PARADIGMA PENELITIAN NATURALISTIK


Oleh: Drs. Suyitno, M.A.

 Sejatinya setiap model suatu penelitian mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Di kalangan antropolog misalnya, mereka telah mengembangkan dan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif sebagai metodenya. 
Para sosiolog juga telah mengkombinasikan teknik-teknik survei dengan pendekatan naturalistik guna mengembangkan arah observasinya. Begitu pun para ahli psikologi, linguistik, etno-musikologi dan ahli lainnya, juga telah menggunakan dan memperbaiki pendekatan mereka dalam usaha mengetahui dan memahami realita yang diteliti, dengan menggunakan istilah-istilah, seperti studi kasus, inkuiri interpretatif dan fenomenologi.
            
Lincoln dan Guba (1985: 39), lebih suka menggunakan istilah Naturalistik Inquiry  oleh karena ciri yang menonjol dari penelitian ini adalah cara pengamatan dan pengumpulan datanya dilakukan dalam latar/ setting alamiah, artinya tanpa memanipulasi subyek yang diteliti (sebagaimana adanya natur). Menurut perkembangannya, pendekatan ini bukanlah hal baru. Hanya saja perhatian para ahli secara intens barulah pada dekade terakhir ini.
            
Inkuiri Naturalistik digolongkan ke dalam pendekatan/ penelitian kualitatif untuk membedakannya dari penelitian kuantitatif. Perbedaan lainnya terletak pada paradigma yang dipergunakan dalam melihat realita atau sesuatu yang menjadi obyek studi. Paragidma itu sendiri tidak lain adalah representasi konseptualisasi tentang sesuatu, atau pandangan terhdap sesuatu. Dengan kata lain paradigma merupakan suatu cara memahami realita. Dalam penelitian, hal ini mencakup keyakinan terhadap sifat dasar dari realitas (yang diamati), hubungan antara orang yang mencoba mengetahui sesuatu (peneliti) dan hal yang mereka coba ketahui (yang diteliti), peranan/ pengaruh dari nilai-nilai (yang dianut peneliti) dan variabel-variabel lainnya yang serupa itu.

 

B. Sekitar Istilah Naturalistik

            
Paradigma naturalistik disebut juga paradigma definisi sosial, paradigma non-positivistik, paradigma mikro dan pemberdayaan. Kendatipun menggunakan istilah yang beragam, keempat istilah tersebut pada umumnya memiliki pengertian yang yang sama dan merupakan rumpun paradigma penelitian kualitatif.
            
Secara sederhana inkuiri naturalistik dapat didefinisikan sebagai inkuiri yang dilakukan dalam latar/ setting alamiah dengan menggunakan metode yang alamiah pula (Aliasar 1998: 4). Sedangkan paradigma definisi sosial (social defenition) menekankan hakikat kenyataan sosial yang didasarkan pada definisi subyektif dan penilaiannya. Struktur sosial menunjuk pada definisi bersama yang dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok dan menghubungkan satu sama lain. Tindakan-tindakan individu serta pola-pola interaksinya dibimbing oleh definisi bersama dan dikonstruksikan melalui proses interaksi.
            
Bagi penganut paradigma ini, realitas sosial yang menjadi obyek penelitian tidak mesti bersifat perilaku sosial yang kasat mata saja, melainkan juga keseluruhan makna kultural yang simbolik termasuk tindakan yang tidak kasat mata. Jadi sumber perilaku sosial itu seperti dikatakan  Suprayogo dan Tobroni (2001: 101), tidak hanya berasal dari luar individu yang semata-mata mengikuti hukum kausalitas, namun bersumber pula dari dalam diri subyek (inner perspective of human behavior) dan makna pengalaman individu (the meaning of an individual’s experience of the world). Dengan kata lain, realitas dalam paradigma ini ditentukan sendiri oleh subyek yang diteliti.
            
Hal ini dapat dimengerti, sebab fenomena sosial tidak mungkin dipahami dengan fenomena alam. Oleh karena itu, agaknya kurang tepat menggunakan pendekatan ilmu alam dalam kasus ilmu-ilmu sosial. Fenomena sosial mesti dipahami dari perspektif dalam (inner perspective) berdasarkan subyek pelaku. Bagi Weber sebagaimana dikutip Johnson (1994: 54) tindakan sosial sebagai bagian fenomena sosial merupakan bentuk perilaku manusia secara keseluruhan. Dengan demikian jelas bahwa penelitian yang menggunakan paradigma naturalistik bertujuan untuk memahami (understanding) makna perilaku, simbol-simbol dan fenomena-fenomena.

 

C. Karakteristik Naturalistik

            
Dalam hal ini Bogdan dan Biklen, sebagaimana dikutip J. Moleong (2001: 4) mengajukan lima buah ciri. Sedangkan Guba seperti ditulis  Muhadjir (1998: 108) menetapkannya empat belas karakteristik. Di antara karakteristik tersebut adalah:
1.                   
Berlatar alamiah

Peneliti yang mengadakan penelitian terhadap komunitas suatu pesantren misalnya, ia tidak saja akan mengamatinya ketika mereka berinteraksi di ruang belajar, tetapi juga di beberapa tempat lain yang biasanya dijadikan tempat berkumpul, seperti masjid, asrama, aula, kafetaria, kediaman pimpinan pesantren dan sebagainya.

Inilah gambaran konteks natural, karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya. Bagaimanapun tindakan pengamatan mempengaruhi apa yang dilihat, karenanya hubungan penelitian mesti mengambil tempat pada keutuhan dalam konteks untuk keperluhan pemahaman.

Manusia sebagai instrumen

Sifat naturalistik menuntut supaya diri sendiri atau manusia lain menjadi alat pengumpul data utama. Sebab, jika memanfaatkan instrumen yang bukan manusia dan mempersiapkannya terlebih dahulu, maka akan menemukan kesulitan untuk mengadakan penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan. Di samping itu, komunikasi dengan responden dan sekaligus memahaminya berdasarkan konteksnya, hanya mungkin dilakukan oleh manusia. Nilai lebih lain dari “manusia sebagai instrumen” adalah sifatnya yang responsif, adaptif, lebih holistik, memiliki suatu kesadaran pada konteks yang tak terkatakan, mampu mengklarifikasi, menjelajahi jawaban dan menggali pemahaman yang mendalam.
  
Teori dari dasar (grounded theory)
Elden mendeskripsikan grounded theori sebagai local theory. Para ahli ilmu sosial, khususnya bidang sosiologi, berupaya menemukan teori berdasar data empirik, bukan membangun teori  secara deduktiflogis. Itulah yang disebut dengan grounded theory, dan model penelitiannya disebut grounded research.  Sedangkan Mudzhar (1998: 47) menjelaskan metode grounded research sebagai metode penelitian sosial yang bertujuan untuk menemukan teori melalui data yang diperoleh secara sistematik dengan menggunakan metode analisis konstan. 

Barney G. Glaser dan Anselm Strauss sendiri sebagai pionir metode  ini dalam bukunya “The Discovery of Grounded Theory” juga memperkuat bahwa toeri itu diperoleh dari data akhir lapangan, bukan yang telah dirumuskan di belakang meja sebelum penelitian dimulai. Karena teori ini dihasilkan berdasarkan data, maka ia disebut dengan teori berdasar (grounded theory). Bahkan ia juga dapat mencegah pemunculan dan penggunaan teori secara oportunistik karena dikendalikan dan didasarkan oleh data. Pandangan Glaser dan Strauss tersebut sebenarnya sebagai reaksi protes atau pembrontakan terhadap orang-orang seperti Talcott Parsons yang oleh sebagian antropolog dianggap sebagai tukang sulap, karena kesukaannya merumuskan teori hanya dengan spekulasi tanpa mendasarkan pada data empirik.

Teori berdasar data, seperti teori birokrasi dari Weber dan teori bunuh diri dari Durkheim dapat bertahan puluhan tahun karena teori tersebut ditemukan berdasarkan data; berbeda dengan teori konflik dari Lewis Coser dan Dahrendorf atau teori kelas dari Karl Mark, yang disusun secara deduktif dapat membawa penganutnya jauh tersesat (Muhadjir 1998: 87).

Salah satu contoh penelitian agama sebagai gejala sosial yang menggunakan grounded research dilakukan oleh Mudzhar (1998: 57) berjudul “Masjid dan Bakul Keramat: Konflik dan Integrasi dalam Masyarakat Bugis Amparita”. Penelitian ini mempelajari tentang fenomena tiga kelompok keagamaan: orang-orang Islam, orang-orang Towano Tolitang dan orang-orang Tolitang Benteng di desa Amparita berinteraksi satu sama lain, kadang-kadang dalam bentuk konflik, kerja sama bahkan integrasi.
  
Adanya batas, fokus
Paradigma naturalistik menghendaki diterapkannya batas dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian. Ini penting karena, batas menentukan kenyataan ganda dan dapat mempertajam fokus. Sementara penetapan fokus dapat lebih dekat dihubungkan oleh interaksi antara peneliti dan fokus yang pada gilirannya bisa menemukan batas penelitian ataupun lokasi penelitian.  Seperti dipahami bahwa metodologi naturalistik menuntut pendekatan holistik, kebulatan keseluruhan. Dengan pengambilan fokus inilah, ikatan keseluruhan tersebut tidak dihilangkan, tetap terjaga keberadaannya dalam konteks, tidak dilepaskan dari sistem nilai lokalnya.
5.                   
Sampel  secara porposive
Yakni metode pengambilan sampel dengan secara sengaja memilih sampel-sampel tertentu (dengan mengabaikan sampel-sampel lainnya), karena sampel tertentu itu memiliki ciri-ciri khusus yang tidak dimiliki oleh sampel-sampel lainnya (Irawan 1999: 183).

Sifat naturalistik menghindari pengambilan sampel acak (random sampling), yang menekan kemungkinan munculnya kasus menyimpang. Pilihan sampel secara porposive atau teoretik ini, karena sejumlah hal yang dicari dapat dipilih pada kasus-kasus ekstrim, sehingga hal-hal yang dicari tersebut tampil menonjol dan lebih mudah digali maknanya.
Data deskriptif
Yaitu data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan sejenisnya (bukan angka-angka). Dengan demikian penelitian naturalistik akan berisi data berupa kutipan-kutipan, baik yang berasal dari hasil wawancara, catatan-lapangan, fhoto, rekaman vedoe-tape, dokuman pribadi, catatan/memo, dokumen resmi dan lain-lainnya.
7.                 
Analisis data secara induktif
Menurut Irawan (1999: 108), metode induktif diperkenalkan dan dipelopori oleh Francis bacon pada permulaan abad 17. Bacon banyak mengulas dasar-dasar pemikiran yang melatarbelakangi metode ini. Tetapi secara sederhana pengertian metode induktif ini adalah metode pengambilan kesimpulan yang dimuali dari pemahaman  terhadap kasus-kasus khusus ke dalam bentuk kesimpulan umum.  Sifat naturalistik lebih menyukai analisis induktif daripada deduktif, karena dengan cara tersebut konteksnya akan lebih mudah dideskripsikan.

D. Tingkat Keterpercayaan
 Sifat naturalistik memiliki kriteria keterpercayaan sesuai dengan karakteristiknya sendiri. Khusus metodologi positivistik membedakan empat kriteria keterpercayaannya  berupa validitas internal, validitas eksternal, reliabilitas dan obyektivitas. Dalam naturalistik keempatnya diganti oleh Guba sebagaimana dikutip Muhadjir (1998: 126-30) dengan istilah kredibilitas, tranferabilitas, dependabilitas dan konfirmabilitas.
1.                
  Kredibilitas
Ada beberapa yang dipakai naturalis untuk menguji kredibilitas suatu studi, yaitu:
a.                  menguji terpercayanya temuan
Dalam hal ini dapat dilakukan dengan cara memperpanjang waktu tinggal  bersama mereka, obsevasi lebih tekun dan menguji secara triangulasi. Untuk mekanisme yang disebut terakhir ini, Denzin (1978) menyarankan empat modus triangulasi, yakni: menggunakan sumber ganda, metode ganda, peneliti ganda dan teori yang berbeda-beda.
  • Pertemuan pengarahan dengan kelompok peneliti untuk mengatasi bias
 Hal ini dipandang penting karena ia berguna di antaranya untuk mencari kesamaan sudut pandang dalam pembuatan tafsir dan makna. Di samping itu juga bermanfaat guna mengembangkan insiatif, mengembangkan desain dan mewmperjelas pemikiran para peneliti.
  • Analisis kasus negatif
Fungsi utama dari analisis ini adalah untuk mengadakan revisi hipotesis. Teknik ini identik dengan uji statistik pada kasus data kuantitatif.
  • Menguji kembali data rekaman, baik dari photo, audio-casette dan sebagainya.  Mencocokkan hasil temuan kepada kepada obyek studi.
Ini dilakukan, baik secara formal ataupun informal dan terus menerus. Bahkan sedapat mungkin ringkasan interview dikembalikan kepada responden untuk mendapatkan reaksi, komentar, dan sejenisnya.
  •   Transferabilitas, dependabilitas dan konfirmabilitas
Istilah transferabilitas (keteralihan) bagi naturalis, merupakan analog dengan generalisasi bagi positivis. Tidak seperti teknik generalisasi/ prediksi yang dinyatakan dalam batas keterpercayaan sekian persen. Sebaliknya, naturalis hanya berani menyajikan hipotesis kerja disertai deskripsi yang terkait pada waktu dan konteks.

Sedangkan konsep reliabilitas (positivistik) diistilahkan dependabilitas pada naturalistik. Karena studi dengan paradigma naturalistik memandang bahwa realitas itu terkait erat dengan konteks dan waktu, maka menjadi tidak mungkin melakukan  replikasi hasil studi. Selain melalui teknik triangulasi yang telah disebutkan tadi, tampaknya teknik audit juga dapat diterapkan dalam kasus ini.

Adapun Konfirmabilitas erat kaitannya dengan paradigma naturalistik yang memandang bahwa kebenaran itu bersifat value-bound, terkait pada nilai. Itulah sebabnya, untuk menghindari konotasi yang tidak tepat, aliran naturalistik tidak menggunakan istilah obyektif-subyektif –seperti positivistik-, tetapi konfirmabilitas. Di sinilah bedanya, bagi positivis yang obyektif itu bersifat publik, universal dan tidak memihak; sedangkan yang subyektif itu menjadi  mempribadi dan memihak. Di sisi lain, naturalis memandang realitas itu ganda, dalam arti memiliki banyak perspektif, dan erat kaitannya dengan keterikatan pada konteks dan waktu.
                                    

Sumber Rujukan
  
Azimi. 1998. Materi Kuliah: “Metodologi Penelitian.” IAIN Imam Bonjol Padang

Irawan, Prasetya. 1999. Logika dan Prosedur Penelitian: Pengantar Teori Panduan Praktis Penelitian Sosial bagi Mahasiswa dan peneliti Pemula. Jakarta: STIA-LAN Press

J. Moleong, Lexy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif.  Bandung: Rosdakarya

Johnson, Doyle Paul. 1981. Sosiological Theory, Classical Founders and Contemporary Perspectives. t.k: John Wiley & Sons Inc.

Mudzar, M. Atho. 1998. Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta; Pustaka Pelajar

Muhadjir, Neong. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin

Lincoln, Yvonna S. & Egon G. Guba. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills: Sage Publications

Suprayogo, Imam & Tobroni. 2001. Metodologi Penelitian sosial Agama. Bandung Rosdakarya
 
.


Tag:

Bagikan Ini

Baca Juga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar