C. Hyde, Classics of Public Administration, Pacific Grove, CA: Brooks/ Cole Publishing Company, 1987.
Shafritz J.M., Ott J.S, dan A.C. Hyde, Public Management: The Essential Reading, Chicago, Il: Lyceum Books/ Nelson-Hall Publisher, 1991.
Sukarno, Suyoso, “Pengembangan dan Penerapan Prinsip-prinsip Manajemen Modern Sesuai dengan Budaya Bangsa”, dalam Pembaharuan Administrasi Dalam Menghadapi Era Globalisasi, Pimpinan Pusat PERSADI, Jakarta, 1995.

*Penulis adalah Peneliti dan Dosen universitas Warmadewa, Bali..


Tag:

Bagikan Ini

Baca Juga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar